Agenda Training

Ikutilah!!! >>>> Training dan Workshop Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Level Intermediate (Angkatan 84) 6 - 7 Februari 2014 # Workshop Nasional Notaris Syariah 24 - 25 Januari 2013 # Workshop Hybrid Contracts pada Produk Perbankan Syariah 13 - 14 Maret 2013 Hub. Sdr. Joko (082110206289). BURUAN DAFTAR

Training

Training

Bank Syariah Diharap Garap Sektor Pertanian

Ujung Pandang Express
Jumat, 28-11-2008

JAKARTA–Pembiayaan perbankan syariah di sektor pertanian hingga saat ini masih minim. Dengan total lahan pertanian seluas 7,7 juta hektare, sektor tersebut merupakan pasar yang potensial untuk dikembangkan oleh perbankan syariah di 2009.
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Agustianto, menyatakan total pembiayaan bank syariah di bisnis ini baru sekitar 3% dari seluruh total pembiayaan sebesar Rp 27 triliun per September 2008. Jadi pembiayaan pertanian sudah mencapai Rp 837 milyard. Padahal, sektor tersebut menyumbang sekitar 15% untuk PDB. “Hal itu menunjukkan betapa sektor pertanian cukup penting, tapi sayangnya pembiayaannya masih kecil,” kata Agustianto.
Yang menjadi kendala dalam pembiayaan tersebut, ialah resiko tinggi pada sektor ini. Selain itu juga minimnya penyuluhan sistem perbankan syariah kepada para petani. Untuk mengembangkan sektor pertanian, sebagian besar para petani menggunakan modal sendiri,yakni 85,4 %. Selebihnya modal bank dan LKS non Bank.

Sementara itu, baru 13, % petani di Indonesia yang mendapatkan penyuluhan. Itupun penyuluhan budidaya, pengolahan hasil dan pemasaran, belum ada penyuluhan ekonomi syariah.
Maka, sosialisasi dan edukasi pun, lanjut Agus, harus terus diintensifkan agar para petani mengetahui tentang struktur perbankan syariah dan skim yang ditawarkan.
Dia mengakui sektor pertanian memiliki kendala cukup banyak karena selain memerlukan biaya yang tidak sedikit, termasuk biaya transportasi, juga produksi pertanian dipengaruhi oleh faktor musim.Untuk itu Agus menyarankan adanya penyuluhan dan pendampingan bagi para petani agar produksi pertanian bisa maksimal dan meminimalisasi terjadinya gagal panen. Adanya Bank Umum Syariah (BUS) baru di 2009 pun diharapkan dapat membidik sektor pertanian Indonesia.
Selain sektor pertanian, Agus mengatakan sektor usaha kecil menengah di pasar domestik juga perlu terus mendapatkan perhatian dari perbankan syariah. Sektor UKM yang bisa bertahan di tengah krisis, ujar Agus, membuat pasar tersebut merupakan lahan potensial untuk kucuran dana pembiayaan.
Unit Usaha Syariah Bank Jabar mencatat pembiayaan ke sektor pertanian sebesar Rp 10 miliar yang terkonsentrasi ke daerah Garut (tomat dan bawang), Majalengka (sawah dan palawija), Indramayu (sawah), dan Sukabumi (paneli). Dari empat wilayah tersebut terdapat dua wilayah yang mengalami kendala dalam pembiayaan, yaitu Garut dan Sukabumi.
Menurut Kepala Divisi Syariah Bank Jabar, Rukmana, hal tersebut dikarenakan ada sejumlah petani yang menunggu harga komoditas naik setelah melakukan panen. “Mereka bersikap spekulatif dengan menunggu harga naik lagi, padahal selama ini harga tetap jadi mereka merugi,” kata Rukmana. Pihak bank Jabar sendiri tetap melakukan pendampingan kepada petani untuk memaksimalkan produksi panen. (Int Rusli)

Seguir leyendo...

Ushul Fiqh dan Ulama Ekonomi Syariah

Agustianto

Perkembangan ekonomi syariah saat ini secara terus menerus mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di panggung internasional, maupun di Indonesia. Perkembangan ekonomi syariah tersebut meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah, pegadaian syariah dan berbagai bentuk bisnis syariah lainnya.

Dalam mengembangkan dan memajukan lembaga tersebut, sehingga dapat bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, dibutuhkan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah. Selain itu, ekonomi syariah bukan saja dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan, tetapi juga meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan dan pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti upah dan perburuhan, dan sebagainya. Sepanjang subjek itu terkait dengan ekonomi syariah, maka keterlibatan ulama syariah menjadi niscaya. Ulama ekonomi syaria berperan : 1. berijtihad memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi keuangan yang muncul baik skala mikro maupun makro. 2. Mendesign akad-akad syariah untuk kebutuhan produk-produk bisnis di berbagai lembaga keuangan syariah, 3. Mengawal dan menjamin seluruh produk perbankan dan keuangan syariah dijalankan sesuai syariah.

Untuk menjadi ulama ekonomi syariah dengan tugas seperti itu, diperlukan sejumlah syarat/kualifikasi. Kualifikasi ini diperlukan, karena ulama ekonomi syariah berperan mengeluarkan fatwa-fatwa yang terkait dengan ekonomi syariah melalui ijtihad. Ijtihad merupakan pekerjaan para ulama dalam menjawab persoalan-persoalan hukum syariah dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul.
Menurut disiplin ilmu ushul fiqh, salah satu syarat yang harus dimiliki ulama yang bertugas berijtihad adalah menguasai ilmu ushul fiqh. Tanpa mengetahui ilmu ushul fiqh, maka keberadaannya sangat diragukan, bahkan tidak memenuhi syarat sebagai ulama ekonomi syariah. Demikian pula halnya dengan figur yang duduk sebagai majlis fatwa, dewan syariah atau dewan pengawas syariah yang senantiasa menghadapi masalah-masalah ekonomi syariah, dibutuhkan pengetahuan yang mendalam dan luas tentang ilmu ushul fiqh dan perangkat ilmu syariah yang terkait.

Urgensi dan kedudukan ilmu ushul fiqh
Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqh menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Asy-Syatibi (w.790 H), mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkannya. Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Siapa yang tidak menguasai ilmu ushul fiqh, maka diragukan ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” .
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh merupakan satu di antara tiga ilmu yang harus dikuasai setiap ulama mujtahid, dua lainya adalah hadits dan bahasa Arab. Prof. Salam Madkur (Mesir), mengutip pendapat Al-Razy yang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang paling penting yang mesti dimiliki setiap ulama mujtahid. Ulama ekonomi syariah sesungguhnya (seharusnya) adalah adalah bagian dari ulama mujtahid, karena ulama ekonom syariah harus berijtihad memecahkan berbagai persoalan ekonomi, menjawab pertanyaan-pertanyaan boleh tidaknya berbagai transaksi bisnis modern, memberikan solusi pemikiran ekonomi, memikirkan akad-akad yang relevan bagi lembaga keuangan syariah. Memberikan fatwa ekonomi syariah, jika diminta oleh masyarakat ekonomi syariah. Untuk mengatasi semua itu, seorang ahli syariah (dewan syariah), harus menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam karena ilmu ini diperlukan untuk berijitihad.
Seorang ulama ekonomi syariah yang menduduki posisi sebagai dewan pengawas syariah apalagi sebagai Dewan Syariah Nasional, mestilah menguasai ilmu ushul fiqh bersama ilmu-ilmu terkait, seperti qaw’aid fiqh, tarikh tasyri’, falsafah hukum Islam, tafsir ekonomi, hadits-hadits ekonomi, dan sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Oleh karena penting dan strategisnya penguasaan ilmu ushul fiqh, maka untuk menjadi seorang faqih (ahli fiqh), tidak diharuskan membaca seluruh kitab-kitab fiqh secara luas dan detail, cukup mengetahui sebagian saja asal ia memiliki kemampuan ilmu ushul fiqh, yaitu kemampuan istinbath dalam mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at, baik ijtihad istimbathy maupun ijtihad tathbiqy. Metodologi istimbath tersebut disebut ushul fiqh. Demikianlah pentingnya ilmu ushul fiqh bagi seorang ulama. Termasuk dalam lingkup ushul fiqh adalah pengetahuan maqashid syariah. Seorang ulama ekonomi syariah harus memahami konsep maqashid syariah dan penerapannya. Untuk menguasai ilmu maqashid syariah, harus dibaca buku-buku tentang ilmu maqashid syariah, seperti, Al-Muwafaqat karangan Imam Al-Syatibi, Al-Mustashfa dan Syifaul Ghalil karangan Imam Al-Ghazali, I’lamul Muwaqqi’in, karangan Ibnu Al-Qayim, Qawa’id Ahkam fi Masholih al-Anam, karya Izzuddin Abdus Salam (660 H), kitab Maqashid al- Syariah karya Muhammad Thahir Ibnu ’Ashur ( Tunisia, 1946, ) Al-Ijtihad karya Prof. Dr Yusuf Musa, dan sebagainya. Sedangkan untuk menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam minimal seorang ulama membaca 100 buku ushul fiqh. (Daftar buku ushul dipaparkan pada tulisan kedua artikel ini)
Dalam ilmu ushul fiqh dipelajari berbagai macam obyek kajian, seperti :
1. Kaedah-kaedah ushul fiqh kulliyah yang digunakan dalam mengistimbath hukum dan cara menggunakanya. Dengan mempelajari ushul fiqh, seorang ulama ekonomi syariah akan mengetahui metode ijtihad para ulama.
2. Sumber-sumber hukum Islam ; Al-quran, Sunnah, dan Ijma’, serta metode perumusan hukum Islam, seperti qiyas, maslahah mursalah , istihsan, sadduz zari’ah, mazhab shahabi,’urf, qaul shahaby, dll.
3. Konsep Ijtihad dan syarat-syarat menjadi ulama mujtahid, juga konsep fatwa
4. Konsep qath’iy dan zhanniy,
5. Prioritas kehujjahan dalil-dalil syara’, dsb.

Selain ilmu ushul fiqh, seorang ulama ekonomi syariah seharusnya menguasai qawa’id fiqh, khususnya yang terkait dengan qawa’id fiqh ekonomi (muamalah). Kitab-kitab qawa’id fiqh sangat luas dan beragam. Seorang ulama ekonomi syariah tidak cukup meguasai kitab Al-Asybah wan Nazhair karya Al-Suyuthy atau Al_Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah, Kitab Undang-Undang Ekonomi Islam Turki Usmani di masa lampau (1876), karena Qanun ekonomi Islam tersebut hanya berisi 100 qaidah fiqh ekonomi dan terlalu Hanafi centris. Namur demikian, Al-majallah ini seharusnya menjadi buku wajib pada mata kuliah qawaid fiqh di jurusan perbankan dan ekonomi syariah di IAIN/UIN. Di jurusan ekonomi Islam, jangan lagi diajarkan qawaid fiqh yang penuh munakahat, ibadah dan jinayat. Qawaid fiqh pada tiga bidang ini difokuskan di jurusan lain. Sedangkan jurusan ekonomi syariah atau perbankan syariah hanya membahas qawid fiqh tentang ekonomi keusangan.
Selain syarat menguasai ilmu ushul fiqh, maqashid dan qawa’id fiqh, seorang ulama ekonomi syariah juga harus menguasai ayat-ayat hukum. Menurut Imam Al-Ghazali, seorang ulama mujtahid paling tidak menguasai 500 ayat –ayat hukum syariah. Pendapat Imam Al-Ghazali, meskipun tidak relevan menjadi syarat ulama ekonomi syariah, karena 500 ayat tersebut mencakup munakahat, dan jinayat dan hukum dil luar ekonomi. Namun syarat tersebut harus menjadi pertimbangan dalam hal penguasaan ayat-ayat bagi ulama ekonomi syariah.
Jadi, paling tidak ulama ekonomi syariah seharusnya menguasai 370 ayat tentang ekonomi dalam Al-quran. Menurut C.C. Torrey dalam buku The Commercial Theological Term in the Quran dan Dr. Mustaq Ahmad dalam Etika Ekonomi dalam Al-Quran, bahwa di dalam Al-quran tedapat 370 ayat tentang bisnis. Maka semua ini harus dikuasai oleh ulama ekonomi syariah. Selain itu, ulama ekonomi syariah juga harus menguasai 1350 hadits-hadits ekonomi, ditambah ilmu mushthalah hadits. Oleh karena banyaknya ayat dan hadits tentang ekonomi dan bisnis, maka di seluruh program pascasarjana ekonomi keuangan Islam, materi ayat dan hadits bekonomi ini dijadikan sebagai mata kuliah wajib.
Dalam konteks pemahaman ayat-ayat ekonomi, seorang ulama ekonomi syariah harus mengeatahui asbabun nuzul, juga masalah-masalah yang telah diijma’iy ulama, metode ijma’, syarat-syarat ijma’, metode qiyas, metode maslahah, ishtihsan, ‘urf, qaul Sahabi, dan sebagainya.
Melihat, sejumlah syarat-syarat yang harus dimiliki ulama ekonomi syariah, ada tiga hal yang menjadi catatan.
Pertama, kelihatannya menjadi ulama ekonomi syariah tersebut, sangat sulit, tetapi bagi generasi yang hidup dan bergelut dengan tradisi keilmuan syariah sejak usia dini, memenuhi syarat-syarat itu tidaklah terlalu sulit. Maka, jika kita mau jujur, ikhlas, dan terbuka, masih ada ahli-ahli syariah di Indonesia yang memiliki pengetahuan mendalam dan luas tentang ushul fiqh dan sekaligus tentang ekonomi Islam. Majlis Ulama Indonesia dan bank-bank syariah harus secara cerdas memilih dan mempertahankan para ahli syariah yang memenuhi kualifikasi yang memadai dan bisa diandalkan.
Kedua, para mahasiswa pascasarjana jurusan ekonomi syariah di manapun berada, tidak perlu berkecil hati, jika bukan dibesarkan dari pendidikan syariah yang arabic (Ibtidaiyah salafi, Tsanawiyah salafi dan Aliyah salafi). Maksud sekolah salafi adalah sekolah yang semua rujukan pelajarannya berbahasa Arab, kitab kuning), dan tak perlu juga berkecil hati jika bukan berasal dari sarjana syariah, karena tujuan belajar ilmu ushul fiqh di program ekonomi syariah bukanlah untuk menjadi mujtahid (ulama) yang ahli ushul fiqh, pakar ushul fiqh atau dosen ushul fiqh yang handal, tetapi sekedar untuk : 1. Memahami dan mengetahui metode istimbath para ulama dalam menetapkan hukum Islam, khususnya hukum ekonomi keuangan, 2. Mengetahui kaedah-kaedah ushul fiqh dan qawaid fikih dan cara menerapkannya 3. Mengetahui dalil-dalil hukum ekonomi Islam dan proses ijtihad ulama dari dalil-dalil yang ada.4, Mengetahui sumber-sumber hukum ekonomi Islam dan keterkaitannya dengan epistemologi ekonomi Islam. 5. Mengetahui prinsip-prinsip umum syariah yang ditarik dari Al-quran dan sunnah.
Hal itu sama dengan seorang sarjana syariah belajar ekonometrik. Tujuannya bukanlah menjadi pakar ekonometrik, atau dosen ekonometrik, tetapi dapat menerapkannya dalam metode penelitian ekonomi, mengukur berbagai macam resiko, dan sebagainya. Dengan berbekal ilmu ushul fiqh, seorang mahasiswa pascasarjana sudah dapat menjadi konsultan ekonomi syariah, Dewan Pengawas Syariah, menjadi praktsi ekonomi syariah yang memahami metode menetapkan hukum ekonomi Islam, juga menjadi officer atau ALCO di bank-bank syarah.
Ketiga, keharusan belajar ilmu ekonomi keuangan dan ushul fiqh secara ekstra. Ulama yang ahli syariah, jika diminta menjadi Dewan Pengawas Syariah, misalnya, seharusnya memiliki ghirah yang kuat untuk mendalami dan mempelajari ilmu ekonomi dan perbankan serta keuangan, sebab tanpa bekal ilmu ekonomi dan perbankan, maka rumusan fatwa bisa tidak tepat dan kaku. Bahkan DPS wajib belajar akuntansi secara sederhana, agar bisa membaca laporan keuangan lembaga keuangan syariah. Sedangkan bagi Dewan Pengawas Syariah atau anggota Dewan Syariah Nasional yang bukan berasal dari latar pendidikan ilmu syariah, tidak segan-segan belajar ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu syariah lainnya kepada ahli ushul fiqh yang memahami ekonomi keuangan, juga belajar ilmu maqashid, falsafah tasyri’ dan tarikh tasyri’, juga ilmu bahasa Arab, tafsir ayat-ayat ekonomi, hadits-hadits ekonomi. Upaya integrasi ilmu ini menjadi keniscayaan, agar di masa depan dikhotomi ahli ilmu syariah dan ahli ekonomi umum dapat dihilangkan secara bertahap. Pada gilirannya nanti, sejalan dengan berkembangnya program doktor (S3) ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi dunia, figur integratif yang menguasai dua bidang keilmuan sekaligus dapat diwujudkan.
Para ulama ekonomi ekonomi syariah (Dosen Perguruan Tinggi, DPS dan DSN) yang belum mendalami ilmu ushul fiqh harus membaca sejumlah kitab-kitab ushul fiqh yang terkenal, agar bisa memahami dasar-dasar ilmu ushul fiqh dan maqashid. Sarjana ekonomi umum memang sulit menjadi ahli ushul fiqh. Namun pemahaman pokok-pokoknya tidaklah terlalu sulit asalkan mau dan serius belajar, khususnya di perguruan Tinggi.
Menurut Ibnu Taymiyah, untuk menjadi ahli di bidang tertentu, seperti ushul fiqh, paling tidak menguasai (mempelajari) seratus buku ushul fiqh. Upaya untuk menjadi ahli ilmu ushul fiqh secara mendalam hanyalah melalui proses pendidikan panjang dan intensif, seperti melalui pendidikan pesantren salafi, selanjutnya dikembangkan di Perguruan Tinggi S1, S2 dan S3. Di pesantren salafi (kitab kuning) buku-buku ushul fiqh yang dibaca sangat terbatas, karena tidak ada tradisi membuat makalah dan presentasi dengan membaca puluhan buku ushul fiqh, tetapi di Perguruan Tinggi, seorang mahasiswa yang mendalami ushul fiqh dapat membaca puluhan, belasan, bahkan seratusan buku-buku ushul fiqh dan ilmu-ilmu syariah yang terkait. Hal itu dikarenakan mahasiwa diwajibkan membuat makalah atau membuat karya ilmiah skripsi atau tesis yang harus dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Fakultas Syariah IAIN/UIN/STAIN, merupakan lembaga kajian ilmu-ilmu syariah, yang secara intensif mengkaji ilmu ushul fiqh, qawai’d fiqh dan ilmu syariah yang terkait. Sudah Menjadi tradisi dan lumrah dalam pembuatan skripsi tentang ushul fiqh, mahasiswa membaca seratusan kitab ushul fiqh dan disiplin ilmu syariah yang terkait.
Mahasiswa unggulan dan terbaik dari perguruan tinggi Islam tersebut dapat menjadi calon ilmuwan ushul fiqh jika dia mengembangkan lagi di program pascasarjana S2 dan S3 ekononi syariah atau program studi syariah saja. Ketika memasuki jenjang S3, seorang sarjana syariah seharusnya bisa menjadi mujtahid, asalkan memenuhi sejumlah syarat yang dikemukakan di atas. Namun harus dicatat masih banyak sarjana syariah yang belum memenuhi kualifikasi sebagai ulama ekonomi syariah. Indikatornya mudah sekali diukur antara lain, kemampuan bahasa Arab, kemampuan berijtihad dengan imu ushul fiqh dan qawa’id fiqh, kemampuan penguasaan ayat-ayat al-quran dan tafsirnya (khususnya tentang ekonomi), juga kemampuan ilmu hadits-hadits. Jika keempat indikator ini saja tidak beres, maka kedudukan sebagai calon ulama ekonomi syariah menjadi gugur.
Namun harus dicatat, jika 4 indikator tersebut sudah dipenuhi, seseorang belum tentu bisa mejadi ulama ekonomi syariah, karena dia disyaratkan harus menguasai ilmu ekonomi syariah, dan teknik perbankan dan keuangan. Syarat untuk menguasai ilmu ekonomi syariah tidak bisa tidak, harus belajar dulu ilmu ekonomi konvensional, baik mikro maupun makro, bahkan ilmu ekonomi pembangunan, public finance, ilmu akuntansi dan perbankan dan lembaga keuangan. Semua ini hanya dapat dicapai melalui pendidikan formal atau training berkelanjutan.
Buku-buku yang terkait kuat dengan ushul fiqh juga harus dikuasai oleh ulama ekonomi syariah, seperti kitab-kitab tarikh tasyri’, fiqh muamalah klasik dan kontemporer, perbandingan mazhab, qawaid fiqh, falsafah asyri’ atau falsafah hukum Islam. Sulit menyebutkan nama-nama kitab yang direkomenfasikan untuk dikuasai para ulama ekonomi syariah, karena ruangan yang terbatas. Sekedar contoh, untuk menguasai ilmu tarikh tasyri’, ulama ekonomi syariah minimal membaca buku Tarikh Tasyri’ Abdul Wahhab Khallaf, Tarikh Tasyri’ Muhammad Ali Al-Sayis, Tarikh Mazahib al-Islamiyah Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Tasyrik Khudhriy Beyk dan sebagainya. DI IAIN belasan buku tarikh tasyrik menjadi buku wajib untuk mata kuliah bersangkutan.
(Penulis adalah Dosen Ushul fiqh Ekonomi, Fiqh Muamalah Ekonomi, Ayat Hadits ekonomi di Pascasarjana UI, Islamic Economic and Finance Trisakti, Program Magister (S2) Perbankan dan Keuangan Universitas Paramadina, Pascasarjana Perbankan dan Keuangan Islam Universitas Az-Zahro, UIN Syahid Jakata dan UHAMKA, juga sebagai Advisor di Bank Muamalat Indonesia).

Seguir leyendo...

Regulasi REPO Bank Syariah Mendesak Dikeluarkan Bank Sentral

Oleh : Agustianto

Saat ini krisis likuiditas melanda sejumlah lembaga perbankan, termasuk bank syari’ah. Ketatnya likuiditas bank syariah lebih dipicu oleh kondisi FDRnya yang selalu jauh lebih tinggi dibanding bank konvensional. Tingginya FDR ini sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun, di sisi lain, bank syariah mengalami kesulitan likuiditas jika para nasabah ingin menarik dananya dari bank syariah. Gejala penarikan itu terlihat dari penurunan DPK dan SBI Syariah.

Pada bulan Juni 2008, simpanan DPK mencapai Rp 33,05 triliun, sedangkan Agustus 2008 hanya Rp 32,36 triliun atau turun 2%. Hal itu lalu memicu penurunan SBIS yang tinggal Rp 1,82 triliun pada posisi Agustus, padahal Juni tercatat sebesar Rp 3,08 triliun. Turunnya SBIS tersebut mengindikasikan ketatnya likuiditas di bank syariah. Untuk itu, pemberian fasilitas repo bagi bank syariah pemilik SBIS atau SBSN menjadi sebuah keniscayaan (keharusan). Dalam perspektif ushul fiqh, pemberian repo kepada bank-bank syariah adalah suatu kebutuhan (hajat) yang dipandang sebagai maslahah, bahkan bisa menjadi maslahah dharuriyah, yakni maslahah yang wajib (mutlak) dilakukan. Dalam kaedah ushul fiqh disebutkan Al-hajah qad tanzilu manzilatat dharurah. (Kebutuhan itu terkadang menempati dharurat).

Bank Indonesia selaku bank sentral seharusnya menyediakan repo bagi bank syariah yang memiliki Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jadi perbankan syariah dapat mengadaikan surat berharga syariah berupa surat berharga syariah negara (SBSN) maupun Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Kalau BI sudah akan mengeluarkan kebijakan REPO, maka kita merasa senang dan menyambut baik kebijakan tersebut. karena BI memberi kelonggaran kepada bank-bank syariah sehingga lembaga ini bisa mengatur likuiditas lebih baik,

Kembali kepada FDR banak syariah, menurut hemat saya, tingginya FDR (finance deposit ratio) bank syariah, (di atas 95%) membuat kebijakan pelonggaran likuiditas bank syariah sangat diharapkan. Sebab saat ini semua bank mengalami pengetatan likuditas Artinya. bank syariah lebih berhajat (membutuhkan) likuiditas dibandingkan bank konvensional, karena FDR bank syariah sangat tinggi, mencapai 100 %. Ini berarti dana pihak ketiga hampir semuanya dikucurkan untuk pembiayaan. Sementara bank konvensional hanya 50%, selebihnya dimainkan dalam surat berharga.

Saya mengkritik Bank Indonesia, dalam masalah likuiditas yang terlalu fokus pada bank konvensional. Padahal bank syariah lebih membutuhkan likuiditas dibandingkan bagi bank konvesnsional. Lihatlah angka loan to deposit ratio (LDR) di bank konvensional dan FDR di bank syariah. Di bank konvensional rasionya hanya 50% yang dikucurkan untuk kredit, sisanya disimpan di surat berharga, berarti 50 % lainnya dibelikan ke surat berharga. Sehingga ketika bank konvensional memerlukan likuiditas, mereka bisa menjual surat berharganya tersebut.

Harus dicatat, bahwa saat ini angka FDR di bank syariah, mencapai 113% dan sepenuhnya dikucurkan dalam bentuk pembiayaan. Jadi, jika bank syariah menerima Rp 100 milyar maka semuanya disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Ini dikarenakan memang secara prinsip, bank syariah sangat peduli pada sector riel dan memang Islam mengajarkan yang demikian. Bank syariah tidak bermain di surat berharga melainkan lebih mengutamakan bisnis riil di masyarakat. Jadi pemberian repo kepada bank syariah jauh lebih wajib dibanding bank konvensional Lihatlah faktanya, pembiayaan yang disalurkan ke umat lebih dari 100% yakni 113%. Sisanya yang 13% diambil dari modal bank. Di sinilah luar biasanya bank syariah. Bank Indonesia harus tahu akan hal itu.

Dalam kondisi FDR yang tinggi tersebut, kemungkinan sekali ada nasabah yang mau menarik depositonya di bank syariah maka pihak bank syariah akan mengalami kesulitan, karena tidak ada likuiditas. Oleh karena itu, kita mengusulkan kepada BI, agar segera mengeluarkan instrumen likuiditas untuk bank syariah dengan kebijakan repo bagi bank syariah yang tidak saja dalam bentuk menggadaikan SBIS, tetapi juga Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jika kedua surat berharga tersebut tidak dimiliki bank syariah, maka harus ada Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia. Jadi BI perlu ada kebijakan yang jelas dan maslahah.

Pokoknya sejumlah cara yang halal harus ditempuh untuk menyiasati ketatnya dana di perbankan syariah. Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS) mungkin bisa menjadi salah satu alternatif dengan rate IMA. Namun, PUAS tidak efektif untuk dilakukan dengan nilai pinjaman bank yang terlampau besar. Tenor yang sangat pendek akan sangat mengganggu. Sebab, jika sahibul mal (bank pemberi dana) nantinya menagih, maka bank mudharib bisa terganggu arus keuangannya. Hal itu bisa memperburuk kualitas likuiditas bank yang menjadi mudharib. Lagi pula kondisi riil perbankan syariah sulit untuk menerapkan PUAS, karena hampir seluruh bank syariah kekurangan likuiditas Kesimpulannya, Bank Indonesia dituntut segera mengeluarkan kebijakan repo bank syariah agar bank syariah menjadi longgar likuiditasnya

Seguir leyendo...

Dosa Riba menurut Alquran dan Sunnah

oleh: Agustianto

Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa seluruh ahli ekonomi Islam dunia, sejak tahun 1973 sampai sekarang telah sepakat bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah Islam, dan hukum mengambilnya adalah haram. Menurut penelitian Prof.Dr.M.Akram Khan, Prof, Dr. M.Umer Chapra, Prof.Dr.Yusuf Qardhawi, Prof. Muhammad Ali Ash-Shobuni, dan sejumlah ulama lainnya, kesepakatan itu telah menjadi ijma’ ulama dunia. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank.
Pada tahun 1976, sejumlah 300 pakar ekonomi dan ulama dunia sepakat tentang keharaman bunga bank yang mereka putuskan pada Konferensi I Ekonomi Islam Internasional di Jeddah. Bahkan sebelumnya, yakni tahun 1973, seluruh ulama OKI sepakat tentang keharaman bunga bank tersebut. Konferensi internasional yang dihadiri ratusan pakar ekonomi Islam dunia itu telah berulang kali digelar di berbagai negara. Puluhan konferensi, seminar dan simposium internasional itu menyepakati secara bulat tentang keharaman bunga bank.

Jadi, kalau seluruh ahli ekonomi Islam se-dunia sepakat tentang keharaman bunga bank, dikuatkan lagi oleh ulama OKI dan Rabithah Alam Al-islami serta Majma’ Buhuts (lembaga fatwa) di seluruh dunia, tetapi anehnya, mengapa ada segelintir orang yang tak ahli tentang ekonomi Islam berkomentar membantah keharaman bunga bank. Itu adalah sebuah keanehan dan secara keilmuan cukup memalukan. Hal ini jelas apabila kita ambil sindiran Alquran tentang mereka yang tak ahli dalam bidang itu. Firman Allah,

“Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah untuk urusan itu, maka ikutilah syari’ah itu, jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.

Menurut ayat ini, orang yang tidak mengikuti syari’ah (termasuk ekonomi syari’ah), adalah karena dua alasan. Pertama, Mereka mengikuti hawa nafsu, karena terganggu kepentinga dunianya, 2. Mereka memang tidak tahu tentang syari’ah itu (dalam hal ini ekonomi dan ilmu moneter syari’ah).
S

eorang Professor muslim sekalipun, tapi tidak mendalami ilmu moneter, mereka seringkali tidak tahu tentang praktek moneter dan dampaknya dalam ekonomi makro. Kalau mereka telah mendalami itu, bisa dipastikan mereka akan mengharamkan bunga, sebagaimana ratusan pakar ekonomi Islam lainnya.

Dosa Riba.
Dalam Islam, riba termasuk dosa besar yang harus dijauhi. Sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,

اجتنبوا السبع الموبقات : قالوا يا رسول الله وما هن ؟ قال : الشرك بالله والسحر و قتل النفس التى حرم الله الا بالحق و أكل الربا وأكل مال اليتيم والتولى يوم الزحف و قذف المحصنات المؤمنات الغافلات (متفق عليه)

“Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata,

لعن رسول الله صلعم أكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهديه و قال : سواء(رواه مسلم)
“Rasulullah melaknat dan mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya sama”.(H.R.Muslim)

Selanjutnya, Abbdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,
عن ابن مسعود ان النبي صلعم قال : الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه (رواه الحاكم)

“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).
اربع حق على الله أن لا يدخلهم الجنة ولا يذيقهم نعيمها : مدهن الخمر و أكل الربا وأكل مال اليتيم بغير حق و العاق لوالديه (رواه الحاكم)

Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).

Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,

الدرهم يصيبه الرجل من الربا اعظم عند الله من ثلاثة وثلاثين زينة يزنيها فىالاسلام (رواه الطبرانى

Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam islam”.(H.R. Darul Quthny)

ان الدرهم يصيبه الرجل من الربا أعظم عند الله في الخطيئة من ست و ثلاثين زينة يزنيها الرجل و أن أربى الربا عرض الرجل المسلم ( رواه ابن أبي الدنيا و البيهقي)

Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu Dunya).

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda,
اذا ظهر الربى والزنى في قرية فقد أحلوا بعذاب الله (رواه الحاكم)

“Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)

Amru bin Ash mendengar langsung Nabi mengatakan,

ما من قوم يظهر فيهم الربا الا أخذوا با لسنة وما من قوم يظهر فيهم الرشا الا أخذو با لرعب ( رواه أحمد)

“Bila riba merajalela pada suata bangsa, maka mereka akan ditimpa tahun-paceklik (krisis ekonomi). Dan bila suap-menyuap merajalela, maka mereka suatu saat akan ditimpa rasa ketakutan”. (H.R. Ahmad).

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, bahwa Nabi SAW bersabda,

اياك و الذنوب التى لا تغفر : الغلول فمن غل شيئا اوتي به يوم القيامة و أكل الربا بعث يوم القيامة مجنونا يتخبط (رواه الطبراني)

Jauhilah dosa-dosa yang tak terampunkan, yaitu, pertama, curang (menipu &korupsi), siapa yang curang, maka pada kiamat nanti, akan didatangkan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba, barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan membabi buta. (H.R. Thabrani).

ما أحد أكثر من الربا الا كان عاقبة أمره الى قلة ( رواه ابن ماجة و الحاكم)

Abdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap orang yang banyak makan riba, maka urusannya berakibat pada kekurangan”.(H.R. Ibnu Majah dan Hakim).

Maksudnya, pemakan riba selalu merasa kurang karena rakus pada uang dan harta. Sedangkan uangnya tidak diberkati Allah.Hal ini telah difirmankan Allah dalam al-qur’an,
“Allah mencabut berkah dari riba dar menyuburkan (memberkati) sedeqah”. (Q.S. 2:276).

Dalam beberapa hadits dijelaskan, bahwa berkembangnya riba merupakan tanda-tanda akhir zaman (kiamat). Hal ini menunjukkan bahwa riba termasuk dosa besar yang harus dijahui ummat Islam. Dua hadits dibawah in menginformasikan kepada kita hal diatas.
ليأتين على الناس زمان لا يبقى منهم احد من الربا فمن لم يأكله أصابه من غباره (ابو داؤد)

Abu Hurairah memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,”Sungguh akan datang suatu zaman atas manusia, dimana tak seorang pun yang hidup saat itu, kecuali makan riba. Barang siapa yang tidak memakannya, akan terkena debunya”.(H.R.abu Daud dan ibnu Majah)

بين يدي الساعة يظهر الربا و الزنا و الخمر (رواه الطبراني)

Ibnu Mas’ud meriwayat bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menjelang kiamat akan merajalela zina, riba dan minuman keras”. (H.R.Thabrani).

Demikianlah di antara dosa-dosa riba menurut Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, ummat Islam wajib mendepositokan atau menabungkan uangnya di Bank Islam, agar terhindar dari riba yang diharamkan.
Hijrah dari Sistem Riba ke Sistem Syari’ah

Dalam kenyataanya, sistem moneter dunia sudah dikuasai oleh sistem bunga sejak berabad-abad lamanya. Sistem ribawi kapitalisme itu, jelas tidak sesuai dengan syari’ah Islam. Karena itu seluruh ulama dunia pada saat ini telah sepakat bahwa sistem bunga adalah bentuk riba yang diharamkan (Hasil Konferensi Ulama OKI 1971).

Saat ini, semua profesor dan doktor ekonomi Islam yang belajar di Barat yang jumlahnya mencapai ratusan orang itu, telah ijma’ tentang keharaman bunga dan menunjukkan solusinya, yakni sistem bank syariah tanpa bunga.

Para ulama dahulu yang sebahagian kecil membolehkan bunga, kini semuanya mencabut fatwanya, sebab ternyata banK tanpa bunga bisa berkembang dengan baik malah lebih unggul dari bank ribawi.

Oleh karna itu, seluruh uang umat Islam, harus memasukkan, menyimpan atau mendepositokan uangnya di bank syari’ah, agar terjamin kehalalannya dan lembaga bank Islam semakin kuat serta ekonomi umat menjadi meningkat.

Dengan demikian Ongkos Naik Haji, sangat tidak layak disetor ke bank yang menerapkan sistem riba, apalagi uang mesjid dan majlis ta’lim. Semuanya seharusnya dikelola secara syari’ah Islam, agar hasilnya halal thayyiban.

Bila riba masih kita amalkan, maka dosa-dosa besar tersebut semakin melilit kita. Bagai mana mungkin Allah memenuhi permohonan dan do’a kita sedang kita membuat dosa besar yang melebihi zina. Bagai mana mungkin Allah memabrurkan haji kita, sedangkan biaya haji diputar secara ribawi. Maka, sudah saatnya kita berhubungan dengan lembaga bank dan keuangan syari’ah baik menabung, deposito, giro, setoran haji, dsb.

IIIa Ma Qad Salaf

Dalam pemikiran umat Islam mungkin timbul pertanyaan, bagaimana perbuatan kami selama ini yang menabung, mendepositokan dan menyetor ONH dengan sistem riba ?Alqur’an memberikan jawaban. “IIIa Ma Qad Salaf”. Maksudnya, urusan pada masa lalu, itu adalah persoalan masa lalu, “Wa Amruhu Illallah”, yakni, urusannya diserahkan kepada Allah yang Maha pengampun.Nanti jangan diulangi lagi.

Tegasnya, perbuatan masa lalu jangan menjadi pikiran, Insya Allah, Dia akan memaafkannya, yang penting sekarang adalah hijrah ke sistem syari’ah sembari minta ampun kepada Allah. Jangan buang-buang waktu lagi. Tetapi ingat!, Allah berfirman, “Siapa yang mengulangi lagi praktek riba, maka ia kekal dalam neraka”,(Q.S. 2:275)

Membangun Moneter Islam

Oleh karena sistem bunga tak sesuai dengan syari’ah, maka seluruh ummat Islam harus berusaha keras mengubah sistem moneter dan sistem kapitalisme ke sistem syari’ah. Perubahan ini tidak saja dalam bentuk konversi (pindah) dari sistem konvensional menjadi syari’ah, seperti yang dilakukan bank syari’ah Mandiri, BNI 46, bank IFI, dll, tetapi juga membangun lembaga bank syari’ah yang bebas riba, seperti BPR syari’ah,

Seguir leyendo...