Agenda Training

Ikutilah!!! >>>> Training dan Workshop Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Level Intermediate (Angkatan 84) 6 - 7 Februari 2014 # Workshop Nasional Notaris Syariah 24 - 25 Januari 2013 # Workshop Hybrid Contracts pada Produk Perbankan Syariah 13 - 14 Maret 2013 Hub. Sdr. Joko (082110206289). BURUAN DAFTAR

Training

Training

IAEI Dorong Depdiknas Terapkan Kurikulum Ekonomi Syariah


Thursday, March 08, 2007 08:27:53
JAKARTA, Republika,

Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) mendorong Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) segera menerapkan kurikulum ekonomi syariah di perguruan tinggi dan sekolah menengah atas (SMA). Selain telah diakui berdasarkan UU Perbankan yang berlaku, sistem ekonomi syariah diyakini dapat menjadi pendukung alternatif bagi perkembangan ekonomi di Indonesia.

”Kami mendorong Depdiknas segera menerapkan kurikulum ekonomi syariah bagi perguruan tinggi dan SLTA,” kata Sekjen IAEI, Agustianto, kepada Republika usai Musyawarah Kerja Nasional IAEI di Tangerang, Ahad (1/3).

Dorongan penerapan kurikulum ekonomi syariah di perguruan tinggi dan SMA merupakan salah satu butir manifesto hasil Mukernas IAEI. Ini, kata Agustianto, sangat penting untuk mengenalkan ekonomi syariah sedini mungkin. Sistem ekonomi syariah, lanjutnya, terbukti mampu mendorong pertumbuhan sektor riil mengingat besarnya penyaluran pembiayaan industri perbankan syariah bagi sektor usaha kecil menengah (UKM) dalam beberapa tahun terakhir.

Ia mengatakan IAEI berencana menemui Mendiknas pertengahan April mendatang untuk menyampaikan manifesto hasil Mukernas lembaga tersebut. Dalam pertemuan tersebut IAEI akan mendorong Mendiknas untuk segera menerapkan kurikulum ekonomi syariah.

Menurut dia, saat ini IAEI sedang menyusun kurikulum ekonomi syariah versi lembaga tersebut, yang ditargetkan rampung akhir semester pertama tahun ini. Selanjutnya, kurikulum tersebut akan diajukan kepada Mendiknas sebagai bahan pertimbangan. ”Kita akan ajukan pada semester kedua tahun ini,” katanya.

Selain butir kurikulum ekonomi syariah, ada enam butir lainnya dalam manifesto Musyawarah Kerja Nasional IAEI. Yakni mendorong pemerintah dan DPR menerapkan sistem ekonomi syariah dalam kebijakan ekonomi negara, termasuk dalam pembinaan lembaga keuangan mikro syariah (baitulmal wattamwil atau BMT); mendorong departemen keuangan (Depkeu) dan kementerian BUMN untuk segera melakukan konversi salah satu bank dan asuransi BUMN bersistem konvensional menjadi syariah; mendorong seluruh akademisi dan peneliti untuk terus mengembangkan sistam ekonomi dan keuangan syariah; mendorong seluruh lembaga pendidikan membuka pusat studi ekonomi syariah; mendorong seluruh pemerintah daerah untuk mengembangkan sistem ekonomi syariah.

Seguir leyendo...

Melahirkan Mujtahid Ekonomi Islam yang Kredibel

Oleh : Drs.Agustianto,M.Ag

Perkembangan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, termasuk terhadap kegiatan ekonomi bisnis, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, sms banking, ekspor impor dengan media L/C, dsb. Demikian pula perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti asuransi, mortgage, leasing, obligasi, mutual fund, capital market, pasar uang, sampai kepada, instrumen pengendalian moneter oleh bank sentral, exchange rate, waqf saham, MLM, jaminan fiducia dalam pembiayaan, jaminan resi gudang, dsb. Produk-produk perbankan, asuransi dan lembaga keuangan syariah lainnya juga harus dikembangkan secara inovatif, agar bisa memenuhi kebutuhan pasar. Semua ini menjadi tantangan bagi para pakar syariah.Untuk memberikan jawaban secara tepat dan relevan dengan kemajuan zaman, diperlukan pakar-pakar ekonomi syariah yang handal dan credible. Hal ini di karenakan terjadinya perubahan sosial dalam bidang muamalah secara cepat, akibat dari akselerasi globalisasi. Sehububungan dengan itu, maka pengajaran fiqh muamalah pun tidak cukup secara a priori bersandar (merujuk) pada kitab-kitab klasik semata, karena formulasi fiqh muamalah masa lampau sudah banyak yang mengalami irrelevansi dengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan fiqh muamalah tersebut harus diformulasi kembali agar bisa menjawab segala problem dan kebutuhan ekonomi keuangan modern. Rumusan fiqh muamalah yang “lengkap”, berlimpah dan mendatail yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama terdahalu dalam memecahkan dan menjawab tantangan dan problematika ekonomi di zamannya. Tentunya formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau setidaknya diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya. Karena itu terdapat kaedah populer Dengan demikian, konsep-konsep dan formulasi fiqh klasik tersebut perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks zaman, tempat dan situasi, kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif dalam koridor syariah.Untuk melakukan ijtihad dalam memberikan solusi dan jawaban bagi problematika ekonomi dan keuagan syariah dewasa ini, kita harus melahirkan mujtahid-mujtahid ekonomi Islam yang berkualitas dan memiliki ilmu yang integraif. Adapun kualifikasi yang harus dicapai untuk melahirkan para mujtahid ekonomi Islam tersebut antara lain : Pertama, Menguasai secara mendalam disiplin ilmu ushul fiqh, qawaidh fiqh, falsafah hukum Islam, dan ilmu tarikh tasyri. Disiplin-disiplin ilmu ini mesti dikuasai oleh ahli ekonomi Islam, apalagi para anggota Dewan Syariah Nasional dan dosen pascasarjana ekonomi Islam yang membidangi materi fiqh muamalah dan ushul fiqh. Saat ini masih banyak anggota Dewan Syariah Nasional yang tidak memiliki latar beLakang ilmu-ilmu syariah yang memadai, sehingga keterbatasan keilmuan syariah menjadi hal yang lumrah, Hal ini dikarenakan ada di antara mereka ada yang tidak berlatar belakang pendidikan ilmu syariah. Menurut KH. Ma’rif Amin pada Studium General di Pascasarjana UI Maret 2008, rekruitmen anggota tersebut mirip dengan perekrutan TNI di tahun 1945. Kondisi ini harus dimaklumi untuk saat ini, karena kelangkaan intelektual yang komprehensif ilmunya. Meskipun demikian, upaya DSN dan kinerjanya harus diacungi jempol dalam mengeluarkan fatwa-fatwa secara produktif. Namun, di masa depan kita mengharapkan para anggota Dewan Syariah benar-benar fiqur yang handal dan ahli (expert) dalam ilmu-ilmu syariah dan memahami dengan baik masalah ekonomi keuangan kontemporer. Ilmu-ilmu syariah yang harus dimiliki Dewan Syariah Nasional, meliputi ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tarikh tasyrik, falsafah tasyrik dan maqashid syariah, Untuk menguasai ilmu ushul fiqh saja, menurut Ibnu Taymiyah paling tidak harus dibaca dan ditelaah 100 buku/kitab tentang ilmu ushul fiqh, termasuk muqaranah mazahib fil ushul fiqh. Selain itu, ahli ekonomi syariah harus menguasai ratusan qaidah-qaidah fiqh ekonomi terapan. Kitab Undang-Undang Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah dari Khilafah Turki Usmani (1876 M) yang berisi 100 qaidah fiqh ekonomi sangatlah tidak memadai, karena terlalu bercorak Hanafi centris. Padahal terdapat ratusan qaidah lain dari mazhab yang lain. Karena itu perlu banyak membaca literature Arab tentang qaidah-qaidah fiqh ini. Ilmu tarikh tasyrik dan falsafah tasyri’ juga mesti dimiliki para ulama ekonomi syariah. Kalau tidak, akan menimbulkan kekakuan dan kebingungan dalam menjawab persoalan-persoalan ekonomi. Pengetahuan tentang asbun nuzul, nasakh mansukh, merupakan bagian dari pengetahun ilmu ushul fiqh. Yang lebih penting dalam ushul fiqh adalah pengetahunan tentang maqashid syariah. Untuk menguasa ini wajib dibaca dan dikuasai Al-Muwafaqat Al-Syatibi, Al-Mustashfa dan Syifaul Ghalil Al-Ghazali, juga perlu dilihat Risalah ath-Thufi, sebagai perbandingan.Kedua penguasaan bahasa Arab dan Inggris, Ketiga, menguasai ayat-ayat dan tafsir tentang ekonomi dan keuangan (sebaiknya hafal ayat-ayat tersebut) , demikian pula hadits-hadits tentang ekonomi dan ulumul hadits. dan sebaiknya juga menguasai pemikiran ekonomi para ilmuwan Islam klasik, seperti Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Ibnu Sina, Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Abu Yusuf, Asy-Syaybani, Ibnu Maskawaih, Al-Mawardy, Asy-Syatibi, Ibnu Qudamah, Ibnu Rusydi sampai Ibnu ‘Abidin. dan lain-lain. Keempat, memahami dengan baik masalah ekonomi keuangan kontemporer. (Akan semakin baik dan sempurna jika pernah terlibat sebagai praktisi) dan semakin baik lagi jika menguasai statistik dan ekonometrik. Tetapi ini tidak menjadi syarat bagi anggota Dewan Syariah atau Dewan Pengawas Syariah. Ilmu tersebut diperlukan para peneliti di Perguruan Tinggi atau yang membidangi manajemen resiko.Lebih jauh, sebagai kualifikasi kelima, ulama sekarang harus juga belajar ilmu ekonomi mikro dan makro, akuntansi dan teknik perbankan dan keuangan. Tanpa ilmu ekonomi makro, pemahaman tentang riba pasti tidak tepat dan jauh dari sempurna. Untuk menghasilkan fiqur ahli seperti ini, dibutuhkan universitas (pendidikan tinggi) mulai dari S1 sampai S3 yang secara khusus mendalami ilmu-ilmu ekonomi syariah. Keahlian khusus tersebut lebih akan bisa menghasilkan ulama yang lebih kredibel, jika sejak usia dini (misalnya ibtidaiyah) telah bergelut dengan disiplin ilmu-ilmu syariah di atas. Melalui pendidikan di S1, S2 dan S3, pemahaman ilmu ekonomi modern dan perbankan bisa seimbang dengan ilmu-ilmu syariah. Apalagi ketika di level tsanawiyah sudah dijarkan materi ekonomi dan perbankan Islam. Keenam, pakar ekonomi syariah harus khazanah pemikiran fiqh muamalah klasik dari berbagai mazhab dan ulama sepajang sejarah.Bila keenam syarat ini dipenuhi, Insya Allah masa depan ekonomi syariah akan makin mantap, berkembang dan maju dengan baik. baik secara akademis keilmuan maupun secara praktik empiris di lapangan. (Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Ushul Fiqh Ekonomi dan Fiqh Muamalah (for Islamic Banking and Finance) pada Pascasarjana UI, IEF S2 Universitas Trisakti, Program Magister Universitas Paramadina dan Univ. Az-Zahro)

Seguir leyendo...

Tangan Dingin Simon Eedle

Hal penting yang menjadi tanggung jawab Simon Eedle adalah menjaga kredibilitas Calyon sebagai penjamin emisi obligasi negara berbasis syariah senilai 350 juta dollar AS yang dikeluarkan Kementerian Keuangan Bahrain sejak Maret 2008.



MIMPI Simon Eedle terwujud pada 2004 justru saat dirinya baru setahun bertugas di Calyon Bahrain. "Tadinya kami masih mencoba-coba berkecimpung di perbankan syariah pada pertengahan 1980-an," ujar Eedle, Calyon Global Head Islamic Banking Bahrain.

Betapa tidak, sejak tim departemen perbankan syariah global pada 2004 terbentuk, Calyon yang merupakan kepanjangan tangan dari Credit Agricole Group asal Prancis itu menjadi pemain yang diperhitungkan dalam pengelolaan keuangan perbankan syariah. Sementara, Credit Agricole hingga Mei 2008 adalah bank terbesar ketiga di Prancis dalam hal nilai pasar.

Catatan prestasi Eedle antara lain adalah menjadikan Calyon ikut ambil bagian dalam sindikasi pembiayaan 2,9 miliar dollar AS untuk Mobily. Tak cuma itu, tahun lalu, Calyon berada di belakang pembiayaan murabahah untuk Mobile Telecommunications Company of Kuwait (MTC) senilai 1,2 miliar dollar AS. Bisnis Mada Leletisalat senilai 2,5 miliar dollar AS juga dikelola Calyon.

Berbekal kepiawaiannya di bidang akuntansi, Eedle, pria berkebangsaan Inggris ini memasuki dunia perbankan sejak lebih dari 20 tahun silam. Di Calyon, dirinya sudah berbakti selama 18 tahun. "Berbagai bidang di Timur Tengah, Asia, Eropa, dan Amerika Utara, sudah saya masuki," katanya.

Tahun ini, hal penting yang juga menjadi tanggung jawab mantan
Kepala Pendapatan Tetap New York Credit Agricole Indosuez (2003-2006) adalah menjaga kredibilitas Calyon sebagai penjamin emisi obligasi negara berbasis syariah Kementerian Keuangan Bahrain sejak Maret 2008. Sukuk ini bernilai 350 juta dollar AS. Gelontoran uang sebesar itu menjadi bagian penting bagi pembangunan Bahrain kini dan di masa mendatang.

Kendati begitu, Eedle yang bertangan dingin itu mengaku pencapaian Calyon dengan keberagaman keahlian mulai dari pembiayaan hingga asuransi berbasis syariah berangkat dari kebersamaan. "Kami punya keahlian kuat berikut pengalaman lebih dari 30 tahun," ujar sosok berusia 46 tahun ini.

Sementara, untuk lima tahun ke depan, Eedle melihat akan ada perkembangan perbankan syariah seiring dengan makin banyaknya warga Muslim yang berbondong-bondong menempatkan kepercayaan pengelolaan keuangan mereka melalui sistem syariah. "Pertumbuhan ekonomi di negara -negara Teluk juga akan makin terlihat," demikian Simon Eedle.

Seguir leyendo...


Sabtu, 29 November 2008 | 20:22 WIB
Dedikasi Prestasi Richard Thomas

BAGI seorang Richard Thomas, dedikasi prestasinya di perbankan syariah memang menjadi catatan tersendiri. Kini Richard bergabung dengan Global Securities House (GSH) di London. GSH merupakan bagian dari GSH Kuwait dan Securities House KSCC.

Seperti diketahui, GSH adalah penyedia solusi keuangan syariah terkemuka. Layanannya sudah mencapai berbagai belahan dunia. Richard juga adalah anggota UKTI Financial Services Advisory Board (FSSAB) dan memimpin Subkomite Pelayanan Keuangan Syariah. Ia pun menjadi anggota tim penasihat IIBI dan bekerja tetap di Keuangan dan Perbankan Syariah sejak 1980.

Setelah sepuluh tahun bersama SIB, Richard bergabung dengan The United Bank of Kuwait. Bersama bank tersebut, Richard membangun kemampuan bank itu di bidang syariah.

Lalu, pada 2004, Richard menjadi CEO ABCIB Islamic Asset Management and Head of Islamic Financial Services di ABC International Bank, London. (Josephus Primus)

Seguir leyendo...



Perbankan Syariah Melaju Melintasi Guncangan, Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan Nasional
By Ramzi A. Zuhdi, Direktur Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia
Kamis, 27 November 2008 pukul 09:30:00
Tanya:
Bagaimana kondisi perbankan syariah di Indonesia di tengah krisis keuangan global yang sedang terjadi saat ini? Dan bagaimana prospeknya di tahun 2009 yang akan datang?

Jawab:
Sebagai sebuah negara yang perekonomiannya terbuka, Indonesia tak luput dari imbas dinamika pasar keuangan global. Termasuk pula imbas dari krisis keuangan yang berawal dari Amerika Serikat, yang menerpa negara-negara lainnya, dan kemudian meluas menjadi krisis ekonomi secara global yang dirasakan sejak semester kedua tahun 2008. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9% pada 2008 menjadi 3% pada tahun 2009. Perlambatan ini tentu saja pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja ekspor nasional, yang pada akhirnya berdampak kepada laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Kemudian bagaimana dampak guncangan sistem keuangan global ini terhadap industri perbankan syariah di Indonesia? Eskposure pembiayaan perbankan syariah yang masih lebih diarahkan kepada aktivitas perekonomian domestik, sehingga belum memiliki tingkat integrasi yang tinggi dengan sistem keuangan global dan belum memiliki tingkat sofistikasi transaksi yang tinggi; adalah dua faktor yang dinilai telah ''menyelamatkan'' bank syariah dari dampak langsung guncangan sistem keuangan global. Terbukti, selama tahun 2008 jaringan pelayanan bank syariah terus mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang. Sehingga saat ini sudah ada 1.440 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) bertambah, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima BUS.

Kinerja pertumbuhan pembiayaan bank syariah tetap tinggi sampai akhir tahun 2008 dengan kinerja pembiayaan yang baik (NPF, Net Performing Financing di bawah 5%). Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6% dari triwulan ketiga tahun 2007 atau menjadi 42,9% pada triwulan ketiga tahun 2008. Sementara itu, nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.37,7 triliun. Sekali lagi industri perbankan syariah menunjukkan ketangguhannya sebagai salah satu pilar penyokong stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan kinerja pertumbuhan industri yang mencapai rata-rata 60% sejak dikembangkannya pada tahun 1992, perbankan syariah di Indonesia diperkirakan tetap akan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada tahun 2009.

Untuk tahun 2009 yang akan datang, perbankan syariah nasional diperkirakan masih akan berada dalam fase high-growth-nya. Optimisme tersebut didasarkan kepada asumsi, bahwa faktor-faktor yang mempercepat pertumbuhan industri perbankan syariah akan dapat dipenuhi, antara lain: realisasi konversi beberapa UUS (Unit Usaha Syariah) menjadi BUS (Bank Umum Syariah), implementasi UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai kepastian hukum berhasil mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah; implementasi UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN mampu memberikan semangat industri untuk meningkatkan kinerjanya, dukungan dari Amandemen UU Perpajakan sebagai kepastian hukum berhasil mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah melalui peran investor asing, iklim dunia usaha yang tetap kondusif di tengah aktivitas Pemilu, meningkatnya pemahaman masyarakat dan preferensi untuk menggunakan produk dan jasa bank syariah, serta realisasi penerbitan Corporate SUKUK oleh bank syariah untuk memperkuat base capital perbankan syariah.

Dengan positioning khas perbankan syariah sebagai ''lebih dari sekedar bank'' (beyond banking), yaitu perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi, kita yakin bahwa di masa-masa mendatang akan semakin tinggi minat masyarakat Indonesia untuk menggunakan bank syariah. Dan pada gilirannya hal tersebut akan meningkatkan signifikansi peran bank syariah dalam mendukung stabilitas sistem keuangan nasional, bersama-sama secara sinergis dengan bank konvensional dalam kerangka Dual Banking System (sistem perbankan ganda) Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Seguir leyendo...


Perbankan Syariah 2009 Berpotensi Tumbuh

JAKARTA, JUMAT - Konsultan Bisnis dan Finansial Adiwarman Azwar Karim, menilai industri skala mikro dan bisnis syariah masih berpotensi tumbuh pada 2009.

Adiwarman, di Jakarta, Jumat (21/11) mengatakan dampak nyata yang akan dialami oleh perbankan syariah nasional dalam masa ketidakpastian perekonomian global sekarang ini adalah sulitnya untuk bersaing dengan bank-bank konvensional.

"Namun pengaruhnya ekonomi syariah dalam perekonomian global akan membuat fenomena baru dan kita menduga ada dua industri yang akan berkembang pada 2009 yaitu industri mikro dan syariah," himbau Adiwarman.

Menurut dia, beban yang akan dialami oleh kedua industri itu akibat ketidakpastian ekonomi global hanya memberikan exposure yang kecil sehingga memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan bisnis di masa mendatang.

Selain itu, Adiwarman mengatakan dampak dari resesi ekonomi terhadap perbankan Syariah yaitu menjadi tidak kompetitifnya bisnis syariah apabila dihadapkan pada melemahnya kurs rupiah terhadap dollar AS.

"Investasi di sektor riil juga dalam hitungan per semester akan membatalkan investasinya dan dampak yang selanjutnya para investor secara bertahap akan kabur," terang Adiwarman.

Seguir leyendo...

Bank Syariah Diharap Garap Sektor Pertanian

Ujung Pandang Express
Jumat, 28-11-2008

JAKARTA–Pembiayaan perbankan syariah di sektor pertanian hingga saat ini masih minim. Dengan total lahan pertanian seluas 7,7 juta hektare, sektor tersebut merupakan pasar yang potensial untuk dikembangkan oleh perbankan syariah di 2009.
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Agustianto, menyatakan total pembiayaan bank syariah di bisnis ini baru sekitar 3% dari seluruh total pembiayaan sebesar Rp 27 triliun per September 2008. Jadi pembiayaan pertanian sudah mencapai Rp 837 milyard. Padahal, sektor tersebut menyumbang sekitar 15% untuk PDB. “Hal itu menunjukkan betapa sektor pertanian cukup penting, tapi sayangnya pembiayaannya masih kecil,” kata Agustianto.
Yang menjadi kendala dalam pembiayaan tersebut, ialah resiko tinggi pada sektor ini. Selain itu juga minimnya penyuluhan sistem perbankan syariah kepada para petani. Untuk mengembangkan sektor pertanian, sebagian besar para petani menggunakan modal sendiri,yakni 85,4 %. Selebihnya modal bank dan LKS non Bank.

Sementara itu, baru 13, % petani di Indonesia yang mendapatkan penyuluhan. Itupun penyuluhan budidaya, pengolahan hasil dan pemasaran, belum ada penyuluhan ekonomi syariah.
Maka, sosialisasi dan edukasi pun, lanjut Agus, harus terus diintensifkan agar para petani mengetahui tentang struktur perbankan syariah dan skim yang ditawarkan.
Dia mengakui sektor pertanian memiliki kendala cukup banyak karena selain memerlukan biaya yang tidak sedikit, termasuk biaya transportasi, juga produksi pertanian dipengaruhi oleh faktor musim.Untuk itu Agus menyarankan adanya penyuluhan dan pendampingan bagi para petani agar produksi pertanian bisa maksimal dan meminimalisasi terjadinya gagal panen. Adanya Bank Umum Syariah (BUS) baru di 2009 pun diharapkan dapat membidik sektor pertanian Indonesia.
Selain sektor pertanian, Agus mengatakan sektor usaha kecil menengah di pasar domestik juga perlu terus mendapatkan perhatian dari perbankan syariah. Sektor UKM yang bisa bertahan di tengah krisis, ujar Agus, membuat pasar tersebut merupakan lahan potensial untuk kucuran dana pembiayaan.
Unit Usaha Syariah Bank Jabar mencatat pembiayaan ke sektor pertanian sebesar Rp 10 miliar yang terkonsentrasi ke daerah Garut (tomat dan bawang), Majalengka (sawah dan palawija), Indramayu (sawah), dan Sukabumi (paneli). Dari empat wilayah tersebut terdapat dua wilayah yang mengalami kendala dalam pembiayaan, yaitu Garut dan Sukabumi.
Menurut Kepala Divisi Syariah Bank Jabar, Rukmana, hal tersebut dikarenakan ada sejumlah petani yang menunggu harga komoditas naik setelah melakukan panen. “Mereka bersikap spekulatif dengan menunggu harga naik lagi, padahal selama ini harga tetap jadi mereka merugi,” kata Rukmana. Pihak bank Jabar sendiri tetap melakukan pendampingan kepada petani untuk memaksimalkan produksi panen. (Int Rusli)

Seguir leyendo...

Ushul Fiqh dan Ulama Ekonomi Syariah

Agustianto

Perkembangan ekonomi syariah saat ini secara terus menerus mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di panggung internasional, maupun di Indonesia. Perkembangan ekonomi syariah tersebut meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah, pegadaian syariah dan berbagai bentuk bisnis syariah lainnya.

Dalam mengembangkan dan memajukan lembaga tersebut, sehingga dapat bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, dibutuhkan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah. Selain itu, ekonomi syariah bukan saja dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan, tetapi juga meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan dan pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti upah dan perburuhan, dan sebagainya. Sepanjang subjek itu terkait dengan ekonomi syariah, maka keterlibatan ulama syariah menjadi niscaya. Ulama ekonomi syaria berperan : 1. berijtihad memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi keuangan yang muncul baik skala mikro maupun makro. 2. Mendesign akad-akad syariah untuk kebutuhan produk-produk bisnis di berbagai lembaga keuangan syariah, 3. Mengawal dan menjamin seluruh produk perbankan dan keuangan syariah dijalankan sesuai syariah.

Untuk menjadi ulama ekonomi syariah dengan tugas seperti itu, diperlukan sejumlah syarat/kualifikasi. Kualifikasi ini diperlukan, karena ulama ekonomi syariah berperan mengeluarkan fatwa-fatwa yang terkait dengan ekonomi syariah melalui ijtihad. Ijtihad merupakan pekerjaan para ulama dalam menjawab persoalan-persoalan hukum syariah dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul.
Menurut disiplin ilmu ushul fiqh, salah satu syarat yang harus dimiliki ulama yang bertugas berijtihad adalah menguasai ilmu ushul fiqh. Tanpa mengetahui ilmu ushul fiqh, maka keberadaannya sangat diragukan, bahkan tidak memenuhi syarat sebagai ulama ekonomi syariah. Demikian pula halnya dengan figur yang duduk sebagai majlis fatwa, dewan syariah atau dewan pengawas syariah yang senantiasa menghadapi masalah-masalah ekonomi syariah, dibutuhkan pengetahuan yang mendalam dan luas tentang ilmu ushul fiqh dan perangkat ilmu syariah yang terkait.

Urgensi dan kedudukan ilmu ushul fiqh
Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqh menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Asy-Syatibi (w.790 H), mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkannya. Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Siapa yang tidak menguasai ilmu ushul fiqh, maka diragukan ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” .
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh merupakan satu di antara tiga ilmu yang harus dikuasai setiap ulama mujtahid, dua lainya adalah hadits dan bahasa Arab. Prof. Salam Madkur (Mesir), mengutip pendapat Al-Razy yang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang paling penting yang mesti dimiliki setiap ulama mujtahid. Ulama ekonomi syariah sesungguhnya (seharusnya) adalah adalah bagian dari ulama mujtahid, karena ulama ekonom syariah harus berijtihad memecahkan berbagai persoalan ekonomi, menjawab pertanyaan-pertanyaan boleh tidaknya berbagai transaksi bisnis modern, memberikan solusi pemikiran ekonomi, memikirkan akad-akad yang relevan bagi lembaga keuangan syariah. Memberikan fatwa ekonomi syariah, jika diminta oleh masyarakat ekonomi syariah. Untuk mengatasi semua itu, seorang ahli syariah (dewan syariah), harus menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam karena ilmu ini diperlukan untuk berijitihad.
Seorang ulama ekonomi syariah yang menduduki posisi sebagai dewan pengawas syariah apalagi sebagai Dewan Syariah Nasional, mestilah menguasai ilmu ushul fiqh bersama ilmu-ilmu terkait, seperti qaw’aid fiqh, tarikh tasyri’, falsafah hukum Islam, tafsir ekonomi, hadits-hadits ekonomi, dan sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Oleh karena penting dan strategisnya penguasaan ilmu ushul fiqh, maka untuk menjadi seorang faqih (ahli fiqh), tidak diharuskan membaca seluruh kitab-kitab fiqh secara luas dan detail, cukup mengetahui sebagian saja asal ia memiliki kemampuan ilmu ushul fiqh, yaitu kemampuan istinbath dalam mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at, baik ijtihad istimbathy maupun ijtihad tathbiqy. Metodologi istimbath tersebut disebut ushul fiqh. Demikianlah pentingnya ilmu ushul fiqh bagi seorang ulama. Termasuk dalam lingkup ushul fiqh adalah pengetahuan maqashid syariah. Seorang ulama ekonomi syariah harus memahami konsep maqashid syariah dan penerapannya. Untuk menguasai ilmu maqashid syariah, harus dibaca buku-buku tentang ilmu maqashid syariah, seperti, Al-Muwafaqat karangan Imam Al-Syatibi, Al-Mustashfa dan Syifaul Ghalil karangan Imam Al-Ghazali, I’lamul Muwaqqi’in, karangan Ibnu Al-Qayim, Qawa’id Ahkam fi Masholih al-Anam, karya Izzuddin Abdus Salam (660 H), kitab Maqashid al- Syariah karya Muhammad Thahir Ibnu ’Ashur ( Tunisia, 1946, ) Al-Ijtihad karya Prof. Dr Yusuf Musa, dan sebagainya. Sedangkan untuk menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam minimal seorang ulama membaca 100 buku ushul fiqh. (Daftar buku ushul dipaparkan pada tulisan kedua artikel ini)
Dalam ilmu ushul fiqh dipelajari berbagai macam obyek kajian, seperti :
1. Kaedah-kaedah ushul fiqh kulliyah yang digunakan dalam mengistimbath hukum dan cara menggunakanya. Dengan mempelajari ushul fiqh, seorang ulama ekonomi syariah akan mengetahui metode ijtihad para ulama.
2. Sumber-sumber hukum Islam ; Al-quran, Sunnah, dan Ijma’, serta metode perumusan hukum Islam, seperti qiyas, maslahah mursalah , istihsan, sadduz zari’ah, mazhab shahabi,’urf, qaul shahaby, dll.
3. Konsep Ijtihad dan syarat-syarat menjadi ulama mujtahid, juga konsep fatwa
4. Konsep qath’iy dan zhanniy,
5. Prioritas kehujjahan dalil-dalil syara’, dsb.

Selain ilmu ushul fiqh, seorang ulama ekonomi syariah seharusnya menguasai qawa’id fiqh, khususnya yang terkait dengan qawa’id fiqh ekonomi (muamalah). Kitab-kitab qawa’id fiqh sangat luas dan beragam. Seorang ulama ekonomi syariah tidak cukup meguasai kitab Al-Asybah wan Nazhair karya Al-Suyuthy atau Al_Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah, Kitab Undang-Undang Ekonomi Islam Turki Usmani di masa lampau (1876), karena Qanun ekonomi Islam tersebut hanya berisi 100 qaidah fiqh ekonomi dan terlalu Hanafi centris. Namur demikian, Al-majallah ini seharusnya menjadi buku wajib pada mata kuliah qawaid fiqh di jurusan perbankan dan ekonomi syariah di IAIN/UIN. Di jurusan ekonomi Islam, jangan lagi diajarkan qawaid fiqh yang penuh munakahat, ibadah dan jinayat. Qawaid fiqh pada tiga bidang ini difokuskan di jurusan lain. Sedangkan jurusan ekonomi syariah atau perbankan syariah hanya membahas qawid fiqh tentang ekonomi keusangan.
Selain syarat menguasai ilmu ushul fiqh, maqashid dan qawa’id fiqh, seorang ulama ekonomi syariah juga harus menguasai ayat-ayat hukum. Menurut Imam Al-Ghazali, seorang ulama mujtahid paling tidak menguasai 500 ayat –ayat hukum syariah. Pendapat Imam Al-Ghazali, meskipun tidak relevan menjadi syarat ulama ekonomi syariah, karena 500 ayat tersebut mencakup munakahat, dan jinayat dan hukum dil luar ekonomi. Namun syarat tersebut harus menjadi pertimbangan dalam hal penguasaan ayat-ayat bagi ulama ekonomi syariah.
Jadi, paling tidak ulama ekonomi syariah seharusnya menguasai 370 ayat tentang ekonomi dalam Al-quran. Menurut C.C. Torrey dalam buku The Commercial Theological Term in the Quran dan Dr. Mustaq Ahmad dalam Etika Ekonomi dalam Al-Quran, bahwa di dalam Al-quran tedapat 370 ayat tentang bisnis. Maka semua ini harus dikuasai oleh ulama ekonomi syariah. Selain itu, ulama ekonomi syariah juga harus menguasai 1350 hadits-hadits ekonomi, ditambah ilmu mushthalah hadits. Oleh karena banyaknya ayat dan hadits tentang ekonomi dan bisnis, maka di seluruh program pascasarjana ekonomi keuangan Islam, materi ayat dan hadits bekonomi ini dijadikan sebagai mata kuliah wajib.
Dalam konteks pemahaman ayat-ayat ekonomi, seorang ulama ekonomi syariah harus mengeatahui asbabun nuzul, juga masalah-masalah yang telah diijma’iy ulama, metode ijma’, syarat-syarat ijma’, metode qiyas, metode maslahah, ishtihsan, ‘urf, qaul Sahabi, dan sebagainya.
Melihat, sejumlah syarat-syarat yang harus dimiliki ulama ekonomi syariah, ada tiga hal yang menjadi catatan.
Pertama, kelihatannya menjadi ulama ekonomi syariah tersebut, sangat sulit, tetapi bagi generasi yang hidup dan bergelut dengan tradisi keilmuan syariah sejak usia dini, memenuhi syarat-syarat itu tidaklah terlalu sulit. Maka, jika kita mau jujur, ikhlas, dan terbuka, masih ada ahli-ahli syariah di Indonesia yang memiliki pengetahuan mendalam dan luas tentang ushul fiqh dan sekaligus tentang ekonomi Islam. Majlis Ulama Indonesia dan bank-bank syariah harus secara cerdas memilih dan mempertahankan para ahli syariah yang memenuhi kualifikasi yang memadai dan bisa diandalkan.
Kedua, para mahasiswa pascasarjana jurusan ekonomi syariah di manapun berada, tidak perlu berkecil hati, jika bukan dibesarkan dari pendidikan syariah yang arabic (Ibtidaiyah salafi, Tsanawiyah salafi dan Aliyah salafi). Maksud sekolah salafi adalah sekolah yang semua rujukan pelajarannya berbahasa Arab, kitab kuning), dan tak perlu juga berkecil hati jika bukan berasal dari sarjana syariah, karena tujuan belajar ilmu ushul fiqh di program ekonomi syariah bukanlah untuk menjadi mujtahid (ulama) yang ahli ushul fiqh, pakar ushul fiqh atau dosen ushul fiqh yang handal, tetapi sekedar untuk : 1. Memahami dan mengetahui metode istimbath para ulama dalam menetapkan hukum Islam, khususnya hukum ekonomi keuangan, 2. Mengetahui kaedah-kaedah ushul fiqh dan qawaid fikih dan cara menerapkannya 3. Mengetahui dalil-dalil hukum ekonomi Islam dan proses ijtihad ulama dari dalil-dalil yang ada.4, Mengetahui sumber-sumber hukum ekonomi Islam dan keterkaitannya dengan epistemologi ekonomi Islam. 5. Mengetahui prinsip-prinsip umum syariah yang ditarik dari Al-quran dan sunnah.
Hal itu sama dengan seorang sarjana syariah belajar ekonometrik. Tujuannya bukanlah menjadi pakar ekonometrik, atau dosen ekonometrik, tetapi dapat menerapkannya dalam metode penelitian ekonomi, mengukur berbagai macam resiko, dan sebagainya. Dengan berbekal ilmu ushul fiqh, seorang mahasiswa pascasarjana sudah dapat menjadi konsultan ekonomi syariah, Dewan Pengawas Syariah, menjadi praktsi ekonomi syariah yang memahami metode menetapkan hukum ekonomi Islam, juga menjadi officer atau ALCO di bank-bank syarah.
Ketiga, keharusan belajar ilmu ekonomi keuangan dan ushul fiqh secara ekstra. Ulama yang ahli syariah, jika diminta menjadi Dewan Pengawas Syariah, misalnya, seharusnya memiliki ghirah yang kuat untuk mendalami dan mempelajari ilmu ekonomi dan perbankan serta keuangan, sebab tanpa bekal ilmu ekonomi dan perbankan, maka rumusan fatwa bisa tidak tepat dan kaku. Bahkan DPS wajib belajar akuntansi secara sederhana, agar bisa membaca laporan keuangan lembaga keuangan syariah. Sedangkan bagi Dewan Pengawas Syariah atau anggota Dewan Syariah Nasional yang bukan berasal dari latar pendidikan ilmu syariah, tidak segan-segan belajar ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu syariah lainnya kepada ahli ushul fiqh yang memahami ekonomi keuangan, juga belajar ilmu maqashid, falsafah tasyri’ dan tarikh tasyri’, juga ilmu bahasa Arab, tafsir ayat-ayat ekonomi, hadits-hadits ekonomi. Upaya integrasi ilmu ini menjadi keniscayaan, agar di masa depan dikhotomi ahli ilmu syariah dan ahli ekonomi umum dapat dihilangkan secara bertahap. Pada gilirannya nanti, sejalan dengan berkembangnya program doktor (S3) ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi dunia, figur integratif yang menguasai dua bidang keilmuan sekaligus dapat diwujudkan.
Para ulama ekonomi ekonomi syariah (Dosen Perguruan Tinggi, DPS dan DSN) yang belum mendalami ilmu ushul fiqh harus membaca sejumlah kitab-kitab ushul fiqh yang terkenal, agar bisa memahami dasar-dasar ilmu ushul fiqh dan maqashid. Sarjana ekonomi umum memang sulit menjadi ahli ushul fiqh. Namun pemahaman pokok-pokoknya tidaklah terlalu sulit asalkan mau dan serius belajar, khususnya di perguruan Tinggi.
Menurut Ibnu Taymiyah, untuk menjadi ahli di bidang tertentu, seperti ushul fiqh, paling tidak menguasai (mempelajari) seratus buku ushul fiqh. Upaya untuk menjadi ahli ilmu ushul fiqh secara mendalam hanyalah melalui proses pendidikan panjang dan intensif, seperti melalui pendidikan pesantren salafi, selanjutnya dikembangkan di Perguruan Tinggi S1, S2 dan S3. Di pesantren salafi (kitab kuning) buku-buku ushul fiqh yang dibaca sangat terbatas, karena tidak ada tradisi membuat makalah dan presentasi dengan membaca puluhan buku ushul fiqh, tetapi di Perguruan Tinggi, seorang mahasiswa yang mendalami ushul fiqh dapat membaca puluhan, belasan, bahkan seratusan buku-buku ushul fiqh dan ilmu-ilmu syariah yang terkait. Hal itu dikarenakan mahasiwa diwajibkan membuat makalah atau membuat karya ilmiah skripsi atau tesis yang harus dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Fakultas Syariah IAIN/UIN/STAIN, merupakan lembaga kajian ilmu-ilmu syariah, yang secara intensif mengkaji ilmu ushul fiqh, qawai’d fiqh dan ilmu syariah yang terkait. Sudah Menjadi tradisi dan lumrah dalam pembuatan skripsi tentang ushul fiqh, mahasiswa membaca seratusan kitab ushul fiqh dan disiplin ilmu syariah yang terkait.
Mahasiswa unggulan dan terbaik dari perguruan tinggi Islam tersebut dapat menjadi calon ilmuwan ushul fiqh jika dia mengembangkan lagi di program pascasarjana S2 dan S3 ekononi syariah atau program studi syariah saja. Ketika memasuki jenjang S3, seorang sarjana syariah seharusnya bisa menjadi mujtahid, asalkan memenuhi sejumlah syarat yang dikemukakan di atas. Namun harus dicatat masih banyak sarjana syariah yang belum memenuhi kualifikasi sebagai ulama ekonomi syariah. Indikatornya mudah sekali diukur antara lain, kemampuan bahasa Arab, kemampuan berijtihad dengan imu ushul fiqh dan qawa’id fiqh, kemampuan penguasaan ayat-ayat al-quran dan tafsirnya (khususnya tentang ekonomi), juga kemampuan ilmu hadits-hadits. Jika keempat indikator ini saja tidak beres, maka kedudukan sebagai calon ulama ekonomi syariah menjadi gugur.
Namun harus dicatat, jika 4 indikator tersebut sudah dipenuhi, seseorang belum tentu bisa mejadi ulama ekonomi syariah, karena dia disyaratkan harus menguasai ilmu ekonomi syariah, dan teknik perbankan dan keuangan. Syarat untuk menguasai ilmu ekonomi syariah tidak bisa tidak, harus belajar dulu ilmu ekonomi konvensional, baik mikro maupun makro, bahkan ilmu ekonomi pembangunan, public finance, ilmu akuntansi dan perbankan dan lembaga keuangan. Semua ini hanya dapat dicapai melalui pendidikan formal atau training berkelanjutan.
Buku-buku yang terkait kuat dengan ushul fiqh juga harus dikuasai oleh ulama ekonomi syariah, seperti kitab-kitab tarikh tasyri’, fiqh muamalah klasik dan kontemporer, perbandingan mazhab, qawaid fiqh, falsafah asyri’ atau falsafah hukum Islam. Sulit menyebutkan nama-nama kitab yang direkomenfasikan untuk dikuasai para ulama ekonomi syariah, karena ruangan yang terbatas. Sekedar contoh, untuk menguasai ilmu tarikh tasyri’, ulama ekonomi syariah minimal membaca buku Tarikh Tasyri’ Abdul Wahhab Khallaf, Tarikh Tasyri’ Muhammad Ali Al-Sayis, Tarikh Mazahib al-Islamiyah Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Tasyrik Khudhriy Beyk dan sebagainya. DI IAIN belasan buku tarikh tasyrik menjadi buku wajib untuk mata kuliah bersangkutan.
(Penulis adalah Dosen Ushul fiqh Ekonomi, Fiqh Muamalah Ekonomi, Ayat Hadits ekonomi di Pascasarjana UI, Islamic Economic and Finance Trisakti, Program Magister (S2) Perbankan dan Keuangan Universitas Paramadina, Pascasarjana Perbankan dan Keuangan Islam Universitas Az-Zahro, UIN Syahid Jakata dan UHAMKA, juga sebagai Advisor di Bank Muamalat Indonesia).

Seguir leyendo...

Regulasi REPO Bank Syariah Mendesak Dikeluarkan Bank Sentral

Oleh : Agustianto

Saat ini krisis likuiditas melanda sejumlah lembaga perbankan, termasuk bank syari’ah. Ketatnya likuiditas bank syariah lebih dipicu oleh kondisi FDRnya yang selalu jauh lebih tinggi dibanding bank konvensional. Tingginya FDR ini sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun, di sisi lain, bank syariah mengalami kesulitan likuiditas jika para nasabah ingin menarik dananya dari bank syariah. Gejala penarikan itu terlihat dari penurunan DPK dan SBI Syariah.

Pada bulan Juni 2008, simpanan DPK mencapai Rp 33,05 triliun, sedangkan Agustus 2008 hanya Rp 32,36 triliun atau turun 2%. Hal itu lalu memicu penurunan SBIS yang tinggal Rp 1,82 triliun pada posisi Agustus, padahal Juni tercatat sebesar Rp 3,08 triliun. Turunnya SBIS tersebut mengindikasikan ketatnya likuiditas di bank syariah. Untuk itu, pemberian fasilitas repo bagi bank syariah pemilik SBIS atau SBSN menjadi sebuah keniscayaan (keharusan). Dalam perspektif ushul fiqh, pemberian repo kepada bank-bank syariah adalah suatu kebutuhan (hajat) yang dipandang sebagai maslahah, bahkan bisa menjadi maslahah dharuriyah, yakni maslahah yang wajib (mutlak) dilakukan. Dalam kaedah ushul fiqh disebutkan Al-hajah qad tanzilu manzilatat dharurah. (Kebutuhan itu terkadang menempati dharurat).

Bank Indonesia selaku bank sentral seharusnya menyediakan repo bagi bank syariah yang memiliki Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jadi perbankan syariah dapat mengadaikan surat berharga syariah berupa surat berharga syariah negara (SBSN) maupun Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Kalau BI sudah akan mengeluarkan kebijakan REPO, maka kita merasa senang dan menyambut baik kebijakan tersebut. karena BI memberi kelonggaran kepada bank-bank syariah sehingga lembaga ini bisa mengatur likuiditas lebih baik,

Kembali kepada FDR banak syariah, menurut hemat saya, tingginya FDR (finance deposit ratio) bank syariah, (di atas 95%) membuat kebijakan pelonggaran likuiditas bank syariah sangat diharapkan. Sebab saat ini semua bank mengalami pengetatan likuditas Artinya. bank syariah lebih berhajat (membutuhkan) likuiditas dibandingkan bank konvensional, karena FDR bank syariah sangat tinggi, mencapai 100 %. Ini berarti dana pihak ketiga hampir semuanya dikucurkan untuk pembiayaan. Sementara bank konvensional hanya 50%, selebihnya dimainkan dalam surat berharga.

Saya mengkritik Bank Indonesia, dalam masalah likuiditas yang terlalu fokus pada bank konvensional. Padahal bank syariah lebih membutuhkan likuiditas dibandingkan bagi bank konvesnsional. Lihatlah angka loan to deposit ratio (LDR) di bank konvensional dan FDR di bank syariah. Di bank konvensional rasionya hanya 50% yang dikucurkan untuk kredit, sisanya disimpan di surat berharga, berarti 50 % lainnya dibelikan ke surat berharga. Sehingga ketika bank konvensional memerlukan likuiditas, mereka bisa menjual surat berharganya tersebut.

Harus dicatat, bahwa saat ini angka FDR di bank syariah, mencapai 113% dan sepenuhnya dikucurkan dalam bentuk pembiayaan. Jadi, jika bank syariah menerima Rp 100 milyar maka semuanya disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Ini dikarenakan memang secara prinsip, bank syariah sangat peduli pada sector riel dan memang Islam mengajarkan yang demikian. Bank syariah tidak bermain di surat berharga melainkan lebih mengutamakan bisnis riil di masyarakat. Jadi pemberian repo kepada bank syariah jauh lebih wajib dibanding bank konvensional Lihatlah faktanya, pembiayaan yang disalurkan ke umat lebih dari 100% yakni 113%. Sisanya yang 13% diambil dari modal bank. Di sinilah luar biasanya bank syariah. Bank Indonesia harus tahu akan hal itu.

Dalam kondisi FDR yang tinggi tersebut, kemungkinan sekali ada nasabah yang mau menarik depositonya di bank syariah maka pihak bank syariah akan mengalami kesulitan, karena tidak ada likuiditas. Oleh karena itu, kita mengusulkan kepada BI, agar segera mengeluarkan instrumen likuiditas untuk bank syariah dengan kebijakan repo bagi bank syariah yang tidak saja dalam bentuk menggadaikan SBIS, tetapi juga Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jika kedua surat berharga tersebut tidak dimiliki bank syariah, maka harus ada Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia. Jadi BI perlu ada kebijakan yang jelas dan maslahah.

Pokoknya sejumlah cara yang halal harus ditempuh untuk menyiasati ketatnya dana di perbankan syariah. Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS) mungkin bisa menjadi salah satu alternatif dengan rate IMA. Namun, PUAS tidak efektif untuk dilakukan dengan nilai pinjaman bank yang terlampau besar. Tenor yang sangat pendek akan sangat mengganggu. Sebab, jika sahibul mal (bank pemberi dana) nantinya menagih, maka bank mudharib bisa terganggu arus keuangannya. Hal itu bisa memperburuk kualitas likuiditas bank yang menjadi mudharib. Lagi pula kondisi riil perbankan syariah sulit untuk menerapkan PUAS, karena hampir seluruh bank syariah kekurangan likuiditas Kesimpulannya, Bank Indonesia dituntut segera mengeluarkan kebijakan repo bank syariah agar bank syariah menjadi longgar likuiditasnya

Seguir leyendo...

Dosa Riba menurut Alquran dan Sunnah

oleh: Agustianto

Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa seluruh ahli ekonomi Islam dunia, sejak tahun 1973 sampai sekarang telah sepakat bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah Islam, dan hukum mengambilnya adalah haram. Menurut penelitian Prof.Dr.M.Akram Khan, Prof, Dr. M.Umer Chapra, Prof.Dr.Yusuf Qardhawi, Prof. Muhammad Ali Ash-Shobuni, dan sejumlah ulama lainnya, kesepakatan itu telah menjadi ijma’ ulama dunia. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank.
Pada tahun 1976, sejumlah 300 pakar ekonomi dan ulama dunia sepakat tentang keharaman bunga bank yang mereka putuskan pada Konferensi I Ekonomi Islam Internasional di Jeddah. Bahkan sebelumnya, yakni tahun 1973, seluruh ulama OKI sepakat tentang keharaman bunga bank tersebut. Konferensi internasional yang dihadiri ratusan pakar ekonomi Islam dunia itu telah berulang kali digelar di berbagai negara. Puluhan konferensi, seminar dan simposium internasional itu menyepakati secara bulat tentang keharaman bunga bank.

Jadi, kalau seluruh ahli ekonomi Islam se-dunia sepakat tentang keharaman bunga bank, dikuatkan lagi oleh ulama OKI dan Rabithah Alam Al-islami serta Majma’ Buhuts (lembaga fatwa) di seluruh dunia, tetapi anehnya, mengapa ada segelintir orang yang tak ahli tentang ekonomi Islam berkomentar membantah keharaman bunga bank. Itu adalah sebuah keanehan dan secara keilmuan cukup memalukan. Hal ini jelas apabila kita ambil sindiran Alquran tentang mereka yang tak ahli dalam bidang itu. Firman Allah,

“Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah untuk urusan itu, maka ikutilah syari’ah itu, jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.

Menurut ayat ini, orang yang tidak mengikuti syari’ah (termasuk ekonomi syari’ah), adalah karena dua alasan. Pertama, Mereka mengikuti hawa nafsu, karena terganggu kepentinga dunianya, 2. Mereka memang tidak tahu tentang syari’ah itu (dalam hal ini ekonomi dan ilmu moneter syari’ah).
S

eorang Professor muslim sekalipun, tapi tidak mendalami ilmu moneter, mereka seringkali tidak tahu tentang praktek moneter dan dampaknya dalam ekonomi makro. Kalau mereka telah mendalami itu, bisa dipastikan mereka akan mengharamkan bunga, sebagaimana ratusan pakar ekonomi Islam lainnya.

Dosa Riba.
Dalam Islam, riba termasuk dosa besar yang harus dijauhi. Sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,

اجتنبوا السبع الموبقات : قالوا يا رسول الله وما هن ؟ قال : الشرك بالله والسحر و قتل النفس التى حرم الله الا بالحق و أكل الربا وأكل مال اليتيم والتولى يوم الزحف و قذف المحصنات المؤمنات الغافلات (متفق عليه)

“Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata,

لعن رسول الله صلعم أكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهديه و قال : سواء(رواه مسلم)
“Rasulullah melaknat dan mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya sama”.(H.R.Muslim)

Selanjutnya, Abbdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,
عن ابن مسعود ان النبي صلعم قال : الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه (رواه الحاكم)

“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).
اربع حق على الله أن لا يدخلهم الجنة ولا يذيقهم نعيمها : مدهن الخمر و أكل الربا وأكل مال اليتيم بغير حق و العاق لوالديه (رواه الحاكم)

Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).

Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,

الدرهم يصيبه الرجل من الربا اعظم عند الله من ثلاثة وثلاثين زينة يزنيها فىالاسلام (رواه الطبرانى

Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam islam”.(H.R. Darul Quthny)

ان الدرهم يصيبه الرجل من الربا أعظم عند الله في الخطيئة من ست و ثلاثين زينة يزنيها الرجل و أن أربى الربا عرض الرجل المسلم ( رواه ابن أبي الدنيا و البيهقي)

Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu Dunya).

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda,
اذا ظهر الربى والزنى في قرية فقد أحلوا بعذاب الله (رواه الحاكم)

“Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)

Amru bin Ash mendengar langsung Nabi mengatakan,

ما من قوم يظهر فيهم الربا الا أخذوا با لسنة وما من قوم يظهر فيهم الرشا الا أخذو با لرعب ( رواه أحمد)

“Bila riba merajalela pada suata bangsa, maka mereka akan ditimpa tahun-paceklik (krisis ekonomi). Dan bila suap-menyuap merajalela, maka mereka suatu saat akan ditimpa rasa ketakutan”. (H.R. Ahmad).

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, bahwa Nabi SAW bersabda,

اياك و الذنوب التى لا تغفر : الغلول فمن غل شيئا اوتي به يوم القيامة و أكل الربا بعث يوم القيامة مجنونا يتخبط (رواه الطبراني)

Jauhilah dosa-dosa yang tak terampunkan, yaitu, pertama, curang (menipu &korupsi), siapa yang curang, maka pada kiamat nanti, akan didatangkan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba, barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan membabi buta. (H.R. Thabrani).

ما أحد أكثر من الربا الا كان عاقبة أمره الى قلة ( رواه ابن ماجة و الحاكم)

Abdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap orang yang banyak makan riba, maka urusannya berakibat pada kekurangan”.(H.R. Ibnu Majah dan Hakim).

Maksudnya, pemakan riba selalu merasa kurang karena rakus pada uang dan harta. Sedangkan uangnya tidak diberkati Allah.Hal ini telah difirmankan Allah dalam al-qur’an,
“Allah mencabut berkah dari riba dar menyuburkan (memberkati) sedeqah”. (Q.S. 2:276).

Dalam beberapa hadits dijelaskan, bahwa berkembangnya riba merupakan tanda-tanda akhir zaman (kiamat). Hal ini menunjukkan bahwa riba termasuk dosa besar yang harus dijahui ummat Islam. Dua hadits dibawah in menginformasikan kepada kita hal diatas.
ليأتين على الناس زمان لا يبقى منهم احد من الربا فمن لم يأكله أصابه من غباره (ابو داؤد)

Abu Hurairah memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,”Sungguh akan datang suatu zaman atas manusia, dimana tak seorang pun yang hidup saat itu, kecuali makan riba. Barang siapa yang tidak memakannya, akan terkena debunya”.(H.R.abu Daud dan ibnu Majah)

بين يدي الساعة يظهر الربا و الزنا و الخمر (رواه الطبراني)

Ibnu Mas’ud meriwayat bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menjelang kiamat akan merajalela zina, riba dan minuman keras”. (H.R.Thabrani).

Demikianlah di antara dosa-dosa riba menurut Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, ummat Islam wajib mendepositokan atau menabungkan uangnya di Bank Islam, agar terhindar dari riba yang diharamkan.
Hijrah dari Sistem Riba ke Sistem Syari’ah

Dalam kenyataanya, sistem moneter dunia sudah dikuasai oleh sistem bunga sejak berabad-abad lamanya. Sistem ribawi kapitalisme itu, jelas tidak sesuai dengan syari’ah Islam. Karena itu seluruh ulama dunia pada saat ini telah sepakat bahwa sistem bunga adalah bentuk riba yang diharamkan (Hasil Konferensi Ulama OKI 1971).

Saat ini, semua profesor dan doktor ekonomi Islam yang belajar di Barat yang jumlahnya mencapai ratusan orang itu, telah ijma’ tentang keharaman bunga dan menunjukkan solusinya, yakni sistem bank syariah tanpa bunga.

Para ulama dahulu yang sebahagian kecil membolehkan bunga, kini semuanya mencabut fatwanya, sebab ternyata banK tanpa bunga bisa berkembang dengan baik malah lebih unggul dari bank ribawi.

Oleh karna itu, seluruh uang umat Islam, harus memasukkan, menyimpan atau mendepositokan uangnya di bank syari’ah, agar terjamin kehalalannya dan lembaga bank Islam semakin kuat serta ekonomi umat menjadi meningkat.

Dengan demikian Ongkos Naik Haji, sangat tidak layak disetor ke bank yang menerapkan sistem riba, apalagi uang mesjid dan majlis ta’lim. Semuanya seharusnya dikelola secara syari’ah Islam, agar hasilnya halal thayyiban.

Bila riba masih kita amalkan, maka dosa-dosa besar tersebut semakin melilit kita. Bagai mana mungkin Allah memenuhi permohonan dan do’a kita sedang kita membuat dosa besar yang melebihi zina. Bagai mana mungkin Allah memabrurkan haji kita, sedangkan biaya haji diputar secara ribawi. Maka, sudah saatnya kita berhubungan dengan lembaga bank dan keuangan syari’ah baik menabung, deposito, giro, setoran haji, dsb.

IIIa Ma Qad Salaf

Dalam pemikiran umat Islam mungkin timbul pertanyaan, bagaimana perbuatan kami selama ini yang menabung, mendepositokan dan menyetor ONH dengan sistem riba ?Alqur’an memberikan jawaban. “IIIa Ma Qad Salaf”. Maksudnya, urusan pada masa lalu, itu adalah persoalan masa lalu, “Wa Amruhu Illallah”, yakni, urusannya diserahkan kepada Allah yang Maha pengampun.Nanti jangan diulangi lagi.

Tegasnya, perbuatan masa lalu jangan menjadi pikiran, Insya Allah, Dia akan memaafkannya, yang penting sekarang adalah hijrah ke sistem syari’ah sembari minta ampun kepada Allah. Jangan buang-buang waktu lagi. Tetapi ingat!, Allah berfirman, “Siapa yang mengulangi lagi praktek riba, maka ia kekal dalam neraka”,(Q.S. 2:275)

Membangun Moneter Islam

Oleh karena sistem bunga tak sesuai dengan syari’ah, maka seluruh ummat Islam harus berusaha keras mengubah sistem moneter dan sistem kapitalisme ke sistem syari’ah. Perubahan ini tidak saja dalam bentuk konversi (pindah) dari sistem konvensional menjadi syari’ah, seperti yang dilakukan bank syari’ah Mandiri, BNI 46, bank IFI, dll, tetapi juga membangun lembaga bank syari’ah yang bebas riba, seperti BPR syari’ah,

Seguir leyendo...

Bajak SDM Bank Makin Marak

Jagad Ananda, Kontributor INILAH.COM


(Istimewa)

INILAH.COM, Jakarta – Aksi bajak membajak karyawan bank masih akan berlangsung. Hal serupa ditengarai akan terjadi di perbankan syariah. Sebuah gejala alami. Tapi, Bank Indonesia menyarankan agar perekrutan karyawan dari bank lain dilakukan dengan etis.

Melonjaknya tingkat inflasi, otomatis, telah mendorong otoritas moneter untuk melakukan aksi pengendalian. Salah satunya, dengan meningkatkan tingkat bunga acuan yang lazim disebut dengan BI rate.

Para pakar ekonomi meyakini, BI rate yang baru saja dinaikkan sebesar 25 basis poin ke 8,25%, akan terus dikerek naik hingga mendekati tingkat inflasi yang tahun ini diperkirakan akan menclok di atas 11%.

Kalau itu benar-benar terjadi, ini jelas merupakan pukulan terhadap bisnis perbankan. Sebab, peningkatan BI rate, suka atau tidak suka, mesti diikuti dengan naiknya tingkat bunga simpanan juga kredit.

Dampaknya, selain penyaluran kredit baru menjadi seret, tingkat kemacetan dari kredit yang sudah tersalurkan (NPL) pun terancam meningkat. Kondisi seperti ini, sebenarnya, sudah diantisipasi oleh para bankir.

Terutama setelah mereka melihat harga minyak dunia yang bergerak semakin liar. Untuk menghindari tingginya risiko yang mesti dihadapi, belakangan ini banyak bank yang agresif menggarap sektor konsumsi dan usaha kecil menengah (UKM).

Salah satu syarat yang mesti dipenuhi untuk bisa menggarap dua sektor ini secara serius adalah penambahan gerai dan SDM yang lebih banyak. Makanya, tak mengherankan, jika aksi bajak-membajak karyawan bank akhir-akhir ini terlihat semakin marak.

Berita yang paling hangat menyebutkan adanya sejumlah bankir dari Bank Danamon yang dibajak Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN). Menanggapi kejadian ini, otoritas moneter memang tak bisa berbuat apa-apa.

Salah satu petinggi di Bank Indonesia hanya bisa menyarankan agar perekrutan karyawan dari bank lain dilakukan dengan etis. Etisnya seperti apa? Tidak jelas benar.

Yang pasti, kasus Danamon-BTPN bukan yang pertama kali terjadi. Dulu, ketika Bank Lippo, ABN-AMRO, Bank NISP dan sejumlah bank lainnya menajamkan usahanya di UKM dan konsumen, manajemen Bank Internasional Indonesia (BII) kalang kabut lantaran banyak karyawannya yang keluar.

Parahnya, mereka tidak keluar orang per orang, tapi rombongan. “Jadi kalau ada manajer yang pindah, biasanya mereka membawa serta anak buah dari bank asalnya,” kata seorang direktur bank asing.

Aksi hengkang beramai-ramai seperti itu, memang, sulit untuk dicegah. Selain mereka sudah merasa tidak nyaman di tempat asalnya, gaji dan tunjangan yang ditawarkan di tempat baru sunguh menggiurkan. “Selain bonusnya lebih banyak, gaji yang ditawarkan pun bisa dua kali lipat lebih besar,” kata sang bankir.

Yang memprihatinkan, gejala seperti ini kelihatannya masih akan terus berlangsung. Untuk tahun ini saja, kata sang bankir, sedikitnya dibutuhkan sekitar 40 ribu tenaga baru untuk mendukung ekspansi perbankan.

Lantas dari mana SDM sebanyak itu akan dipasok? Ini yang sulit dijawab. Betul, sekarang ini ada beberapa bank yang sudah memiliki lembaga pendidikan sendiri untuk mencetak tenaga yang dibutuhkan. Tapi, itu belum bisa memenuhi kebutuhan yang ada. “Makanya bajak-membajak akan semakin ramai,” katanya.

Kondisi serupa juga dipastikan akan terjadi di lingkungan perbankan syariah. Menurut Deputi Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Mulya E Siregar, apabila target aset perbankan syariah yang tahun ini dipatok Rp 92 triliun tercapai, maka jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan mencapai 21 ribu orang.

Jika dibandingkan dengan tenaga kerja yang ada sekarang (7 ribu), berarti perbankan syariah masih membutuhkan sekitar 14 ribu karyawan baru. Coba, dari mana tenaga sebanyak itu akan diperoleh?

Seguir leyendo...

Muharram dan Festival Ekonomi Syariah

Oleh : Agustianto

Pendahuluan
Bulan Muharram merupakan awal dari tahun baru Islam. Pada setiap peralihan tahun tersebut, kaum muslimin selalu merayakan dan menyemarakkannya dengan mengangkat tema-tema kebangkitan dan perubahan ke arah yang lebih baik dan maju. Pada momentum tahun baru 1429 H ini, bulan Muharram akan dimeriahkan dengan perhelatan akbar bernama Festival Ekonomi Syariah yang dimotori oleh Bank Indonesia yang digelar di Jakarta dan beberap kota di daerah. Pada acara tersebut akan dipromosikan seluruh lembaga, produk dan gerakan ekonomi syariah, tidak saja perbankan syariah tetapi juga segala aspek yang terkait dengan ekonomi syariah, seperti lembaga keuangan syariah non bank, perusahaan yang bergerak di sector riil, lembaga pendidikan, lembaga konsultan serta lembaga yang terkait yang mendukung gerakan ekonomi Islam.
Untuk memberikan nilai dan spirit bagi pelaksanaan Festival Ekonomi Syariah tersebut, perlu dipaparkan makna filosofis hijrah, dengan harapan spirit hijrah tersebut dapat menjiwai pelaksanaan Festival Ekonomi Syariah tersebut.
Makna Filofis Hijrah
Setiap tahun baru Islam tiba, kaum muslimin diingatkan kepada peristiwa hijrah. Ismail Al-Faruqi menyebut hijrah sebagai langkah awal dan paling menentukan untuk menata masyarakat muslim yang berperadaban. Hijrah merupakan strategi besar (grand strategy) dalam membangun peradaban Islam.
Dalam konteks historis Islam, peristiwa hijrah merupakan momentum paling penting dan monumental. Hijrah telah membawa perubahan dan pembaharuan besar dalam pengembangan Islam dan masyarakatnya kepada sebuah peradaban yang maju dan berwawasan keadilan, persaudaraan, persamaan, penghargaan HAM, demokratis, inklusif, kejujuran, menjunjung supremasi hukum, yang kesemuanya dilandasi dan dibingkai dalam koridor nilai-nilai syari’ah.
Hijrah juga telah mengantarkan terwujudnya negara madani yang sangat modern, bahkan dalam konteks masyarakat pada waktu itu, terlalu modern. Demikian pendapat oleh Robert N Bellah seorang ahli sosiologi agama terkemuka dalam bukunya Beyond Bilief (1976 h 150).
Hijrah bukanlah pelarian untuk mencari suaka politik atau aksi peretasan keperihatinan karena kegagalan mengembangkan Islam di Mekkah, melainkan sebuah praktis reformasi yang penuh strategi dan taktik jitu yang terencana dan sitematis. Maka, tepatlah apa yang dikatakan Hunston Smith dalam bukunya the Religion Man, bahwa peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia.
Berdasarkan kenyataan itulah Sayyidina Umar bin Khattab menetapkannya sebagai awal tahun hijriyah. Dalam konteks ini ia menuturkan : “al hijrah farragat bainal haq wall bathil fa-arrikhuha” (Artinya : hijrah telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil, maka jadikan kamulah momentum itu sebagai awal penanggalan kalender Islam).
J.H. Kramers dalam Shorter Encycolopeadia of Islam meneybut hijrah sebagai sebagai strategi jitu dan cerdas dalam pembangunan imperium Arab (baca ; Islam). Berdasarkan pernyataan-pernyataan para pakar di atas, maka sangat relevan ungkapan Prof Dr Fazlur Rahman yang menyebut hijrah sebagai Marks of the founding of islamic community
Apabila kita cermati makna filosofis hijrah secara mendalam, hijrah sesungguhnya mengandung makna reformasi yang yang luar biasa. Semangat reformasi tersebut terlihat dari langkah-langkah strategis yang dilakukan Nabi Muhammad Saw ketika beliau menetap di Madinah, baik dalam bidang sosial keagamaan, politik, hukum maupun ekonomi.
Hijrah dan Spirit Reformasi Ekonomi
Pasca hijrah, Nabi Muhammad Saw melakukan penataan di berbagai aspek, seperti social, keagamaan, politik dan salah satunya di bidang ekonomi. Banyak upaya yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam melakukan reformasi di bidang ekonomi, baik di sector moneter, fiskal, mekanisme pasar (harga), peranan negara dalam menciptakan pasar yang adil (hisbah), membangun etos entrepreneurship, penegakan etika bisnis, pemberantasan kemiskinan, pencatatan transaksi (akuntansi), pendirian Baitul Mal, dan sebagainya. Beliau juga banyak mereformasi akad-akad bisnis dan berbagai praktek bisnis yang fasid (rusak), seperti gharar, ihtikar, talaqqi rukban, ba’i najasy, ba’i al-‘inah, bai’ munabazah, mulamasah dan berbagai bentuk bisnis maysir atau spekulasi lainnya. dsb. Dari berbagai reformasi yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, praktek riba mendapat sorotan dan tekanan cukup tajam. Banyak ayat dan hadits yang mengecam riba dan menyebutnya sebagai perbuatan terkutuk dan dosa besar yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka.
Paradigma pemikiran masyarakat yang telah terbiasa dengan system riba (bunga) digesernya menjadi paradigma syariah secara bertahap. Menurut para ahli tafsir, proses perubahan tersebut memakan waktu 22 tahunan. Pada awalnya hampir semua orang beranggapan bahwa system riba (bunga) akan menumbuhkan perekonomian, tetapi justru menurut Islam, riba malah merusak perekonomian. (lihat surah 39 : 39-41).
Selanjutnya Nabi Muhammad juga mengajarkan konsep transaksi valas (sharf) yang sesuai syariah, pertukaran secara forward atau tidak spot (kontan) dilarang, karena sangat rawan kepada praktik riba fadhl.Larangan itu menunjukkan larangan Nabi yang sangat keras kepada praktek spekulasi valas.
Spirit reformasi yang dipraktekkan Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya dalam berhijrah, harus kita tangkap dan aktualisasikan dalam konteks kekinian, suatu konteks zaman yang penuh ketidakadilan ekonomi, rawan krisis moneter, kemiskinan dan pengangguran yang masih menggurita di bawah sistem dan dominasi ekonomi kapitalisme.
Urgensi Memahami Ekonomi Islam
Faktor tingkat pemahaman sangat menentukan dalam pengamalan. Karena itu ummat Islam seharusnya memahami ekonomi Islam dengan baik agar bisa dipraktekkan dalam kehidupan riil. Ekonomi syari’ah memiliki cakupan dan ruang lingkup yang sangat luas. Semua ajaran ekonomi Islam tersebut seharusnya dapat kita aktualisasikan dan terapkan dalam kehidupan, baik dalam bidang ekonomi mikro maupun ekonomi makro, seperti dalam produksi, distribusi, konsumsi, kebijakan moneter, fiskal, manajemen, maupun akuntansi. Konsep ekonomi Islam itu kini telah terefleksi dalam lembaga-lembaga keuangan syari’ah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, leasing syariah, pasar modal syari’ah, pegadaian syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT). koperasi syariah, Multi Level Marketing (MLM) Syariah, dan tentunya termasuk lembaga lembaga zakat maupun waqaf.
Jika umat Islam memahami konsep ekonomi Islam dan siap mengamalkannya, maka kebangkitan ekonomi Islam dan peradaban ummat akan terwujud. Cuman persoalannya, masih terlalu banyak ummat Islam yang belum memahami ekonomi Islam. Minimnya pengetahuan ummat akan ekonomi Islam disebabkan karena nihilnya kajian-kajian ekonomi Islam oleh para ulama di tengah masyarakat. Selama berbada-abad materi dakwah melulu ibadah dan aspek-aspek social Islam yang non ekonomi, sementara aspek mumalah (dalam aspek ekonomi keuangan) diabaikan sama sekali. Akibatnya umat Islam buta tentang ajaran agamanya sendiri yang pada gilirannya merasa asing dengan ajaran agamanya sendiri, apalagi telah terbiasa dan mendarah daging dengan ekonomi konvensional yang telah merasuk sejak zaman penjajahan.
Karena kondisi itu, tidak mengherankan jika masih banyak ummat Islam mengagap ekonomi Islam dan ekonomi konvensioal sama saja, bank syariah dan bank konvensional sama saja, margin jual beli dan bunga sama saja. Perbedaan ekonomi syariah dan ekonomi konvensional hanya label, hakikatnya sama saja. Pokoknya keduanya tidak ada bedanya.
Pernyataan-pernyataan tersebut adalah anggapan orang yang dangkal ilmunya tentang ekonomi syariah, sekalipun mereka professor di bidang ekonomi konvensional atau professor agama Islam (misalnya guru besar pemikiran Islam, filsafat Islam, atau komunikasi dakwah), tetapi mereka belum memahami (mendalami) konsep ekonomi Islam.
Al-quran sudah mengingatkan, orang-orang yang belum memahami syariah selalu akan menolak syariah (lihat al-jatsiyah ayat 18). Sebaliknya, orang-orang yang telah memahami syariah (dan menggunakan akal sehatnya/rasionya dalam kebenaran), pasti menerima syariah. Fakta sudah membuktikan, semua ahli ekonomi Islam dunia yang terdiri dari para doctor, professor dan juga master/magister menerima dan memahami keunggulan ekonomi syariah, bahkan mereka menjadi pendekar-pendekar ekonomi syariah itu sendiri. Karena itu tidak ada seorangpun pakar ekonomi Islam yang membolehkan bunga dalam perekonomian, karena bunga telah menimbulkan kemudhratan yang besar bagi ekonomi dunia, negara dan umat.
Demikian pula yang terjadi di Indonesia, para dosen atau praktisi yang telah belajar ekonomi Islam secara mendalam di program pascasarjana, pasti melihat perbedaan besar antara ekonomi Islam dan konvensional. Mereka melihat kerusakan sisstem ekonomi ribawi dan keunggulan system ekonomi Islam.
Festival Ekonomi Syariah
Karena pemahaman dan awarness umat Islam masih sangat rendah tentang ekonomi syariah, khususnya terhadap lembaga-lembaga keuangan syariah, maka pada momentum Muharram 1429, Bank Indonesia mengelar acara akbar ekonomi syariah dengan nama ”Festival Ekonomi Syariah” pada tanggal 16 sd 20 Januari 2008 di Jakarta Convention Centre Jakarta. Kegiatan Festival ini dilaksanakan selama bulan Muharram yang tersebar kepada 4 kota, yakni Jakarta, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang.
Festival Ekonomi Syariah (FES) diharapkan menjadi ajang edukasi, sosialisasi dan promosi ekonomi syariah kepada masyarakat luas. Meskipun pengunjungnya ditargetkan terlalu kecil, yakni sekitar 50.000 orang, namun gaungnya diharapkan jahuh lebih besar.
Selain sebagai ajang sosialisasi, momentum FES diharapkan menjadi sarana perekat silaturrahmi produktif dan aliansi strategis bagi para praktisi, akademisi, ulama dan pemerintah dalam mempromosikan dan mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia.
Penutup
Kita berdo’a kepada Allah swt semoga acara Festival Ekonomi Syariah ini berjalan dengan lancar dan sukses serta membawa manfaat dan dampak positif bagi pertumbuhan dan pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, sehingga Indonesia menjadi negara yang sejahtera makmur dan penuh keadilan dalam koridor syariah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Mudahah-mudahan momentum tahun baru Hijrah 1429 H ini, dapat kita jadikan sebagai spirit pendorong untuk segera hijrah dari sistem ekonomi kapitalis ribawi kepada sistem ekonomi syariah dalam berbagai aspeknya, seperti aspek perbankan, asuransi, leasing, lembaga keuangan mikro, produk halal, dan sebagainya, sehingga dapat meningkatkan perekonomian umat dan bangsa secara adil, beradab dan maslahah.
Semangat dan spirit hijrah harus kita implementasikan secara riil dalam kehidupan kita dewasa ini. Kita harus segera hijrah dan berubah. ”Sesunggunya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang melakukan perubahan akan nasibnya”. (Ar-Ra’d : 110.
Festival Ekonomi Syariah diharapkan dapat menambah informasi, wawasan dan ilmu ekonomi syariah bagi pengunjung, sehingga mendorongnya untuk hijrah ke ekonomi syariah.

(Penulis adalah Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indoensia dan Dosen Pascasarjana PSTTI Ekonomi dan Keuangan Syariah UI, Pascasarjana Islamic Economics and Finance Univ.Trisakti, Magister Manajemen Keuangan dan Bank Islam Paramadina dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.)

Seguir leyendo...

Waqaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

Oleh : Agustianto

Sekjen IAEI dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI dan IEF Trisakti

Di zaman modern ini, salah satu bentuk dan gerakan wakaf yang banyak mendapat perhatian para cendikiawan dan ulama adalah cash waqf (wakaf tunai). Dalam sejarah Islam, cash waqf berkembang dengan baik pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani. Namun baru belakangan ini menjadi bahan diskusi yang intensif di kalangan para ulama dan pakar ekonomi Islam. Di Indonesia hasil diskusi dan kajian itu membuahkan hasil yang menggembirakan, yakni dimasukkannya dan diaturnya cash waqf (wakaf tunai) dalam perundangan-undangan Indonesia melalui UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan demikian, wakaf tunai telah diakui dalam hukum positif di Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-undang wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.
Apabila dalam perundang-undangan sebelumnya, PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, maka dalam Undang-Undang Wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, termasuk wakaf tunai yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner dan jika dapat direalisasikan akan memiliki akibat yang berlipat ganda atau multiplier effect, terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam.
Namun usaha ke arah itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. Umat Islam Indonesia selama ratusan tahun sudah terlanjur mengidentikkan wakaf dengan (dalam bentuk) tanah, dan benda bergerak yang sifatnya bendanya tahan lama. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut. Salah satu regulasi baru dalam Undang-Undang Wakaf tersebut adalah Wakaf Tunai.

Dasar Syariah Cash Waqaf
Pengembangan wakaf dalam bentuk uang yang dikenal dengan cash wakaf atau wakaf tunai sudah dilakukan sejak lama. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf tunai sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy, ”Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham”.
Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam melegitimasi wakaf tunai. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai beikut :
1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lenmbaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
Dengan diundangkannya UU No 41 Tahun 2004, kedudukan wakaf uang semakin jelas, tidak saja dari segi fiqh (hukum Islam), tetapi juga dari segi tata hukum nasional. Artinya, dengan diundangkannya UU tersebut maka wakaf tunai telah menjadi hukum positif, sehingga persoalan khilafiyah tentang wakaf tunai telah selesai.
Pemberdayaan Ekonomi Umat
Di tilik dari tujuan dan kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi wakaf uang , maka keberadaan wakaf uang di Indonesia menjadi sangat krusial. Setidaknya ada beberapa hal yang mengakibatkan pentingnya pemberdayaan wakaf di Indonesia
1. Krisis ekonomi di akhir dekade 90-an yang menyisakan banyak permasalahan: jumlah penduduk miskin yang meningkat, ketergantungan akan hutang dan bantuan luar negeri
2. Kesenjangan yang tinggi antara penduduk kaya dengan penduduk miskin
3. Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar, sehingga wakaf memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan
4. Sejumlah bencana yang terjadi, mengakibatkan terjadinya defisit APBN, sehingga diperlukan kemandirian masyarakat dalam pengadaan publicgoods.
Meski demikian, bukan sesuatu yang mudah untuk dapat menyelesaikan sejumlah masalah dalam perekonomian nasional. Butuh keseriusan, komitmen dan juga kerja keras untuk dapat menyelesaikannya. Sebagai contoh, dari hasil simulasi yang dilakukan oleh Masyita, dkk dalam study mereka yang bertemakan “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative Instruments for the Poverty Alleviation in Indonesia” dinyatakan bahwa:

Based on the study result above and various scenarios proposed, if the gathered fund through cash waqf certificate increase i.e. IDR 50 million in a day, it will take approximately 11000 days (30 years) to eliminate poverty and 21000 days (57 years) to increase quality of live for Indonesian population with the assumption the others constant.
Pengembangan wakaf tunai memiliki nilai ekonomi yang strategis. Dengan dikembangkannya wakaf tunai, maka akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf tunai akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf.
Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.

Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.
Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.
Kelima, dana waqaf tunai bisa memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini (99,9 % pengusaha di Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, dsb.
Keenam, dana waqaf tunai dapat membantu perkembangan bank-bank syariah, khususnya BPR Syariah. Keunggulan dana waqaf, selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana waqaf adalah dana termurah yang seharusnya menjadi incaran bank-bank syariah.
Dengan adanya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf tunai, maka diharapkan kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan. Apalagi sebagaimana yang telah dihitung oleh seorang ekonom, Mustafa E. Nasution, Ph.D, potensi wakaf tunai umat Islam di Indonesia saat ini bisa mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Bahkan bisa jauh bisa lebih besar.
Hal ini, dikarenakan, lingkup sasaran pemberi wakaf tunai (wakif) bisa menjadi sangat luas dibanding dengan wakaf biasa. Sertifikat Wakaf Tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang kira-kira memiliki kesadaran beramal tinggi. Misalkan Rp 10.000,-, Rp 25.000,- 50.000,-, Rp 100.000,- Rp 500.000,- Rp 1.000.000,- Rp 2.000.000.
Jika jumlah umat Islam yang berwakaf 26 juta saja, maka bisa dihimpun dana lebih dari 22 triliun lebih.
Untuk mengelola dan mengembangkan wakaf tunai dengan baik, dibutuhkan SDI yang amanah, profesional, berwawasan ekonomi, tekun dan penuh komitmen yang kuat. Oleh karena institusi wakaf tunai adalah perkara yang baru dalam gerakan wakaf di Indonesia, maka dibutuhkan sosialisasi yang terus menerus oleh para akademisi, ulama, praktisi ekonomi syariah, baik melalui seminar, training, ceramah maupun tulisan di media massa. Sekian Wallahu A’lam. (Penulis adalah Sekjen DPP IAEI dan Dosen Pascasarjana UI, Pascasarjana Universitas Paramadina dan Pascasarjana Univ. Trisakti)

Seguir leyendo...

Ekonomi Syariah Perlu Masuk Kurikulum Sekolah

2008-08-01 09:10:00

Sumber : Republika

JAKARTA — Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) menyatakan pemerintah perlu memasukkan program ekonomi syariah dalam kurikulum pendidikan tingkat SMP dan SMA. Hal ini dimaksudkan agar pengenalan ekonomi syariah bisa dilakukan sejak dini agar dapat berkembang lebih cepat.

”Kami mendorong pemerintah, dalam hal ini Dikti dan Depag agar mau mendukung perkembangan ekonomi syariah. Caranya dengan memasukkan ekonomi syariah dalam kurikulum SMP dan SMA tahun ajaran mendatang,” kata Sekjen IAEI, Agustianto kepada Republika, Kamis, (31/7).

Saat ini IAEI tengah bekerjasama dengan Program Doktor Universitas Airlangga Surabaya mengadakan seminar dan simposium ekonomi syariah internasional yang akan berlangsung 1-3 Agustus di Surabaya. Dorongan agar pemerintah mau memasukkan ekonomi syariah dalam kurikulum pendidikan sekolah akan menjadi salah satu bahasan utama dalam simposium ini.

Selain itu, lanjutnya, IAEI juga akan mendorong pemerintah untuk mengajak berbagai perguruan tinggi yang belum memiliki program ekonomi syariah untuk mau membuka program tersebut. Agustianto menyebutkan, selama ini, siswa di berbagai level di Indonesia hanya ditawarkan untuk mengetahui sistem ekonomi konvensional saja. ”Mereka tidak diajarkan sistem ekonomi alternatif seperti sistem ekonomi syariah. Padahal sistem ekonomi syariah telah diakui dan diterapkan di Indonesia sejak lama dan kini telah memiliki UU perbankan syariah sendiri,” ujarnya.

Perhelatan manifesto ekonomi syariah itu, rencananya akan dibuka oleh Gubernur Jawa Timur. Acara ini juga akan dihadiri oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Chalimah Fadjrijah. Seminar ini akan menghadirkan pembicara lokal dan internasional diantaranya, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Ekonomi Islam Universitas Al Azhar Kairo Dr Mustafa Dasuki Kasaba, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Ekonomi dan Teknologi Iran, Dr Ali Biniaz, Prof.Dr.Hamzah Ismail, INCEIF Malaysia, Prof.Dr.Sri Edi Swasono (UI Jakarta), Dr.Subarjo Joyusumarto, Mustafa Edwin nasution, Ph.D (Ketua Umu IAEI), Ketua Program Doktor Ekonomi Islam Unair Prof Dr Suroso Imam Jazuli, dewan pakar IAEI Prof Dr Faisal Rivai MBA. dan sebagainya. Selain 15 pembicara tamu, juga akan berbicara 32 narasumber lainnya, dalam forum simposium dan collokium.aru

Seguir leyendo...

“UU Perbankan Syariah Multiplier Effect Pemberantasan KKN”

Kehadiran UU Perbankan Syariah bukan hanya sekedar kepentingan dari praktisi perbankan syariah saja, akan tetapi memiliki multiplier effect pada pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebab, kata Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Agustianto, karena dalam penerapan sistem perbankan syariah akan mengurangi dana-dana yang tidak sah seperti pemberian ”fee” pada proyek-proyek dan pembangunan yang akrab diterima oleh Kepala Daerah.

Maka dari itu, kehadiran UU Perbankan Syariah harus disambut antusias oleh masyarakat baik akademisi, pemerintah dan ulama untuk mensosialisasikannya. Nah, realisasi apa yang diinginkan oleh Sekjen IAEI tersebut, Agus Yuliawan, pkesinteraktif.com, mewawancarainya berikut petikannya:

Apa komentar Anda terkait akan disahkannya UU Perbankan Syariah oleh Pemerintah dan DPR-RI besok?

Dengan kelahiran UU Perbankan Syariah yang telah dinantikan sejak 7 tahun yang lalu, telah membawa angin segar bagi tercapainya target akselerasi perbankan syariah 5% yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI). Hal ini berarti ada kepastian hukum terselenggaranya operasional perbankan syariah di Indonesia dan hal-hal yang bersifat spesifik seperti masalah perpajakan, dana-dana asing,pengadilan dan masalah produk perbankan syariah. Luar biasa lagi dalam UU ini nantinya akan diturunkan lagi menjadi peraturan pemerintah.

Apa urgensi lahirnya UU Perbankan Syariah tersebut bagi perkembangan perbankan syariah kedepan, masalahnya tanpa UU perbankan syariah, bank syariah di Indonesia bisa berjalan.

Aspek regulasi merupakan sesuatu yang sangat penting apalagi regulasi perbankan syariah di Indonesia dalam lahirnya UU Perbankan Syariah ini merupakan logika terbalik, dimana lembaga perbankannya sudah berdiri dahulu baru UU-nya menyusul. Hal ini sangat berbeda yang terjadi di negara-negara lainnya seperti Malaysia dan Bahrain dimana sebelum berdiri bank syariah dibuat dahulu UU-nya. Inilah uniknya perbankan syariah di Indonesia, jika diluar negeri lebih dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, bila di Indonesia lebih dipengaruhi oleh masyarakat. Saya yakin di Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan negara lainnya, karena dimasyarakat akar rumput terutama para akademisi dan pegiat ekonomi syariah telah terbangun dalam mengembangkan ekonomi syariah. Apakah itu menyangkut tentang regulasi yang spesial atau tidak. Perlu kita ketahui tanpa regusi perbankan syariah yang spesial, sesungguhnya bank syariah sudah berjalan meskipun dalam perjalanannya tertatih-tatih. Maka perlu dicatat munculnya UU Perbankan Syariah saya rasa belum cukup, harus ada kebijakan khususnya Pemerintah Daerah (Pemda).

Mengapa harus Pemda?

Karena disana ada penempatan dana, proyek-proyek itu harus diberikan peluang yang sama bagi perbankan syariah, kalau perlu ada keterpihakan pada perbankan syariah. Kenapa? Karena perbankan syariah menerapkan transparasi, keadilan, anti riba. Mengapa harus Pemda, terus terang hingga saat ini banyak Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) jika mendapatkan dana ingin mendapatkan ”fee” tertentu secara gelap kerekeningnya. Saya rasa itu yang tidak terjadi di syariah, karena akan mengurangi dana-dana yang tidak sah. Jadi, sekali lagi pemberlakuan UU Perbankan Syariah memiliki multi player effect terhadap pengurangan pembrantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Untuk itu UU ini perlu disosialisasikan oleh pemerintah secara luas.

Munculnya UU Perbankan Syariah apakah ”kado” buat umat Islam?

Ini bukan hanya kemenangan umat Islam saja—tapi adalah hak umat Islam yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Sesungguhnya umat Islam sudah lama seharusnya diberikan undang-undang tersebut. Jadi, jangan semacam hadiah yang menggembirakan umat Islam tapi adalah hak umat Islam.

Artinya perjuangan ini telah lama diidamkan oleh umat sebelum kemerdekaan juga kan?

Iya dan itu dilakukan secara bertahap. Perlu kita pahami ini bukan kemenangan umat Islam tapi adalah kemenangan bangsa dalam menyelamatkan ekonomi dari krisis. Masih segar ingatan kita, ketika pemerintah mengeluarkan UU no 10 tahun 1998 tentang dual banking system, alasan pemerintah adalah salah satu penyehatan perbankan syariah adalah mengeluarkan kebijakan pendirian perbankan syariah. Mengapa? Karena sumbangan dari perbankan syariah seperti obligasi dan macam-macam, karena perbankan syariah tahan terhadap krisis ekonomi.

Dalam UU Perbankan Syariah, menurut Anda dalam UU tersebut apa yang masih mengganjal?

Saya rasa sudah tertampung semua, seperti masalah pajak berganda, pengadilan dan lain-lain sudah tertampung semuanya. Maka dari itu lahirnya UU Perbankan Syariah itu perlu ditindak lanjuti dengan peraturan-peraturan yang lainya.

Dengan lahirnya, UU Perbankan Syariah apa peran IAEI?

Bagi IAEI dengan dikeluarkannya UU Perbankan Syariah ini berdampak pada pengembangan pendidikan. Ini sangat jelas dampaknya. Dengan adanya perkembangan perbankan syariah, IAEI mengamati selama dua tahun pertumbuhannya sangat signifikan. Bisa dicek di seluruh Universitas Negeri Islam (UIN) telah menyelenggarakan program pendidikan ekonomi syariah, termasuk Universitas Indonesia dan Perguruan Tinggi (PT) lainya. Saat ini kami berjuang keras dan telah menyurati seluruh perguruan tinggi baik swasta dan negeri untuk membuka program ekonomi syariah. Beberapa (PT) yang tidak agamis juga kini membuka program tersebut, seperti di Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Nasional (STIE Peruanas). Ternyata antusiasnya sangat luar biasa.

Sebagai Pakar Ekonomi Syariah, UU Perbankan Syariah ini mampukah mendorong pertumbuhan perbankan syariah?

Sebenarnya terkait dengan pertumbuhan perbankan syariah, munculnya UU ini tidak begitu signifikan karena tanpa UU Perbankan Syariah, bank syariah di Indonesia bisa berkembang. Tapi sebagai negara berlandaskan hukum semua aktivitas harus dilindungi oleh payung UU, karena tanpa UU yang spesifik bila ada permasalahan dan kegoncangan dalam mengoperasikan perbankan syariah, akan menjadi kendala bagi kamajuan bank syariah. Sekali lagi munculnya UU Perbankan Syariah sebagai pilar yang terbaik bagi pengembangan bank syariah kedepan.

Bagaimana dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dampakan dari UU tersebut, apakah akan lebih cepat menjadi Bank Umum Syariah (BUS)?

Saya rasa itu menjadi keharusan bagi UUS dengan UU tersebut mempercepat kemandiriannya dan berubah menjadi BUS. Strategi itu yang harus dilakukan oleh BUS agar ia tidak dikebiri oleh induknya.

Munculnya bank syariah ada semangat idealisme yang diemban, yaitu mengentaskan kemiskinan? Apakah lahirnya UU Perbankan Syariah ini “tanda besar” bank syariah untuk lebih agresif dalam mengentaskan program kemiskinan.

Itu tahapan saja. Yang jelas dengan adanya UU Perbankan Syariah perhatian bank syariah terhadap kelompok miskin menjadi perioritas dimasa depan. Maka dari itu volunteer sektor perlu mendapatkan perhatian seperti zakat, infaq dan shodaqoh dan pembiayaan-pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah perlu juga diperhatikan.

Apa harapan Anda dengan lahirnya UU Perbankan?

Seharusnya lahirnya UU Perbankan Syariah ini disambut oleh segenap masyarakat baik akademisi, pemerintah dan ulama untuk bagaimana merealisasikannya dan mensosialisasikannya. UU Perbankan Syariah ini memberikan spirit bagi bank-bank syariah di daerah seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). (Agus. pkesinteraktif.com)

Seguir leyendo...

2008 : Tahun Edukasi Ekonomi Syariah

Oleh : Agustianto

Data membuktikan, bahwa market share perbankan syariah saat ini masih sekitar 1,7 % (Rp 31 triliun) persen dari total asset perbankan secara nasional. Angka ini menunjukkan konstribusi perbankan syariah terhadap perekonomian Indonesia masih kecil. Bank Indonesia melalui blue print perbankan syariah telah menargetkan share bank syariah sebesar 5.2 persen pada desember 2008. Bertenggernya market share perbankan syariah sejak belasan tahun di atas satu koma, karena program sosialisasi yang dilakukan masih sangat minim (belum optimal). Artinya, sosialisasi perbankan syariah masih sangat kurang. Masyarakat luas di berbagai segmen masih terlalu banyak belum mengerti sistem, konsep, filosofi, produk, keuntungan dan keunggulan bank syariah.

Minimnya program edukasi perbankan syariah diakui oleh Bank Indonesia. Menurut buku “Outlook Perbankan Syariah 2008” yang disampaikan oleh Bank Indonesia pada acara seminar akhir tahun perbankan syariah di Bank Indonesia, bahwa kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kelembagaan maupun ragam produk dan jasa yang ditawarkan perbankan syariah dikarenakan kurang intensifnya kegiatan edukasi (sosialisasi) yang dilakukan. Selain kurangnya sosialisasi itu, metode sosialisasi yang ada belum tepat dan belum baik, sehingga hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan.

Minimnya gerakan sosialisasi tersebut terlihat dari upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Menurut laporan akhir tahun Bank Indonesia 2006, kegiatan sosialisasi oleh Bank Indonesia sepanjang tahun 2006 hanyalah 51 kali. Hal itu tidak jauh berbeda dengan tahun 2007. Sebuah upaya yang sangat minim mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia. Idealnya dalam setahun bisa dilakukan minimal 5 juta kali sosialisasi dalam setahun, bukan 51 kali. Oleh karena, program sosialisasi perlu dilaksanakan lebih ekstra di tahun 2008, baik oleh bank Indonesia, bank-bank syariah, akademisi dan masyarakat ekonomi syariah secara umum.

Bentuk sosialisasi perbankan syariah sangat beragam dan luas, seperti melalui media massa cetak atau elektronik, kegiatan pameran, buletin, majalah, buku, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Tulisan ini, ingin menyuguhkan sebuah strategi jitu dan paling ampuh dalam mencapai target market share perbankan syariah 5%, 10% bahkan 40 %.

Prof.Dr.M.A.Mannan, pakar ekonomi Islam, dalam buku Ekonomi Islam, sejak tahun 1970 telah mengingatkan pentingnya upaya edukasi masyarakat tentang keunggulan sistem syariah dan keburukan dampak sistem ribawi. Dalam hal ini keseriusan Bank Indonesia perlu dipertanyakan, karena selama ini Bank Indonesia tidak memberikan perhatian yang berarti bagi upaya sosialisasi bank syariah, karena hanya sosilisasi sebanyak 51 kali dalam setahun. Betul, Bank Indonesia telah mendorong secara signifikan dari aspek regulasi seperti office channeling dan peraturan lainnya yang mendukung berkembangnya perbankan syariah. Namun dari segi edukasi yang meluas, masih jauh panggang dari api.

Harus diakui bahwa hampir satu juta masjid dan mushalla di Indonesia, sepi dari dakwah ekonomi syariah, padahal di situ berkumpul puluhan bahkan seratusan juta umat Islam, khususnya pada momentum khutbah jumat. Kesalahan besar Bank Indonesia atau juga bank-bank syariah ialah mereka mengatakan bahwa pasar tersebut bersifat segmented dan sudah jenuh, sehingga market share masih 1.7 % (baca Outlook Perbabkan suyariah 2008, hal, 15). Justru ceruk pasar jamaah masjid itulah yang masih terbuka luas yang belum digarap bank-bank syariah dan belum diperhatikan Bank Indonesia. Pasar inilah yang harus menjadi perioritas.

Di masjid berkumpul para pengusaha, hartawan, para presiden direktur, pejabat penting, tokoh masyarakat dan sebagainya. Jangan dianggap jamaah yang shalat jumat di masjid-masjid adalah masyarakat biasa atau tukang ojek. Tidak. Sekali-kali tidak. Ceruk pasar lainnya adalah masjid ta’lim, kelompok bimbingan jamaah haji, pesantren dan sebagainya.
5 juta kali sosialisasi
Sebagaimana disebut di atas, bahwa idealnya sosialisasi perbankan syariah dilakukan sebanyak 5 juta kali dalam setahun. Asumsinya, jumlah masjid di Indonesia sekitar 600.000 buah. Jika dalam setahun hanya 1 kali sosialisasi di tiap masjid, maka dibutuhkan 600.000 kali sosialisasi. Ingat di masjid-masid tidak cukup hanya sekali sosialisasi., minal 3 atau 4 kali sosialisasi, agar pemahaman jamaah benar-benar mendalam, bukan sekedar kulit. Maka jika di setiap masjid hanya dilakukan 4 kali sosialisasi, maka dibutuhkan 2,4 juta kali sosialisasi. Belum termasuk sosialisasi terhadap 600.000 ustaz/ulamanya sebagai guru ekonomi syariah yang akan menyampaikan dakwah ekonomi Islam. Untuk mentraining para ulama minimal dibutuhkan 6.000 kali sosialisasi, dengan asumsi setiap sosialiasi dihadiri 100 peserta dan setiap sosialisasi memakan waktu 3 hari.

Sosialisasi juga mutlak dilakukan berkali-kali dalam setahun kepada majlis ta’lim ibu-ibu yang tersebar di seluruh Indonesia. Ingat, hampir di setiap desa dan kelurahan terdapat majlis ta’lim ibu-ibu, jumlahnya ratusan ribu majlis ta’lim ibu-ibu. Jika sosialisasi keada majlis ta’lim ibu dilakukan hanya 4 kali, maka paling tidak dibutuhkan 3.000.000 kali sosialisasi dengan asumsi di Indonesia ada 750 ribu kelompok majlis ta’lim.
Belum lagi sosialisasi terhadap pesantren yang jumlahnya mencapai 15.000. buah yang tersebar di Indonesia. Jika dalam setahun hanya dilakukan 1 kali kegiatan sosialisasi, maka dibutuhkan 15.000 kali sosialisasi. Sosialisasi juga harus dilakukan kepada seluruh seluruh Perguruan Tinggi, tidak saja kepada fakultas ekonomi dan fakultas syariah tetapi juga ke seluruh civitas akademika, biro rektor dan sebagainya. Jumlahnya secara keseluruhan juga tidak kurang dari 15.000.-.. Sekolah SMU juga perlu mendapat perhatian untuk sosialisasi yang jumlahnya lebih dari 70.000 sekolah. Demikian pula kepada seluruh sekolah Madrasah Aliyah (MAN/MAS), Tsnawiyah, . Jumlahnya lebih dari 40.000 sekolah. Demikian pula kepada aparat pemerintah di setiap kecamatan, kabupaten kota, para pegawai di dinas-dinas pemerintah, DPRD, instansi departemen di tingkat propinsi dan kabupaten kota. Belum lagi kelompok KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Bahkan tidak mustahil sosialisasi kepada sekolah SD dan TK, agar bank syariah lebih dkenal sejak awal.

Berdasarkan kebutuhan akan sosialisassi tersebut, maka tidak aneh jika saat ini dibutuhkan 5 juta kali sosialisasi oleh para ahli dan atau ustaz yang terlatih. Iklan di televisi, radio memang dibutuhkan, namun sosialisasinya melahirkan market yang mengambang (floating), tidak mendalam dan siginifikan mencerdaskan umat Islam yang mendengarnya. Maka di samping iklan media massa seperti itu, sangat diperlukan pula edukasi langsung kepada masyarakat dengan metode dan materi yang tepat. Perlu menjadi catatan, bahwa Bank Indonenia tidak boleh merasa bahwa sosialisasi yang dilakukannya sudah terlalu banyak. Ini kesalahan yang sangat fatal. Sosialisasi yang dilakukan Bank Indonesia bagaikan setetes air di tengah sungai yang besar, hampir tidak berpengaruh bagi masyarakat secara signifikan, maka tidak aneh jika sejak beberapa tahun terakhir market share bank shariah masih kecil. Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang luas. Penduduknya lebih dari 200 juta. Maka edukasi bank syariah mustahil dilakukan sendirian oleh Bank Indonesia dan PKES yang dibentuknya, ditambah promosi bank-bank syariah.

Upaya-upaya promosi dan sosialisasi itu masih sangat kecil dan terbatas. Ratusan juta (sebagian besar) umat Islam Indonesia belum mengerti tentang sistem perbankan syariah. Puluhan ribu ulama yang berkhutbah di mesjid belum menyampaikan materi ekonomi syariah secara rasional, ilmiah, bernash agama dan meyakinkan umat. Hal ini karena para ulama/ ustas belum mengerti ilmu perbankan syariah. Ratusan ribu mesjid masih sepi dari topik ekonomi ekonomi syariah, karena para ustaznya tidak mengerti (bahkan tidak yakin) pada keunggulan bank syariah. Malah masih terlalu banyak ulama yang berpandangan dangkal bahkan miring tentang perbankan syariah. Seandainya para ustaz/ulama telah dicerdaskan dengan ilmu muamalah yang ilmiah (’aqliyah) dalam bidang perbankan, niscaya market share perbankan syariah tidak seperti saat ini, bahkan akan tercipta customer yang rasional, bermoral dan loyal. Jika sosialisasi sudah tepat dan benar dilakukan, hampir dipastikan tak ada jamaah masjid yang mendukung bank-bank konvesional yang memakai bunga. Jamaah masjid di Indonesia lebih dari 100 juta umat. Kini nasabah bank syariah masih 2 jutaan. Itu berarti hampir seluruh jamaah masjid yang berhubungan dengan perbankan masih menggunakan bank-bank ribawi.
DPP IAEI siap dan benar-benar sanggup untuk melakukan perubahan paradigma ulama tentang perbankan serta mentraining ulama berdasarkan pendekatan integratif, ilmu-ilmu syariah dan ekonomi. Ilmu-ilmu syariah dakam hal ini bukan hanya fiqh muamalah, tetapi perangkat ilmu-ilmu alat yang sering menjadi andalan para ulama, seperti ilmu tafsir, hadits, ushul fiqh, qawaid fiqh, falsafah tasyri’, falsafah hukum Islam. Kesemuanya digabungkan dengan ilmu-ilmu modern, ilmu ekonomi moneter, perbankan dan ilmu ekonomi makro.

Pendekatan Komprehensif
Selama ini pendekatan sosialisasi belum utuh dan integratif, masih parsial dan tidak tuntas, sehingga virus keraguan para ulama dan masyarakat tentang perbankan syariah tidak hilang. Senjata sosialisasi yang ada selama ini belum ampuh menaklukkan ilmu para ulama, akademisi dan tokoh agama. Maka diperlukan modul dan materi yang telah terbukti ampuh berhasil merubah paradigma ulama dan myakinkan mereka secara rasional, ilmiah, tajam dan disertai pendekatan ilmu-ilmu syariah itu sendiri.
Jika personil Bank Indonesia atau pun bank syariah yang berasal dari pendidikan umum memberikan sosialisasi kepada para ulama pesantren, maka ulama bisa saja menolak berdasarkan ilmu ushul fiqh atau disiplin ilmu syariah lainnya. Para ulama menggangap bahwa para bankir dari Bank Indonesia dan bank syariah tidak ahli dalam tafsir ayat-ayat al-quran, hadits, ilmu ushul fiqh, tarikh tastri’ dan sebagainya. Karena itu, pendekatan kepada ulama haruslah melalui pendekatan ilmu-ilmu syariah sendiri ditambah ilmu-ilmu moneter dan perbankan secara utuh.

Sebaliknya jika ulama pesantren yang melakukan sosialisasi, juga tidak cukup karena pendekatannya sering dengan ideom halal haram, penggunaan dalil naqli an sich dan kering dari teori-teori rasional yang ilmiah atau tidak ada informasi ilmiah yang dilekatkan kepada syariah.


Sosialisasi kepada umat, bukan melulu pendekatan religius normatif (emosional) dan karena lebel syariah, tetapi lebih dari itu, sebuah materi yang berwawasan ilmiah, rasional dan obyektif. Jadi, gerakan edukasi dan pencerdasan secara rasional tentang perbankan syariah sangat dibutuhkan, bukan hanya mengandalkan kepatuhan (loyal) pada syariah. Masyarakat yang loyal syariah terbatas paling sekitar 10-15 %. Masyarakat harus dididik, bahwa menabung di bank syariah, bukan saja karena berlabel syariah, tetapi lebih dari itu, sistem ini dipastikan akan membawa rahmat dan keadilan bagi ekonomi masyarakat, negara dan dunia, tentunya juga secara individu menguntungkan. Dalam edukasi, masyarakat betul-betul dicerdaskan, masyarakat diajak agar tidak berpikir sempit, tetapi rasional, obyektif, berpikir untuk kepentingan jangka panjang.
Karena informasi keilmuan yang terbatas, masyarakat masih banyak yang menyamakan bank syariah dan bank konvensional secara mikro dan sempit. Masyarakat (publik) masih banyak yang belum mengerti betapa sistem bunga, membawa dampak yang sangat mengerikan bagi keterpurukan ekonomi dunia dan negara-negara bangsa. Karena itu sistem syariah harus dibangun secara bertahap, terprogram dan terukur dengan target-target yang realistis.

Jika masyarakat masih menganggap sama bank syariah dengan bank konvensional, itu berarti, masyarakat belum faham tentang ilmu moneter syariah, dan ekonomi makro syariah tentang interest, dampak bunga terhadap inflasi, produktitas, unemployment, juga belum faham tentang prinsip, filosofi, konsep dan operasional bank syari’ah.
Menggunakan pendekatan rasional sempit melalui iklan yang floating (mengambang) hanya menciptakan custumer yang rapuh dan mudah berpindah-pindah. Maka perlu menggunakan pendekatan rasional komprehensif, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional, moral dan spiritual.
Pendekatan rasional adalah meliputi pelayanan yang memuaskan, tingkat bagi hasil dan margin yang bersaing, kemudahan akses dan fasilitas. Pendekatan moral adalah penjelasan rasional tentang dampak sistem ribawi bagi ekonomi negara, bangsa dan masyarakat secara agregat, bahkan ekonomi dunia. Maka secara moral, tanpa memandang agama, semua orang akan terpanggil untuk meninggalkan sistem riba.
Pendekatan spiritual adalah pendekatan emosional keagaaman karena sistem dan label syariah. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang taat menjalankan agama, atau masyarakat yang loyal kepada aplikasi syariah. Upaya membangun pasar spiritual yang loyal masih perlu dilakukan, agar sharenya terus meningkat. Semakin gencar sosialisasi membangun pasar spiritual, maka semakin tumbuh dan meningkat asset bank-bank syariah.

Jika Bank Indonesia dan bank-bank syariah bekerjasama dengan IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) dan para akademisi serta ulama secara serius dalam mengedukasi masyarakat, maka akan terjadi kemajuan yang luar biasa, tidak saja loncatan hebat dalam market share bank syariah, tetapi juga terbangun kecerdasan umat dalam memilih lembaga perbankan secara ilmiah dan istiqamah.

Penutup
Mengingatnya minimnya gerakan sosialisasi bank syariah dan kecilnya market sharenya (1, 7%), maka tahun 2008 hendaknya dijadikan sebagai tahun edukasi ekonomi syariah. Jika gerakan edukasi dan sosialisasi dilakukan secara optimal dan tepat, maka market share bank syariah 5,2 persen, bisa dicapai dengan cepat dengan basis nasabah yang istiqamah, bermoral dan rasional, tidak mudah berpindah-pindah ke bank konvensional karena kenaikan suku bunga perbankan konvensional. Upaya Bank Indonesia mendesak bank-bank konvensional yang membuka office channeling agar menempelkan logo (spanduk) adanya layanan syariah di kantor bank konvensional, sangat bagus, namun masyarakat harus dicerdaskan mengapa harus memilih bank syariah. Kita tidak ingin terjadinya pemilihan ke bank syariah karena ikut-ikutan, tanpa dasar ilmu pengetahuan, atau karena emosional saja. Nasabah seperti ini mudah kecewa dan menyebarkan kekecewaaannya kepada orang lain, sehingga menimbulkan citra buruk bagi bank-bank syariah. Padahal kekecewaaanya tersebut seringkali karena salah faham atau kurang mengerti tentang perbankan syariah. Insya Allah kita sangat siap membantu pencerdasan masyarakat tentang perbankan syariah tersebut, dan di beberapa daerah telah telah dibuktikan secara faktual keberhasilannya.

(Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Islam UI, Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti, Pascasarjana Bisnis dan Keuangan Islam Universitas Paramadina dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Konsentrasi Perbankan Syariah).)

Seguir leyendo...