Agenda Training

Ikutilah!!! >>>> Training dan Workshop Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Level Intermediate (Angkatan 84) 6 - 7 Februari 2014 # Workshop Nasional Notaris Syariah 24 - 25 Januari 2013 # Workshop Hybrid Contracts pada Produk Perbankan Syariah 13 - 14 Maret 2013 Hub. Sdr. Joko (082110206289). BURUAN DAFTAR

Training

Training

THE DEATH OF ECONOMICS DAN EKONOMI SYARIAH

Oleh : Agustianto
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia


Paul Omerod dalam buku berjudul The Death of Economics (1994) menuliskan bahwa ahli ekonomi kontemporer terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.
Hampir sama dengan buku Omerod, muncul pula Umar Vadillo dari Scotlandia yang menulis buku, ”The Ends of Economics” yang mengkritik secara tajam ketidakadilan sistem moneter kapitalisme. Kapitalisme justru telah melakukan ”perampokan” terhadap kekayaan negara-negara berkembang melalui sistem moneter fiat money yang sesungguhnya adalah riba.
Dari berbagai analisa para ekonom dapat disimpulkan, bahwa teori ekonomi telah mati karena beberapa alasan. Pertama, teori ekonomi Barat (kapitalisme) telah menimbulkan ketidakadilan ekonomi yang sangat dalam, khususnya karena sistem moneter yang hanya menguntungkan Barat melalui hegemoni mata uang kertas dan sistem ribawi. Kedua, Teori ekonomi kapitalisme tidak mampu mengentaskan masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Ketiga, paradigmanya tidak mengacu kepada kepentingan masyarakat secara menyeluruh, sehingga ada dikotomi antara individu, masyarakat dan negara. Keempat, Teori ekonominya tidak mampu menyelaraskan hubungana antara negara-negara di dunia, terutama antara negara-negara maju dan negara berkembang. Kelima, terlalaikannya pelestarian sumber daya alam.
Alasan-alasan inilah yang oleh Mahbub al-Haq (1970) dianggap sebagai dosa-dosa para perencana pembangunan kapitalis. Kesimpulan ini begitu jelas apabila pembahasan teori ekonomi dihubungkan dengan pembangunan di negara-negara berkembang. Sementara itu perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kesenjangan antara negara-negara berpendapatan tinggi dan negara-negara berpendapatan rendah, tetap menjadi indikasi bahwa globalisasi belum menunjukkan kinerja yang menguntungkan bagi negara miskin. (The World Bank, 2002).
Sejalan dengan Omerod dan Vadillo, belakangan ini muncul lagi ilmuwan ekonomi terkemuka bernama E.Stigliz, pemegang hadiah Nobel ekonomi pada tahun 2001. Stigliz adalah Chairman Tim Penasehat Ekonomi President Bill Clinton, Chief Ekonomi Bank Dunia dan Guru Besar Universitas Columbia. Dalam bukunya “Globalization and Descontents, ia mengupas dampak globalisasi dan peranan IMF (agen utama kapitalisme) dalam mengatasi krisis ekonomi global maupun lokal. Ia menyatakan, globalisasi tidak banyak membantu negara miskin. Akibat globalisasi ternyata pendapatan masyarakat juga tidak meningkat di berbagai belahan dunia. Penerapan pasar terbuka, pasar bebas, privatisasi sebagaimana formula IMF selama ini menimbulkan ketidakstabilan ekonomi negara sedang berkembang, bukan sebaliknya seperti yang selama ini didengungkan barat bahwa globalisasi itu mendatangkan manfaat.. Stigliz mengungkapkan bahwa IMF gagal dalam misinya menciptakan stabilitas ekonomi yang stabil.

Karena kegagalan kapitalisme itulah, maka sejak awal, Joseph Schumpeter meragukan kapitalisme. Dalam konteks ini ia mempertanyakan, “Can Capitalism Survive”?. No, I do not think it can. (Dapatkah kapitalisme bertahan ?. Tidak, saya tidak berfikir bahwa kapitalisme dapat bertahan). Selanjutnya ia mengatakan, ” Capitalism would fade away with a resign shrug of the shoulders”,Kapitalisme akan pudar/mati dengan terhentinya tanggung jawabnya untuk kesejahteraan (Heilbroner,1992).
Sejalan dengan pandangan para ekonom di atas, pakar ekonomi Fritjop Chapra dalam bukunya, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture (1999) dan Ervin Laszio dalam buku 3rd Millenium, The Challenge and The Vision (1999), mengungkapkan bahwa ekonomi konvensional (kapitalisme) yang berlandaskan sistem ribawi, memiliki kelemahan dan kekeliruan yang besar dalam sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan moral. Kelemahan itulah menyebabkan ekonomi (konvensional) tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat yang miskin dengan negara-negara dan masyarakat yang kaya, demikian pula antara sesama anggota masyarakat di dalam suatu negeri. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dan visi, yaitu melakukan satu titik balik peradaban, dalam arti membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang bisa dipertanggungjawabkan.
Titik balik peradaban versi Fritjop Chapra sangat sesuai dengan pemikiran Kuryid Ahmad ketika memberi pengantar buku Umar Chapra, ”The Future of Economics : An Islamic Perpspective (2000), yang mengharuskan perubahan paradigma ekonomi. Hal yang sama juga ditulis oleh Amitai Etzioni dalam buku, ”The Moral Dimension : Toward a New Economics”(1988), yakni kebutuhan akan paradigm shift (pergeseran paradigma) dalam ekonomi.
Sejalan dengan pandangan para ilmuwan di atas, Critovan Buarque, ekonom dari universitas Brazil dalam buknya, “The End of Economics” Ethics and the Disorder of Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan terhadap paradigma ekonomi kapitalis yang mengabaikan nilai-nilai etika dan sosial.
Paradigma ekonomi kapitalis tersebut telah menimbulkan efek negatif bagi pembangunan ekonomi dunia, yang disebut Fukuyama sebagai ”Kekacauan Dahsyat” dalam bukunya yang paling monumental, “The End of Order”.(1997), yakni berkaitan dengan runtuhnya solidaritas sosial dan keluarga.
Meskipun di Barat, ada upaya untuk mewujudkan keadilan sosial, namun upaya itu gagal, karena paradigmanya tetap didasarkan pada filsafat materialisme dan sistem ekonomi ribawi. Kemandulan yang dihasilkan elaborasi teori dan praktek Filsuf Sosial Amerika, John Rawis dalam buku “The Theory of Justice” (1971) yang ditanggapi oleh Robert Nozik dalam bukunya “Anarchy, State and Utopia” (1974), telah menjadi contoh yang mempresentasikan kegagalan teori keadilan versi Barat.
Ketika sistem ekonomi kapitalisme mengalami kerapuhan dan ”kematian”, maka sekali lagi ditegaskan, bahwa peluang ekonomi syariah makin terbuka luas untuk berkembang. Ekonomi Syari’ah merupakan sistem ekonomi post-capitalist yang berperan sebagi solusi ekonomi dunia. Semoga para ilmuwan ekonomi Islam saat ini dapat mengisi peluang besar yang sangat strategis itu dengan ijtihad ekonomi yang lebih kreatif dan inovatif berdasarkan nilai-nilai syari’ah.

Seguir leyendo...

MENINGKATKAN SDM BANK SYARI’AH

Oleh : Agustianto

Perkembangan dan pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia sangat pesat. Jumlah kantor palayanan per Mei 2007 sebanyak 621 kantor. Perkembangan hebat ini ditopang oleh pembukaan unit-unit syariah oleh bank-bank konvensional. Perkembangan tersebut sangat mengembirakan, namun konversi (hijrah)nya bank-bak konvensional menjadi syari’ah atau maraknya pembukaan unit usaha syari’ah oleh bank konvensional, menghadapi sejumlah kendala yang tidak ringan. Salah satu masalah atau kendala yang dihadapi adalah terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) berkualifikasi perbankan syariah baik di level menengah dan atas (direksi, kepala divisi dan kepala cabang), maupun di level bawah. Bagi Bank Muamalat sebagai pelopor bank syari’ah pertama di Indonesia, hal ini tentu tidak begitu menjadi persoalan, karena sejak tahun 1992 BMI telah membina kader-kader tangguh di bidang syari’ah.. Tetapi bagi sebagian besar perbankan yang konversi ke syari’ah atau membuka unit usaha syari’ah, masalah SDM tentu menjadi persoalan penting.
Perlu diketahui bahwa keberhasilan pengembangan perbankan syariah bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan pertumbuhan yang spektakuler atau keberhasilan penyebarluasan informasi, penyusunan atau penyempurnaan perangkat ketentuan hukum, atau banyaknya pembukaan jaringan kantor, tetapi juga sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya insani para pelaku/praktisi perbankan syariah itu sendiri, sehingga bank syari’ah bisa berjalan sesuai prinsip syari’ah dan dapat dimanfaatkan masyarakat luas sebagai bagian dari sistem keuangan yang rahmatan lil alamin.
Dengan demikian, praktisi perbankan syari’ah tidak hanya terfokus pada pengejaran target yang ditetapkan demi kepentingan shareholders, tetapi juga berkomitmen pada penerapan syari’ah. Menurut UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999, untuk mewujudkan sistem dan tatanan perbankan syariah yang sehat dan istiqomah dalam penerapan prinsip syariah dibutuhkan Sumber Daya Insani (SDI) yang mampu menguasai syari’ah dan teknis perbankan.
Harus diakui bahwa SDI bank syari’ah yang mampu dan siap untuk memenuhi kebutuhan operasional bank syariah masih sangat langka. Kendala SDI dalam pengembangan perbankan syariah ini terjadi di samping karena sistem perbankan syariah di Indonesia relatif masih baru , juga masih terbatasnya lembaga akademik dan pelatihan di bidang perbankan syariah.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar SDM bank syariah, terutama pada level menengah dan atas, adalah jebolan bank konvensional dengan berbagai motif. Masih lumayan, jika bank syari’ah tersebut ”merebut” para direksi atau kepala cabang bank syari’ah yang telah lama berdiri. Tetapi, jika tidak, maka akan timbul masalah keminiman pengetahuan syari’ah dan komitmen kesyariahan.
Tingkat pemahaman hukum syari’ah yang minim disebabkan karena mereka biasanya hanya mengenyam pelatihan singkat tentang perbankan syariah (kelas eksekutif) sekitar dua-tiga hari atau 1 minggu. Short course seperti ini hanya memberikan kulit luar ekonomi syariah dan perbankan syariah secara instan dan dijamin lulus. Selanjutnya mereka langsung menjadi pemegang kendali dan menjadi decision maker semua kebijakan. Fit and proper test (Uji kelayakan dan kepatutan) yang dilakukan oleh BI untuk direksi bank syariah juga belum dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan direksi bank syariah yang benar-benar mempunyai ghirah dan kompetensi yang tinggi.
Minimnya skills dan kognisi (keilmuan) sumber daya insani (SDI) di bidang perbankan syariah ini menimbulkan dampak negatif yang serius, antara lain implementasi syariah Islam dalam perbankan menjadi tidak optimal Akibatnya lainnya ialah pengembangan produk-produk yang benar-benar memiliki landasan syariah yang kuat dan sekaligus memiliki keandalan bisnis menjadi terhambat. Padahal, idealnya pengembangan produk ini harus bisa membawa masyarakat pada fitrah alam dan fitrah usaha yang mengikuti syariah, terutama dalam pertanian, perdagangan, investasi, dan perkebunan.
Karena kurangnya pemahaman dan komitmen syari’ah, maka tidak jarang praktek bank syari’ah telah tercemar oleh budaya bunga yang bertentangan dengan fitrah alam dan fitrah usaha. Para bankir syariah yang tidak berlatar belakang ilmu perbankan syariah ini hanya berkutat pada produk-produk konvensional, diberi imbuhan syariah dan dimodifikasi di sana-sini, selanjutnya dijual dengan label syariah. Jadi, pengembangan produk perbankan syariah hanya mencari-cari padanan dengan produk perbankan konvensional. Jika kecenderungan ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan degradasi produk-produk perbankan syariah pada masa depan.
Sebenarnya, mantan praktisi bank konvensional yang menjadi praktis bank syari’ah tidak akan bermasalah jika mereka secara serius dan dengan segera mempelajari segala hal tentang bank syariah. Karena itu, pihak manajemen harus mengutamakan pelatihan syari’ah yang terus-menerus agar kemampuan syari’ah meningkat dan jiwa syari’ah menjadi tumbuh dan makin kuat. Selanjutnya para praktisi ini mempunyai confidence dan ghirah yang tinggi untuk menerapkannya, tanpa berkeluh-kesah soal kesulitan-kesulitan yang timbul ketika konsep perbankan syariah yang benar dioperasionalkan.
Setiap insan bank syariah seharusnya paham bahwa konsep perbankan syariah merupakan manifestasi dari konsep syari’ah. Memahami teknis perbankan saja tanpa memiliki kemampuan ilmu syari’ah yang memadai, akan mudah terjerumus kepada penyimpangan-penyimpangan syari’ah. Sebenarnya pada tahap-tahap awal, menimnya pengetahuan ilmu syari’ah ini bisa dimaklumi, tapi menjadi tidak wajar dan naif sekali, bila mereka kemudian malas belajar dan mengaggap persoalan tersebut secara enteng.
Mungkin karena merasa sudah pintar dan berpengalaman di bank konvensional membuat mereka, terutama yang ada di level atas, kurang serius mempelajari perbankan syariah. Akibatnya, ghirah yang dibutuhkan untuk memikul beban berat menjalankan sistem perbankan syariah tidak muncul. Maka, mengelola bank syariah, mereka sering mengeluarkan ’jurus-jurus’ konvensionalnya yang terkadang melanggar kepatuhan syariah. Memang berat menjadi seorang direktur bank syariah, sementara harus membawa organisasinya ke pencapaian visi dan misi yang idealis dan memikat umat Islam, tetapi kenyataannya target kuantitatiflah yang harus diutamakan.
Sementara itu, direktur bank syariah pun harus memuaskan pemilik yang belum tentu paham esensi, visi, dan misi perbankan syariah. Akibatnya, jangankan berpikir tentang tanggung jawab bank syariah sebagai agen perubahan ekonomi bangsa,berpikir bagaimana agar kinerja bisnis bank syariah dalam mencapai target yang digariskan oleh pemiliknya saja, sudah memusingkan kepalanya.
Beban target inilah yang akhirnya mendorong kebijakan-kebijakan bisnisnya terlalu berorientasi pada bisnis secara sempit sehingga semakin jauh dari visi dan misi bank syariah. Pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang seharusnya ditingkatkan malah semakin dijauhi oleh perbankan syariah dengan berbagai alasan yang sebenarnya mencerminkan sikap avers to risk dan avers to effort mereka. Padahal, produk mudharabah dan musyarakah adalah pembeda yang paling jelas dan sekaligus positioning yang baik bagi bank syariah ketika bersaing melawan bank konvensional.
Demi mengejar target, melanggar konsep syariah sedikit dianggap tak menjadi masalah. Padahal, dari sisi nasabah, bila dihadapkan pada preferensi (pilihan) antara bank syariah yang berkomitmen pada syari’ah dan bank yang tidak komit, maka nasabah akan cenderung memilih yang lebih baik praktek syariahnya. Padahal, kalau sudah konversi ke sistem syari’ah, has
Beberapa ekses yang sangat mungkin terjadi akibat fenomena tersebut adalah munculnya praktik-praktik haram, seperti manipulasi informasi, mau menerima hadiah dalam rangka pencairan pembiayaan, merubah akad secara sepihak, atau bahkan memberikan pelayanan yang rendah mutunya. Berbagai ekses tersebut sudah pasti akan mengancam reputasi perbankan syariah secara keseluruhan. Artinya, satu lembaga bank syari’ah yang melakukan kasalahan,maka seluruh bank syari’ah akan tercoreng.
Dari sisi inilah kiprah sesungguhnya perbankan syariah akan terkuak. Masyarakat memang tidak begitu paham apa itu bank syariah, tapi harap diingat bahwa masyarakat tidak salah bila berharap bahwa munculnya bank syariah akan memberikan berbagai solusi atas dampak negatif bank konvensional.
Pada masyarakat telah tertanam persepsi bahwa bank syariah pasti berbeda (walaupun tentu ada juga persamaannya), bahkan lebih tinggi kualitas moral, etika, dan sistem bisnisnya dibanding bank konvensional. Bila ternyata yang ditemui sama saja, bahkan lebih buruk dari bank konvensional, betapa bodohnya perbankan syariah yang telah menyia-nyiakan kepercayaan para stakeholder-nya dan tidak bersyukur atas kelapangan dan peluang besar yang telah dianugrahkan Allah SWT.

(Penulis adalah Sekjen IAEI, Dosen Pascasarjana Ekonomi Islam UI Jakarta)

Seguir leyendo...

MENYOAL OFFICE CHANNELING BANK SYARIAH

Oleh : Agustianto

Dalam rangka akselerasi pencapaian market share bank syariah, Bank Indonesia sejak setahun lalu mengeluarkan kebijakan baru bagi industri perbankan syariah, yaitu PBI No 8/3/PBI/2006. Materi paling penting pada peraturan tersebut adalah penerapan office channeling bagi bank-bank syari’ah. Kebijakan ini merupakan inovasi dan terobosan baru yang bisa dibilang spektakuler bagi pengembangan industri perbankan syariah di Indenesia.
Kebijakan office channeling juga dimaksudkan untuk meningkatkan akses masyarakat kepada jasa perbankan syariah. Dengan sistem baru ini bank syariah tidak perlu lagi membuka cabang UUS di banyak tempat dalam memberikan pelayanan perbankan syariah. Sehingga biaya ekspansi jauh lebih efisien. Kebijakan office channeling ini juga dimaksudkan untuk mengarahkan aktivitas perbankan agar mampu menunjang pertumbuhan ekonomi nasional melalui kegiatan perbankan syariah.
Penerapan office channeling, akan semakin memudahkan masyarakat melakukan transaksi syariah. Dengan kata lain, akses terhadap lokasi bank syariah yang selama ini menjadi kendala akan dapat teratasi, karena selama ini masyarakat yang mau bertransaksi dengan bank syariah mengalami kesulitan karena belum banyak bank syariah yang beroperasi di Indonesi. Dengan office channneling kendala tersebut bisa teratasi.
Berdasarkan realita di atas, maka pelayanan office channelling ini, seyogianya berpengaruh positif terhadap perkembangan industri bank syariah di masa depan. Dengan semakin mudahnya masyarakat mendapatkan akses layanan perbankan syariah, diperkirakan pertumbuhan bank syariah akan semakin besar secara signifikan. Sehingga market share perbankan syariah terhadap perbankan nasional. bisa meningkat pula. Saat ini market share (pangsa pasar) perbankan syariah baru sekitar 1,7 persen dari total asset perbankan secara nasional. Dengan office channeling, target yang dipasang Bank Indonesia dalam blueprint, akan seharusnya terlampaui pada tahun 2011.
Tetapi sejak tahun office channeling diluncurkan, tanda-tanda quantum growing (loncatan pertumbuhan) perbankan syariah belum terlihat. Sampai semester pertama tahun 2007, market share perbankan syariah seakan masih jalan di tempat, berkisar antara 1,6 – 1,7 persen. Bagimana mungkin dalam 18 bulan lagi bisa mencapai 5,2 % ?.
Edukasi dan Sosialisasi
Kebijakan office channneling tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan industri perbankan syariah, tanpa diawali dan dibarengi dengan upaya edukasi masyarakat tentang konsep operasional bank syariah dan keunggulannya. Prof.Dr.M.A.Mannan, pakar ekonomi Islam, dalam buku Ekonomi Islam, sejak tahun 1970 telah mengingatkan pentingnya upaya edukasi masyarakat tentang keunggulan sistem syariah dan keburukan dampak sistem ribawi. Dalam hal ini keseriusan Bank Indonesia perlu dipertanyakan, karena selama ini Bank Indonesia tidak memberikan perhatian yang berarti bagi upaya sosialisasi bank syariah.
Fakta membuktikan, bahwa market share perbankan syariah masih sekitar 1,7 persen, karena itu perlu gerakan edukasi dan pencerdasan secara rasional tentang perbankan syariah, bukan hanya mengandalkan kepatuhan (loyal) pada syariah. Masyarakat yang loyal syariah terbatas paling sekitar 10-15 %. Masyarakat harus dididik, bahwa menabung di bank syariah, bukan saja karena berlabel syariah, tetapi lebih dari itu, sistem ini dipastikan akan membawa rahmat dan keadilan bagi ekonomi masyarakat, negara dan dunia, tentunya juga secara individu menguntungkan.
Karena informasi keilmuan yang terbatas, masyarakat masih banyak yang menyamakan bank syariah dan bank konvensional secara mikro dan sempit. Masyarakat (publik) masih banyak yang belum mengerti betapa sistem bunga, membawa dampak yang sangat mengerikan bagi keterpurukan ekonomi dunia dan negara-negara bangsa. Karena itu sistem syariah harus dibangun secara bertahap. Jadi, syarat utama, keberhasilan office channelling bank-bank syariah adalah edukasi dan sosialisasi.
Jika masyarakat masih menganggap sama bank syariah dengan bank konvensional, itu berarti, masyarakat belum faham tentang ilmu moneter syariah, dan ekonomi makro syariah tentang interest, dampaknya terhadap inflasi, produkti, unemployment, juga belum faham tentang prinsip, filosofi, konsep dan operasional bank syari’ah. Menggunakan pendekatan rasional sempit melalui iklan yang floating (mengambang) hanya menciptakan custumer yang rapuh dan mudah berpindah-pindah. Maka perlu menggunakan pendekatan rasional komprehensif, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional, moral dan spiritual.
Pendekatan rasional adalah meliputi pelayanan yang memuaskan, tingkat bagi hasil dan margin yang bersaing, kemudahan akses dan fasilitas. Pendekatan moral adalah penjelasan rasional tentang dampak sistem ribawi bagi ekonomi negara, bangsa dan masyarakat secara agregat, bahkan ekonomi dunia. Maka secara moral, tanpa memandang agama, semua orang akan terpanggil untuk meninggalkan sistem riba.
Pendekatan spiritual adalah pendekatan emosional keagaaman karena sistem dan label syariah. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang taat menjalankan agama, atau masyarakat yang loyal kepada aplikasi syariah. Upaya membangun pasar spiritual yang loyal masih perlu dilakukan, agar sharenya terus meningkat. Semakin gencar sosialissi membangun pasar spiritual, maka semakin tumbuh dan meningkat asset bank-bank syariah.
Selain persoalan edukasi dan sosialisasi, masalah yang harus diperhatikan pelaku perbankan adalah masalah keterampilan SDM di bank konvensional yang membuka office channeling. Coorporate culture bank syariah juga harus menjadi perhatian praktisi perbankan yang membuka sistem office channeling ini.

Efektifitas Sosialisasi Bank Indonesia
Kembali kepada urgensi gerakan edukasi dan sosialisasi bank syariah, jika dilihat dari gerakan dan program sosialisasi yang dilakukann oleh Bank Indonesia, ternyata program sosialisasi masih sangat minim. Menurut laporan akhir tahun Bank Indonesia 2006, kegiatan sosialisasi oleh Bank Indonesia sepanjang tahun 2006 hanyalah 51 kali. Sebuah upaya yang sangat minim mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia. Idealnya dalam setahun bisa dilakukan minimal 5 juta kali sosialisasi dalam setahun, bukan 51 kali. Asumsinya, jumlah masjid di Indonesia sekitar 600.000 buah. Jika dalam setahun hanya 1 kali sosialisasi di tiap masjid, maka dibutuhkan 600.000 kali sosialisasi. Ingat di masjid-masid tidak cukup hanya sekali sosialisasi., minal 3 atau 4 kali sosialisasi,agar pemahaman jamaah benar-benar mendalam, bukan sekedar kulit. Belum termasuk sosialisasi terhadap 600.000 ustaz/ulamanya. Untuk mentraining para ulama minimal dibutuhkan 6.000 kali sosialisasi, dengan asumsi setiap sosialiasi dihadiri 100 peserta. Setiap sosilisasi memakan waktu 3 hari.
Belum lagi sosialisasi terhadap pesantren yang jumlahnya mencapai 15.000. buah yang tersebar di Indonesia. Jika dalam setahun hanya dilakukan 1 kali kegiatan sosialisasi, maka dibutuhkan 15.000 kali sosialisasi. Sosialisasi juga harus dilakukan kepada seluruh seluruh Perguruan Tinggi, tidak saja kepada fakultas ekonomi dan fakultas syariah tetapi juga ke seluruh civitas akademika, biro rektor dan sebagainya. Jumlah secara keseluruhan juga tidak kurang dari 15.000.-. Demikian pula kepada seluruh sekolah Madrasah Aliyah, Tsnawiyah, MAN, dan SMU. Jumlahnya lebih dari 50.000 sekolah. Demikian pula kepada aparat pemerintah di setiap kecamatan, kabupaten kota, para pegawai di dinas-dinas pemerintah, DPRD, instansi departemen di tingkat propinsi dan kabupaten kota. Sosialisasi juga mutlak dilakukan berkali-kali dalam setahun kepada majlis talim ibu-ibu yang tersebar di seluruh Indonesia. Ingat hampir di setiap desa dan kelurahan terdapat majlis ta’lim ibu-ibu, Jumlahnya ratusan ribu majlis ta’lim ibu-ibu. Belum lagi kelompok KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Bahkan tidak mustahil sosialisasi kepada sekolah SD dan TK, agar bank syariah lebih dkenal sejak awal.
Berdasarkan kebutuhan akan sosialisassi tersebut, maka tidak aneh jika saat ini dibutuhkan 5 juta kali sosialisasi oleh para ahli dan atau ustaz yang terlatih. Iklan di televisi, radio memang dibutuhkan, numun sosialisasinya tidak mendalam dan siginifikan mencerdaskan umat Islam yang mendengarnya. Maka di samping iklan media massa, diperlukan edukasi langsung kepada masyarakat.
Perlu menjadi catatan, bahwa Bank Indonenia tidak boleh merasa bahwa sosialisasi yang dilakukannya sudah terlalu banyak. Ini kesalahan yang sangat fatal. Sosialisasi yang dilakukan Bank Indonesia bagaikan setetes air di tengah sungai yang besar, hampir tidak berpengaruh bagi masyarakat secara signifikan, maka tidak aneh jika sejak beberapa tahun terakhir market share bank shariah masih kecil. Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang luas. Penduduknya lebih dari 200 juta. Maka edukasi bank syariah mustahil dilakukan sendirian oleh Bank Indonesia dan PKES yang dibentuknya, ditambah promosi bank-bank syariah. Upaya-upaya promosi dan sosialisasi itu masih sangat kecil dan terbatas. Ratusan juta (sebagian besar) umat Islam Indonesia belum mengerti tentang sistem perbankan syariah. Puluhan ribu ulama yang berkhutbah di mesjid belum menyampaikan materi ekonomi syariah secara rasional, ilmiah, bernash agama dan meyakinkan umat. Ratusan ribu mesjid masih sepi dari topik ekonomi ekonomi syariah, karena para ustasnya tidak mengerti (bahkan tidak aykin) pada keunggulan bank syariah. Malah masih terlalu banyak ulama yang berpandangan dangkal bahkan miring tentang perbankan syariah. Demi Allah, kita dari DPP IAEI siap dan benar-benar sanggup untuk melakukan perubahan paradigma ulama tentang perbankan serta mentraining ulama berdasarkan pendekatan integratif, ilmu-ilmu syariah dan ekonomi. Ilmu-ilmu syariah dakam hal ini bukan hanya fiqh muamalah, tetapi perangkat ilmu-ilmu alat yang sering menjadi andalan para ulama, seperti ilmu tafsir, hadits, ushul fiqh, qawaid fiqh, falsafah tasyri’, falsafah hukum Islam. Kesemuanya digabungkan dengan ilmu-ilmu modern, ilmu ekonomi moneter, perbankan dan ilmu ekonomi makro.
Selama ini pendekatan sosialisasi belum utuh dan integratif, masih parsial dan tidak tuntas, sehingga virus keraguan para ulama dan masyarakat tidak hilang. Senjata sosilissi belum ampuh menaklukkan ilmu para ulama, akademisi dan tokoh agama. Maka diperlukan modul dan materi yang telah terbukti ampuh berhasil merubah paradigma ulama dan myakinkan mereka secara rasional, ilmiah, tajam dan disertai pendekatan ilmu-ilmu syariah itu sendiri. Jika orang Bank Indonesia memberikan sosialisasi kepada para ulama pesantren, maka ulama bisa saja menolak berdasarkan ilmu ushul fiqh atau disiplin ilmu syariah lainnya. Sebaliknya jika ulama pesantren yang sosilisasi, juga tidak cukup karena tidak ada informasi ilmiah yang dilekatkan kepada syariah. Para ulama menggangap bahwa para bankir dari Bank Indonesia tidak ahli dalam tafsir ayat-ayat al-quran, hadits, ilmu ushul fiqh, tarikh tastri’ dan sebagainya. Karena itu, pendekatan kepada ulama haruslah melalui pendekatan ilmu-ilmu syariah sendiri ditambah ilmu-ilmu moneter dan perbankan secara utuh.
Jika Bank Indonesia dan bank-bank syariah bekerjasama dengan IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) dan para akademisi serta ulama secara serius dalam mengedukasi masyarakat, maka akan terjadi kemajuan yang luar biasa, tidak saja loncatan hebat dalam market share bank syariah, tetapi juga terbangun kecerdasan umat dalam memilih lembaga perbankan secara ilmiah dan istiqamah.

Perbankan syariah di era mendatang diprediksikan akan mengalami booming dan quantum growing, yaitu loncatan pertumbuhan yang cepat. Bank Indonesia memasang target untuk tahun depan, asset bank syariah akan meningkat tajam dari market share 1,6 % awal tahun 2006 akan menjadi 3,5 % pada dua tahun mendatang.

Loncatan percepatan ini dikarenakan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan baru bagi industri perbankan, yaitu PBI No 8/3/PBI/2006. Materi paling penting pada peraturan tersebut adalah penerapan office channeling bagi bank-bank syari’ah. Kebijakan ini merupakan inovasi dan terobosan baru yang bisa dibilang spektakuler bagi pengembangan industri perbankan syariah di Indenesia.
Tujuan
Quantum Growing
Dengan kebijakan office channeling ini dipredikan dalam 2 sampai 3 tahun mendatang, bank syariah akan mengalami booming, yaitu ledakan pertumbuhan besar-besaran atau quantum growing (loncatan pertumbuhan cepat). Pertumbuhan jaringan layanan perbankan, diprediksikan bisa mencapai 400-500 %. Bayangkan !, Bank Permata Syariah, yang selama hanya ini hanya memiliki belasan kantor cabang syari’ah, sekarang, telah bisa melayani di 212 kantor cabang di seluruh Indonesia. Dengan demikian, kuantitas pelayanan kantornya (yang bisa melayani transsaksi syariah), meningkat lebih 1000 %. Belum lagi bank BRI, Bank BNI, Bank Niaga, Bank Danamon, Bank Bukopin, Bank Pembangunan Daerah, Bank BII dan belasan bank konvensional lainnya yang selama ini telah membuka Unit Usaha Syari’ah.
Khusus Bank BRI, yang memiliki jaringan pelayan sampai ke kecamatan merupakan potensi besar untuk menggali dana-dana syariah. Sehingga BRI menjadi Bank Rahmat Indobnesia (BRI), kembali ke fitrahnya sesuai dengan histori kelahirannya dari mesjid yang bernuansa syariah.
Saat ini masing-masing divisi bank syari’ah memasang target besar. Bank Permata Syariah misalnya, memasang target sampai 200 %, Bank Niaga, memasang terget juga 200%. Asset bank Niaga syariah yang saat ini Rp 120 milyard ditergat di tahun depan menjadi Rp 360 milyard. Bank BRI syariah diprediksikan akan meningkat secara fantastis dengan penerapan office channeling ini..

Belum termasuk sekolah SMU
Jika dilihat dari segi dana yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk sosialisasi perbankan syariah, masih sangat kecil. Tidak seimbang dengan tekad dan target yang dipancangkannya. Berdasarkan kenyataan itu, dapat disimbulkan Bank Indonesia sesungguhnya tidak serius mengembangkan perbankan syariah.


Jika ada DSN melalui lisan Kh.Malruf Amin, pendekatanya masih mengandalkan laoyalitas dan emosional. Padahal pendekatan harus benar-benar komprehsnif, yaitu integrasi antara spiritual dan rasional,tempat umat Isalam beribadah belum dijadasn keunggulan bank syariah adalah bahwa le ini tidak boleh merasa

Selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah kemana alokasi pembiayaan dana jika terkumpul. Selama ini, FDR (Financing to Deposit Ratio) bank syariah sering di atas 100 %. Bagi bank syariah, perkara menyalurkan dana selama ini tak jadi masalah. Namun demikian, bank syariah harus tetap secara konsisten menerapkan asas prudensial (kehati-hatian) dalam penyaluran pembiayaan. Dulu, ketika ada fatwa MUI tentang bunga bank, kekhawatiran itu muncul, namun perbankan syariah bisa memberikan solusi, sehingga dana masyarakat tetap bisa disalurkan, dan FDR tetap tinggi.
Peluang ini di sisi lain harusnya mendorong tumbuhnya para pengusaha syariah yang profesional yang dapat mengelola dana-dana syariah yang cukup melimpah jika office channeling nantinya berbuah dengan sukses.(Penulis adalah Sekjen DPP IAEI, Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia Jakarta)

Seguir leyendo...

STRATEGI BARU PEMBERDAYAAN UMKM

(Upaya Strategis Mengurangi Kemiskinan dan Pengangguran)

Oleh : Agustianto
Sekjend DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (Jakarta)

Pemerintah Indonesia baru saja mengeluarkan Inpres No 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Meskipun paket kebijakan ekonomi tersebut banyak menuai kritik, karena dinilai tidak menyentuh akar masalah disebabkan isinya lebih dominan

0000000

Salah satu butir paling penting dalam paket kebijakan pemerintah melalui Inpres No 6/2007 adalah pemberdayaan UMKM. Kebijakan Pemberdayaan UMKM menurut Inpress tersebut ditengarai oleh empat hal. Pertama, peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan, Kedua, pengembangan kewirausahaan dan SDM, Ketiga, Peningkatan peluang pasar produk UMKM dan keempat, reformasi regulasi.

Dalam sejarahnya, perhatian pemerintah terhadap pemberdayaan UMKM, cukup tinggi, namun implementasinya sampai saat ini masih belum terbukti. Pada tahun 2005 Presiden SBY telah mencananmgkan Pencanangan Tahun Keuangan Mikro Indonesia (TKMI)

Pemerintah Republik Indonesia kembali
Paket kebijakan Pemberdayaan UMKM
Menurut data Departemen Koperasi tahun 2005, jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia saat ini sebanyak 42,4 juta unit usaha, menyerap 79 juta tenaga kerja, dan menyumbang hampir 57% PDB nasional (BPS 2003). Dari jumlah tersebut 99,9 % merupakan usaha mikro dan kecil. Jadi hanya 0,1 % yang merupakan usaha menengah. Ini menunjukkan betapa banyaknya pengusaha mikro dan kecil yang harus diberdayakan. Apabila setiap unit usaha mikro dan kecil mampu difasilitasi dan diberdayakan untuk menciptakan 1 (satu) orang kesempatan kerja atau kesempatan usaha tambahan baru, maka akan tercipta 40 juta kesempatan kerja baru. Ini artinya, jika kita mampu memberdayakan UMKM tersebut, berarti upaya pemberantasan kemiskinan akan berhasil secara signifikan.
Gerakan pemberdayaan UMKM tersebut harus menjadi perhatian pemerintah secara serius, tentunya bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi. Pencanangan Tahun Keuangan Mikro Indonesia (TKMI) dan Program Aksi Penanggulangan Kemiskinan yang dilakukan President SBY pada tahun 2005 ini, harus direalisasikan secara nyata dengan berbagai upaya strategis. Hal ini agar pencanangan itu tidak sebatas retorika belaka. Pada momentum pencanangan Tahun Keuangan Mikro tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan tekad pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran menjadi kurang dari 6 persen dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah akan menempuh tiga strategi yaitu menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 6,6 persen, menggerakkan sektor riil, serta melakukan revitalisasi pertanian dan perekonomian perdesaan.
Kebijakan pokok
Secara garis besar, terdapat 5 (lima) kebijakan pokok yang dibutuhkan dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yaitu pertama, menciptakan iklim usaha yang kondusif (conducive business climate) sekaligus menyediakan lingkungan yang mampu (enabling environment) mendorong pengembangan UMKM secara sistemik, mandiri, dan berkelanjutan. Kedua, menyediakan dana pembiayaan dari lembaga perbankan untuk membantu permodalan UMKM. Ketiga , menciptakan sistem penjaminan (guarantee system) secara finansial terhadap operasionalisasi kegiatan usaha ekonomi produktif yang dijalankan oleh UMKM. Keempat, menyediakan bantuan teknis dan pendampingan (technical assistance and facilitation) secara manajerial guna meningkatkan status usaha UMKM agar ”feasible” sekaligus ”bankable” dalam jangka panjang. Kelima, pengembangan wirausaha dan keunggulan kompetitif.
Program aksi pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif ini bertujuan untuk mengembangkan jiwa dan semangat kewirausahaan, serta meningkatnya daya saing UMKM. Selama ini para pelaku UMKM masih mengandalkan comparative advantage (resource-based) mamun belum competitive advantage yang berdasarkan penambahan nilai (value added). Sasaran yang akan dicapai adalah berkembangnya pengetahuan serta sikap wirausaha, meningkatnya produktivitas, tumbuhnya unit usaha baru berbasis pengetahuan dan teknologi, berkembangnya ragam produk-produk unggulan UMKM sesuai dengan potensi daerahnya dan menjadikan UMKM yang feasible menjadi bankable.



Kebijakan dan strategi pertama pada dasarnya merupakan penerjemahan dari fungsi pemerintah sebagai regulator dalam kegiatan ekonomi di masyarakat. Oleh karenanya, pemerintah harus mampu mengembangkan regulasi-regulasi ekonomis yang dapat memberikan tingkat kepastian usaha sekaligus memberikan pemihakan yang tepat kepada segenap pelaku UMKM dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya.
Kebijakan dan strategi kedua merupakan kebijakan klasik bagi UMKM, yaitu masalah permodalan. Sebenarnya modal untuk memberdayakan UMKM saat ini sangat berlimpah. Hal itu terlihat dari data Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan saat ini masih 55 persen. Dengan demikian ada 45 % dana bank yang menganggur. yaitu lebih dari Rp 200 triliun dana masyarakat di bank yang tidak produktif (mubazir) karena tidak disalurkan ke sektor riil/UMKM. Dana itu bahkan di tempatkan di Bank Indonesia dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) serta untuk membeli Surat Utang Negara (SUN) yang sangat memberatkan negara/rakyat karena beban bunga sangat besar yang harus ditanggung rakyat melalui APBN. Namun harus disadari, upaya pengentasan pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan UMKM dari aspek permodalam tidaklah satu-satunya menjadi unsur utama, karena masih banyak unsur lainnya yang menjadi syarat keberhasilan UMKM.
Strategi ketiga pada dasarnya merupakan solusi terobosan terhadap adanya ”gap” antara UMKM, dan perbankan/lembaga keuangan bukan bank, dalam hal permodalan/pembiayaan usaha. Secara empiris, selama ini UMKM terutama usaha mikro sangat sulit untuk memenuhi kriteria 5-C (character, condition of economy, capacity to repay, capital, collateral) yang merupakan aturan/mekanisme baku perbankan dalam penyaluran kredit untuk membiayai usaha dan permodalan. Oleh karenanya wajar apabila selama ini pemerintah melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan lebih cenderung menciptakan sekaligus menyediakan skema ”kredit program” yang lebih banyak bersifat ”dana hibah bergulir” kepada berbagai kelompok masyarakat (pokmas) yang bergerak dalam usaha mikro. Skema kredit program tersebut merupakan salah satu alternatif strategi untuk membiayai kegiatan UMKM dan koperasi (terutama usaha mikro) yang berkesan lebih cenderung untuk ”mengabaikan” rigiditas kriteria 5-C yang diberlakukan kalangan perbankan.
Namun demikian, strategi dalam bentuk penciptaan dan penyediaan skema kredit program tersebut dalam jangka panjang tidaklah efektif. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, pertama, dibutuhkan dana pemerintah yang sangat besar untuk menyediakan dana hibah bergulir tersebut sehingga setiap tahun akan memberatkan keuangan negara melalui APBN (baik bersumber dari dana rupiah murni maupun dana yang berasal dari hutang luar negeri). Kedua, pengalaman implementasi berbagai skema kredit program ternyata tidak terlalu berhasil terutama berkaitan dengan tingkat kemacetan kredit dan semakin menipisnya dana hibah bergulir tersebut sebagai akibat rendahnya akuntabilitas di tingkat masyarakat yang disebabkan oleh persepsi yang keliru bahwa dana tersebut adalah milik masyarakat yang tidak perlu dipertanggunggjawabkan kepada pemerintah. Ketiga, skema kredit program tersebut cenderung tidak mendorong penerapan dan pengembangan sistem dan mekanisme pembiayaan yang benar dan proporsional, yaitu melalui perbankan atau berbagai sistem dan mekanisme pembiayaan lainnya yang dikembangkan oleh lembaga keuangan bukan bank. (Gunawan Sumodiningrat, 2005).

Strategi baru
Memperhatikan permasalahan di atas, maka pemerintah perlu merubah strategi pembiayaan UMKM dari yang bersifat pemberian bantuan langsung kepada masyarakat (cash transfer) dalam bentuk hibah (grant) menjadi yang lebih bersifat penempatan dana (fund placement) di perbankan sebagai dana penjaminan (cash collateral) yang akan digunakan sebagai jaminan pengganti (substitute collateral) untuk menjamin kelangsungan operasionalisasi UMKM. Hal ini merupakan strategi baru yang harus diwujudkan. Dengan dana penjaminan ini diharapkan perbankan akan terdorong untuk lebih banyak menyalurkan kreditnya kepada UMKM sesuai dengan ”business plan” masing-masing yang telah dikalkulasi dan ditetapkan sebelumnya.
Secara finansial, kebijakan dan strategi penciptaan dan penyediaan dana penjaminan akan memberikan 2 (dua) keuntungan, yaitu pertama, pemerintah dapat lebih mengefektifkan penggunaan dana APBN yang akan dialokasikan untuk pengembangan UMKM melalui mekanisme tidak langsung yaitu dengan penempatan dana pemerintah sebagai ”pos penjaminan” di rekening perbankan untuk menjamin penyaluran kredit dan mengganti kemacetan kredit UMKM (provisioning non performing loan). Kedua, penempatan dana penjaminan tersebut akan menciptakan ”multiplier effect” yang sangat besar melalui dorongan kepada perbankan untuk menyalurkan kredit secara besar-besaran kepada UMKM. Dengan kata lain, kebijakan dan strategi tersebut akan menghasilkan ”efektivitas fiskal” sekaligus ”ekspansi moneter” yang mampu memberikan injeksi permodalan yang luar biasa besar bagi upaya pemberdayaan UMKM secara sistemik, profesional dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Kebijakan dan strategi ketiga merupakan ”tools” untuk mengefektifkan implementasi kedua kebijakan dan strategi sebelumnya sehingga secara manajerial pengembangan UMKM dapat dilakukan secara tepat dan benar sesuai kaidah-kaidah manajemen modern. Kebijakan dan strategi penyediaan bantuan teknis dan pendampingan (technical assistance and facilitation) kepada UMKM dan selama ini telah banyak dijalankan oleh berbagai kementerian/lembaga melalui berbagai program/proyek yang bersifat bina usaha ekonomi.
Selain itu, pemerintah melalui kesepakatan bersama antara Komite Penanggulangan Kemiskinan dan Bank Indonesia telah pula membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberdayaan Konsultan Keuangan/Pendamping Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Mitra Bank yang disebut KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank). Pembentukan KKMB dimaksudkan untuk lebih mendorong implementasi bantuan teknis dan pendampingan kepada UMKM dan Koperasi. Melalui Satgas KKMB diharapkan akan tercipta dan tersedia konsultan/pendamping (KKMB) yang akan memfasilitasi kemitraan usaha antara UMKM, dan bank serta yang akan membantu pengembangan UMKM secara manajerial.
Diharapkan dengan operasionalisasi KKMB maka berbagai usaha mikro yang tumbuh dan berkembang dalam jangka pendek akan dapat dibina secara manajerial agar lebih ”feasible” dan dapat dibina secara finansial agar ”bankable” serta dapat dikembangkan menjadi usaha yang lebih besar dalam jangka panjang.

Seguir leyendo...

Dampak Bunga terhadap Keterpurukan Ekonomi Indonesia

Oleh : Agustianto

Krisis moneter yang pada mulanya terjadi di Thailand pada tahun 1997, menular ke Malaysia, Philipina, Korea Selatan dan Indonesia. Pasar saham dan kurs uang tersungkur jatuh secara dahsyat. Bank sentral terpaksa turun tangan dengan mencetak uang baru, melakukan transaksi forward dan menaikkan tingkat bunga yang tidak terduga. Volatilitas krisis menimbulkan badai yang kuat menuju kehancuran dan mengakibatkan goncangnya sistem perbankan yang rapuh. Padahal lembaga perbankan merupakan tulang punggung perusahaan manufacturing yang selama ini mengandalkan bunga rendah. Selama tahun pertama krisis kurs mata uang di lima negara terdepresiasi 35 – 80 %, bahkan Indonesia, mencapai 400 %. Hal ini menyebabkan menciutnya nilai kekayaan dari negara-negara tersebut khususnya Indonesia.
Nilai rupiah yang pada mulanya setara dengan Rp 2.445, meningkat secara tajam menjadi Rp 17.000-an. Dalam masa yang panjang, nilai rupiah ini bertenggger di atas Rp 10.000.-. Kondisi ini membuat lembaga perbankan terpaksa menaikkan suku bunga secara tajam pula, yaitu mencapai 70 %. Akibatnya lembaga perbankan konvensional kesulitan mengembalikan bunga tabungan/deposito nasabah, sementara pendapatannya lebih kecil dari kewajibannya untuk membayar bunga, ditambah lagi kredit macet akibat krisis moneter. Inilah yang disebut dengan negative spread yang berarti lembaga perbankan terus-menerus merugi dan modalnya semakin terkuras yang pada gilirannya berakibat pada likuidasi sejumlah bank.
Bank-bank raksasa yang memiliki nasabah jutaan orang, yang kekurangan modal, terpaksa direkap (disuntik modal) oleh pemerintah melalui Bank Indonesia dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sejumlah sekitar Rp 400 triliun. Kalau tidak dibantu, pastilah bank-bank rekap itu mati/tutup karena CARnya di bawah standart yang ditetapkan pemerintah (8 %).
Karena pemerintah tidak memiliki uang cash/riil, maka pemerintah membantu modal bank konvensional itu dalam bentuk obligasi. Kalau namanya obligasi, pastilah memiliki bunga. Bunga ini selanjutnya kembali menjadi beban pemerintah yang tak lain adalah dana APBN. Dana APBN adalah milik rakyat dan bangsa Indonesia, bukan milik para konglomerat pemilik bank. Membantu modal bank ribawi itu, berarti membantu para kapitalis (pemilik dana).

Besarnya kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi kepada bank-bank rekap sangat luar biasa. Pada tahun 2001 saja, bunga obligasi yang harus dibayar APBN sebesar Rp 61,2 Triliyun . Dan ini berlanjut terus setiap tahun sampai sekarang, walaupun cenderung semakin mengecil. Oleh karena beban membayar bunga itu, tidak mengherankan jika APBN kita defisit terus menerus. Pada tahun 2002 APBN defisit Rp 54 triliun. Pada tahun 2003 defisit Rp 45 triliun, pada tahun 2004 difisit Rp 35 triliun. Masih defisitnya APBN tahun 2004 yang lalu , karena dana APBN masih dikuras bunga bank sebesar Rp 68 Trilyun.

Membayar Bunga SBI
Selain kewajiban membayar bunga obligasi, pemerintah juga berkewajiban untuk membayar bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) kepada lembaga-lembaga perbankan yang menempatkan dana rakyat di Bank Indonesia. Pada tahun 2002 besar bunga SBI 17 %. Penempatan dana tersebut dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank swasta. Dana masyarakat yang ditabung di lembaga perbankan ternyata lebih banyak disimpan di Bank Indoenesia, sehingga fungsi intermediasi perbankan saat itu lumpuh
Hal itu terlihat dengan jelas pada LDR lembaga perbankan konvensional yang masih sangat rendah. Pada tahun 2001-2003, LDR bank konvensional berkisar, sekitar 30 – 40 %. Ini berarti bahwa hanya 30-40 % saja tabungan masyarakat yang disalurkan, padahal sektor riel mengharapkan bantuan modal. Sisanya 60 – 70 % terperangkap pada kegiatan riba yang jelas menjadi beban pemerintah yang pada gilirannya menjadi beban rakyat.
Lembaga perbankan yang menempatkan uangnya di Bank Indonesia, akan mendapatkan bunga SBI. Pada tahun 2001-2002, bunganya mencapai 17 % . Bayangkan, pada saat itu dana bank konvensional yang disimpan di SBI mencapai Rp 500 Trilyun. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban membayar bunga SBI sebesar 17 % x Rp 500 triliun, yaitu Rp 85 Trilyun, untuk satu tahun. Uang sebesar ini jelas menjadi beban APBN. Oleh karena itu tak mengherankan jika APBN dari tahun ke tahun terus mengalami defisit. Kondisi ini berlangsung selama hampir tiga tahun. Untunglah sejak tahun 2003 bunga SBI mengalami penurunan secara bertahap. Pada awal tahun 2004 bunganya berkisar 8-9 %. Meskipun demikian, angka ini ini tetap menggerogoti uang negara.

Beban APBN
Yang perlu dicatat dan menjadi keprihatinan besar di sini adalah, bahwa pembayaran bunga obligasi dan bunga SBI dibebankan kepada rakyat. Dana APBN yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, malah digunakan untuk membantu bank-bank raksasa.
Lebih dari itu, kewajiban membayar bunga obligasi dan bunga SBI telah membuat APBN defisit. Untuk mengatasi defisit APBN pemerintah terpaksa berhutang ke lembaga-lembaga ribawi internasional. Padahal hutang Indonesia telah mencapai titik yang membahayakan ketika itu. Apabila pada tahun 2002 saja, hutang Indonesia total Rp 1401 Trilyun, (hutang luar negeri Rp 742 Trilyun, hutang dalam negeri sebesar Rp 659 Trilyun, maka pada tahun 2003, hutang Indonesia telah mencapai Rp 2000 Trilyun. Jika kita hanya mampu membayar hutang tersebut Rp 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar negeri itu baru lunas lebih dari seribu tahun, itupun kalau tidak ditambah hutang baru. Hutang ini, jelas menjadi beban cucu dan cicit kita di masa depan, yang diprediksikan 20 turunan generasi ke depan masih menanggung hutang dan bunga ini

Pada tahun 2004, Indonesia menambah hutang baru lebih dari 3 milyar dolar AS. Setiap tahun bangsa Indonesia harus menambah hutang, untuk menutupi defisit APBN. Hutang ini jelas menjadi beban yang berat bagi generasi Indonesia mendatang.

Selain meninggalkan beban hutang yang besar bagi generasi mendatang, pemerintah juga terpaksa menaikkan harga barang-barang strategis seperti harga BBM yang berkali-kali dinaikkan sepanjang tahun 2001-2003, bahkan di tahun 2005 ini. Hal ini dimaksudkan untuk menambah in come negara dalam rangka memenuhi APBN yang defisit. Tarif dasar listrik dan telephone juga ketika itu terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara mengatasi defisit APBN. Inilah akibat berantai dari sistem ribawi dalam sistem perekonomian Indonesia.
Pajak juga dinaikkan, tetapi banyak dikuras oleh pembayaran bunga. Kasihan rakyat, mereka dizalimi hanya untuk menyumbang bank-bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa berbuat apa-apa, bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp 61, 2 Trilyun dari pemerintah pada tahun 2001 dan ini berlangsung terus, meskipun mengalami penurunan sampai tahun 2003.

Dari data dan fakta tersebut, maka tak seorang pun bisa membantah, bahwa bunga bank memainkan peran penting dalam merusak perekonomian bangsa Indonesia yang telah semakin memerosokkan Indonesia ke dalam jeratan hutang yang membahayakan.. Bunga juga telah membuat harga BBM, TDL dan telephon naik. Bahkan lebih dari itu, Indonesia terpaksa menjual beberapa asset negara strategis, seperti Indosat, BCA dan perkebunan demi untuk menutupi defisit APBN. Pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, ternyata sangat banyak disumbangkan kepada bank-bank rekap dalam bentuk bunga obligasi dan bunga SBI. Berdasarkan kenyataan ini, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Anwar Nasution, Deputi Senior Gubernur BI, bahwa bank-bank rekap tersebut, adalah parasit bagi perekonomian Indonesia. Hal yang sama juga sering diungkapkan oleh pakar-pakar dan praktisi perbankan nasional lainnya, seperti Dr. Drajat Wibowo, direktur INDEF, Hilmi, ( pengawas bank dari Bank Indonesia), dsb. Dari fakta di atas jelaslah bahwa bunga membawa petaka kehancuran ekonomi Indonesia.(Kompas 25 Februari 2002).
Selanjutnya, kita perlu menyaksikan fakta ketidakwarasan/kegilaan pelaku riba sebagaimana yang disebutkan Al-Quran (2:275)., yaitu fakta penjualan (devestasi) sebuah bank swasta raksasa, sebut saja bank ABC. Harga penjualannya sebesar Rp 5 Trilyun. Namun anehnya, pemerintah memberi bunga obligasi kepada bank ini sebesar Rp 9 Trilyun tahun 2001. Penjualan ini menurut H. Hilmi, mantan pejabat Senior Bank Indonesia, menurut tindakan sableng (gila). Sebab menurutnya, setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tapi dalam sistem yang sableng ini, tidak demikian adanya, “Si penjual tidak dapat uang”, malah nombok lagi dalam jumlah besar dan selanjutnya menyumbang bunga terus menerus.
Karena itu pula, Drajat Wibawa, Ekonom Senior INDEF, mengatakan bahwa perbuatan penjualan saham BCA milik pemerintah (sistem riba) dengan harga Rp 5 Trilyun, tidak sesuai logika dan dikatakannya bahwa perbuatan itu adalah sableng secara kolektif.
Drajad Wibawa, Ekonom Senior INDEF, menulis, (Kompas 25 Februari 2002).
“Kalau transaksi yang jelas-jelas merugikan dan tidak sesuai dengan logika (abnormal/gila) di atas diteruskan, Indonesia memang akan mempunyai landmark kebodohan kolektif. Ini akan menjadi preseden bagi divestasi Bank Danamon. Bank Niaga dan bank-bank lainnya di bawah APBN. Ini juga menjadi preseden bagi proses privatisasi BUMN karena skema sablengnya Stanchart bisa ditiru dengan mudah”.
Dikatakannya demikian, karena di dalam divestasi BCA terlihat perbuatan yang tidak logis. Adalah logis kalau dalam setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tetapi dalam penjualan BCA tidak demikian. Secara net, ternyata pemerintah tidak menerima uang, malah mengeluarkan uang dalam jumlah besar.
Gambarannya perhitungannya ialah, bahwa pada tahun 2002 pemerintah menerima uang hasil penjualan BCA Rp 5 Trilyun. Tetapi sebaliknya pemerintah justru mengeluarkan uang untuk BCA sangat besar yaitu berupa bunga (riba) obligasi saja sebesar Rp 9,1 Trilyun. Pemerintah memberinya Rp 9,1 Trilyun. Sementara dalam neracanya 31-12-2002 terlihat laba Rp 3 Trilyun. Laporannya itu menunjukkan bahwa BCA terlihat hebat. Tapi ingat, laba ini diperoleh karena mendapat sumbangan bunga riba dari pemerintah sebsar Rp 9,1 Trilyun tadi.
Karena pemerintah bisa bertindak “gila / sableng” seperti itu ? Menurut H. Hilmi, SE, biasanya mereka berdalih, bahwa karena semua penyelesaian tidak ada yang baik, maka karena pusing atau mungkin sempoyongan seperti orang sableng (gila). Mereka terpaksa memilih jalan yang terbaik di antara yang terjelek itu. Serba susah, itulah suatu dilema yang kita hadapi, karena sistem riba.

Melihat realitas di atas, sistem moneter yang menggunakan instrumen bunga adalah sistem yang tidak logis, dan jika ada orang yang masih menggunakannnya berarti ia termasuk tidak waras/gila, sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah 275. “Orang-orang yang memakan (mempraktekkan) riba, tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran pikirannya sudah gila. Mereka itu mengatakan bahwa riba dan jual beli sama saja (bisa ditafsirkan bank riba dan bank syariah sama saja). Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa yang telah sampai kepadanya nasehat dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mempraktekkan riba, maka apa yang pernah dipraktekkan di masa lalu menjadi urusan Allah. Tetapi, siapa yang mengulangi lagi sistem riba , maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka . mereka kekal didalamnya”.
Indonesia tidak bisa berdiri karena bunga, terlihat dari hutang Indonesia yang demikian besar dan kesulitan ekonomi yang dalam. Dan kalau sistem bunga ini diteruskan, maka bangsa Indonesia sebenarnya sudah tidak waras lagi, karena sistem bunga yang sudah jelas-jelas membawa petaka, masih dipertahankan. Karena itu, menjadi kewajiban ummat untuk kembali ke ajaran Ilahi, ajaran Allah Swt, Tuhan yang menciptakan manusia, juga menciptakan sistemnya untuk kita ikuti dan amalkan. Ajaran Ilahi itu teraktualisasi dalam bank-bank Islam yang sekarang tengah berkembang dengan pesat. Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Kandidat Doktor Ekonomi Islam UIN Syarif Jakarta, dan Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Islam.)

Seguir leyendo...

Enam Hal Baru Terdapat Dalam UU Perbankan Syariah

JAKARTA -- Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN), Adiwarman A. Karim mengungkapkan, paling tidak terdapat enam hal baru dalam UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah."Enam hal itu adalah 1. otoritas fatwa dan komite perbankan syariah, 2. pembinaan dan pengawasan syariah, 3. pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), 5. masalah pajak, 6. penyelesaian sengketa, dan 6. konversi unit usaha syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS)," kata Adiwarman dalam sosialisasi UU tentang Perbankan Syariah di Jakarta, Sabtu.

Ia menjelaskan, kegiatan usaha bank syariah tunduk kepada prinsip syariah yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa itu dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).Dalam rangka penyusunan PBI, BI membentuk Komite Perbankan Syariah yang beranggotakan unsur-unsur dari BI, Departemen Agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi berimbang dengan jumlah maksimum 11 orang."Jadi di komite itu ada unsur pemerintah yang diwakili oleh Departemen Agama," kata Adiwarman.

Sementara itu dalam pembinaan dan pengawasan bank syariah dan UUS terdapat pemilihan antara aspek teknis perbankan dan aspek kepatuhan pada prinsip syariah.Dari sisi teknis perbankan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh BI, sementara kepatuhan terhadap prinsip syariah dilakukan oleh MUI yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) karena DPS diangkat oleh RUPS atas rekomendasi MUI.

Mengenai masalah pajak berganda, Adiwarman menjelaskan, bahwa Komisi XI DPR ketika membahas RUU Perbankan Syariah melaporkan bahwa mekanisme penyaluran barang dari bank syariah kepada nasabah yang membutuhkan hanya dapat dilakukan melalui sistem pembiayaan, bukan melalui sistem jual beli."Jadi tidak perlu ada kekhawatiran lagi terhadap adanya kemungkinan pengenaan pajak ganda atas setiap transaksi barang antara bank syariah dengan nasabah," jelasnya.

UU Perbankan Syariah juga mengatur bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama."Ini sebenarnya tidak mencabut kewenangan penyelesaian sengketa di peradilan umum karena jika para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di peradilan agama, maka penyelesaian dilakukan sesuai perjanjian," katanya.

Hal baru yang juga terdapat dalam UU Perbankan Syariah adalah konversi UUS menjadi BUS yang menetapkan bahwa bank umum konvensional yang memiliki UUS yang nilai asetnya mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya, atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah, maka bank umum konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS itu menjadi bank umum syariah.DPR menyelesaikan pembahasan RUU tentang Perbankan Syariah pada pertengahan Juni 2008. Sebulan kemudian yaitu pada 16 Juli 2008 pemerintah mengundangkan UU itu sekaligus mulai berlaku pada tanggal diundangkan.ant/k

Seguir leyendo...

MERUNTUHKAN HEGEMONI KAPITALISME

Agustianto


Sampai hari ini, krisis ekonomi masih mencengkeram banyak negara di dunia, khususnya dunia ketiga di Asia. Yang memprihatinkan, ternyata Indonesia menjadi bintang dalam krisis tersebut.
Mengamati krisis moneter dan ekonomi yang melanda itu, banyak pengamat yang menyatakan bahwa krisis tersebut, terutama disebabkan oleh keburukan sistem ekonomi kapitalisme saat ini yang secara hegemonis mengusai ekonomi dunia.
Karena krisis itu, keraguan dan kritik terhadap kapitalisme semakin gencar dilontarkan para ekonom kaliber dunia dan praktisi bisnis international. Suatu hal yang menarik, keraguan dan kritik itu justru muncul dari praktisi bisnis dan akademisi yang berada di pusat kapitalisme itu sendiri, yakni Amerika Serikat dan Eropa Barat.
George Soros, seorang raksasa investasi dunia (fund manajer) paling top saat ini, di depan Kongres AS, pada akhir Desember 1999, mengemukakan bahwa sistem kapitalisme global sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Peredaran modal yang sebebas-bebasnya, telah menyebabkan perekonomian suatu negara satu demi satu rusak dan kredit macet menjadi gejala global.
Kemudian dalam bukunya, The Crisis of Global Capitalism, Soros mengemukakan, globalisasi sistem kapitalisme telah menciptakan dua persoalan besar. Pertama, bahwa ekonomi pasar, khususnya financial market ( pasar uang ), akan menghalangi proses kebangkrutan dan kehancuran dimasa depan. Kedua, kondisi kapitalisme global menyebabkan kegagalan politik dan erosi nilai – nilai moral ditingkat nasional dan internasional.
Pernyataan Soros diatas menunjukkan bahwa dia sebenarnya menyadari adanya keburukan dan kebusukan dalam sistem kapitalisme global saat ini, meskipun dia sendiri terlibataktif dalam memperburuk stabilitas ekonomi dunia ketiga. Prediksinya tentang kehancuran ekonomi dunia, di pacu oelh realitas yang terjadi dipasar uang. Saat ini pasar uang telah berkembang begitu cepat yang terlepas dari pasar jasa dan barang. Transaksi yang terjadi didomonasi oleh transaksi maya ( uang yang tak nyata ). Transaksi uang tak nyata dalam satu hari sama dengan investasi sektor riel untuk setahun diseluruh dunia. Diperkirakan, tak akan ada suatu negara pun yang kuat melawan arus uang tak nyata tersebut.
Data lain menyebutkan, hanya 3, 5 persen dari transaksi yang terjadi dibumi ini, yang terkait dengan transaksi barang dan jasa. Selebihnya berputar dalam transaksi maya dalam bentuk jual beli mata uang untuk kepentingan spekulasi, dimana uang dijadikan sebagai komoditas. Yang dimaksud dengan transaksi maya adalah transaksi yang tidak membisniskan barang dan jasa ( usaha sektor riel ). Dalam transaksi ini peredaran dan pertukaran uang terjadi dalam jumlah besar. Melalui transaksi valas yang disebut dengan transaksi derivatif.
Kenyataan menunjukkan bahwa dari 420 miliar dolar yang beredar perhari di dunia , hanya 12, 4 miliar dolar ( 3, 5 % ) masuk kebisnis produktif ( sektor riel dalam transaksi barang dan jasa ). Sisanya masuk kekancah spekulasi uang dengan alunan simponi riba yang diaransir setan. ( Maurica Allais, Nobel Price Wineer in Economics 1988, “ The Monetery Condition Of Economic the Market “).
Untuk kasus Asia, Soros dan kawan – kawannya telah menghancurkan Currencies di Asia, kehancuran terparah terjadi di Indonesia. Dalam kondisi ekonomi global seperti itu, pemerintah sebuah negara tidak berdaya mengembalikan virtual money (uang tak nyata didunia maya), yang mengakibatkan rusaknya ekonomi di berbagai negara. Oleh karena itu, Joseph Schumpeter menyebut sistem kapitalisme sebagai creative destruction.
Keburukan dan kebusukan kapitalisme semakin terungkap di zaman komputerisasi. Sehingga revolusi komputer semakin membuka peluang bagi kehancuran ekonomi global dibawah panji kapitalisme. Nilai tukar mata uang mengembang, telah menyebabkan fluktuasi nilai tukar yang pada akhirnya menghasilkan uang yang tak nyata yang sedemikian besarnya. Sehingga dapat mengecam setiap negara yang dilanda spekulasi uang yang tak nyata itu.
Uang itu tidak dihasilkan melalui aktivitas ekonomi seperti investasi, produksi, konsumsi, atau jasa perdagangan tapi didapatkan dari jual beli uang itu sendiri. Uang sewa yang tak nyata mempunyai mobilitas tinggi karena uang tersebut tidak menjalankan fungsi ekonomi nyata. Milyaran dolar dapat berpindah dari satu negara kenegara lain dengan tekanan tombol pada sebuah komputer oleh pialang uang. Selain itu, karena uang tidak berfungsi lagi dalam ekonomi riel dan tidak membiayai suatu investasi, uang tak nyata ini bergerak berdasarkan logika ekonomi dan rasionalitas, bahkan sangat rawan, mudah terganggu oleh desas – desus, friksi elite politik, atau kerusuhan yang tak terduga.
Bukti hal ini terlihat ketika kerusuhan demostrasi besar – besaran menjatuhkan Soeharto tahun 1998, ketika nilai dolar melejit secara hebat. Demikian pula ketika Gus Dur baru – baru ini memecat Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla, mempertajam perseteruannya dengan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin serta kebiasaannya melontarkan pernyataan kontroversial. Semua itu selalu membuat nilai tukar dolar labil dan cenderung melejit sampai kelevel Rp. 8. 700.
Selama sistem moneter yang zalim pada kapitalisme global, keburukan sistem kapitalisme ini juga terlihat pada konsep pasar bebas yang dikampanyekannya pada 2003 dan 2020 mendatang. Robert Hormats, vice chairman dari sebuah bank investasi multinasional berkantor di New York, secara jujur mengatakan, “volatilitas internasional telah menjadi sedemikian rupa sehingga pasar bebas kapitalisme berada di sisi yang defenisif.”
Pernyataan lain yang serupa dikemukakan Anthoni Giddens, direktur London School of economics. Menurutnya, sebuah debat yang sangat penting telah dimulai, disebabkan oleh kesadaran umum bahwa di era pasar global atau pasar bebas banyak masyarakat di berbagai negara yang tergilas dan tak terlindungi. Maka, sebuah keinginan telah timbul untuk mengakui perlunya sebuah pengaturan tatanan ekonomi baru dunia.
Sementara, Emile Durkhem mengatakan, konsekuensi logis dari praktiknya kapitalis telah membuat rusak bentuk tatanan sosial tradisional yang sarat dengan nilai solidaritas dan persaudaraan.
Masyarakat secara tidak sadar telah meninggalkan kepatuhan terhadap imperatif-imperatif norma kehidupan, norma agama dan norma sosial yang semuanya disepakati bersama. Pada keadaan ini masyarakat kehilangan pegangan hidup dan akhirnya terperangkap pada dunia anomie, yaitu keadaan hampa norma (normamlessness).
Kapitalisme bagi Durkhem, jelas-jelas mengandung benih-benih patalogis dan benih pribadi yang egois, individu dan tercerabut dari dari akar sosial budayanya, kemudian masuk dalam perangkap anomistik. Dunia anomistik ini akhirnya menjadi sebuah realitas uang di dalamnya terdapat jaringan-jaringan kerja bak gurita yang menangkap dan memilih kehidupan manusia dalam dekapannya.

Kesenjangan
Keburukan kapitalisme juga terlihat pada implikasi pembangunan yang berasas filasafat laissez faire (kebebasan individu), akibatnya ketidakmerataan pendapat dan kekayaan justru semakin membengkak. Juga telah terjadi ketidakstabilan ekonomi dan pengangguran dalam kadar sangat besar yang semakin menambah kesengsaraan si miskin. Pertumbuhan ekonomi memang hebat dan spektakuler, tetapi kesenjangan yang tajam semakin menganga.
Akibat praktisnya, menurut Prof. Dr. Umar Chapra dosen ekonomi di berbagai universitas Barat ini terjadi fenomena menjijikan bagi rasa keadilan ekonomi. Karena itu Themas Carlyle menyebut bahwa ilmu ekonomi kapitalisme adalah ilmu yang malang dan karena itu menolak keras konsep laissez fair yang memberikan kebebasan individu secara terbatas. Sistem ini tak akan bisa mewujudkan keserasian dan meningkatkan kesejahteraan umum (Elizabeth Jay, Critics of Capitalisme, 1986).
Menurut Prof. Dr. Umar Chapra, alumni Minnesota University, AS dan penasehat ekonomi pada Lembaga Moneter Arab Saudi, dalam buku Islam and Economic Challenge mengatakan, orang miskin dan pengangguran dalam paradigma kapitalisme dianggap sebagai pemalas, enggan bekerja, boros dan tidak giat berusaha.
Maka orang miskin harus dibiarkan memenuhi kebutuhannya sendiri. Sebab, kemiskinan itu adalah disebabkan ulahnya sendiri, bukan ulah kapitalisme atau struktur ekonomi yang zalim. Persepsi ini secara lantang dikemukakan Daniel Defoe, Bernard Mandeville, Herbert Soenoer, Dicey dan Calvin Coolodege.
Sebab itu, menurutnya kapitalisme, menjadi sebuah sistem yang memberikan kebebasan individu yang terbatas (laissez faire) untuk memungkinkan individu mengejar kepentingannya sendiri dan untuk memaksimalkan kekayaan dan memuaskan keinginannya.
Di AS dilaporkan bahwa, “In 1990 no less than one out of every then US citiziens, and one out of every five children lived in proverty”. Bagaimana kenyataan yang demikian dapat ditoleransi. Negara adikuasa, yang sistem ekonominya dijadikan panutan negara-negara di hampir seluruh dunia, ternyata membiarkan atau mentoleransi 10 persen rakyatnya hidup dalam kekurangan sepanjang masa.
Kritik paling keras terhadap kapitalisme dilontarkan oleh Hyman Minsky dalam buku Stabiliszing Unstable Economy (1986). Menurutnya, masyarakat kapitalisme itu tidak adil dan tidak efisien. Suatu fakta yang tak terbantahkan adalah meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi negara di AS, tetapi kesenjangan makin melebar, yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya.
Menurut kantor Sensus AS, tingkat kemiskinan meningkat di AS dari 11,4 persen pada tahun 1978 menjadi 13,6 persen pada tahun 1986. Pemusatan kekayaan telah meningkat sangat tinggi selama dua tahun dekade terakhir. Di tahun 1962 sebesar 0,5 persen dari penduduknya mengusai 25,4 persen dari kekayaan bersih. Tapi tahun 1983 kelompok 0,5 persen ini telah mengusai 35,1 persen aset negara.
Berdasarkan data dan fakta di atas, maka menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk meruntuhkan hegemoni kapitalisme dan menggatikannya dengan sistem ekonomi yang adil dan manusiawi, yakni ekonomi syariah untuk menghilangkan kezaliman dan kepincangan kemakmuran masyarakat di seluruh dunia. Tekad ini diperkuat oleh banyaknya keraguan yang dilontarkan para praktisi dan akademisi ekonomi dunia saat ini.
Sistem ekonomi syariah itu, kini telah mulai menunjukkan kiprah dan jati dirinya di berbagai negara, baik Amerika, Eropa, Australia maupun Asia. Itulah ekonomi Syariah Islam. Munculnya ekonomi syariah tidak saja dalam bentuk lembaga bank yang jumlahnya sudah dua ratusan, tapi juga studi ekonomi Islam telah dikembangkan secara intensif di universitas paling terkemuka di Barat, yakni Harvard University.
Konsep meneter kapitalisme berbeda total dengan konsep moneter Islam. Dalam ekonomi Islam, yang tidak boleh dijadikan sebagai komoditas, sebab fungsinya adalah sebagai alat tukar untuk kepentingan transaksi barang dan jasa dan untuk berjaga-jaga. Menurut ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar ditentukan oleh banyaknya permintaaan uang di sektor riil yang disebut dengan variabel endogen.
Atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Dalam Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riel. Di sinilah karekteristik ekonomi Islam yang memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel.

Senjata Ampuh Kapitalisme
Dengan sistem kapitalisme yang tidak adil, maka Barat mudah sekali mempermainkan negara berkembang dengan senjata mata uang dollarnya yang hegemoni dan diktator. Mata uang dollar menjadi senjata ampuh bagi Barat untuk melumpuhkan suatu bangsa dengan menaikkan kurs dollar setinggi-tinginya, maka ekonomi sebuah negara pasti hancur berantakkan, sebagaimana yang kita rasakan ketika dollar melenjit tinggi secara spektakuler.
Karena itu, sepanjang dollar (uang kertas yang tak bernilai secara instrik) itu masih digunakan sebagai alat tukar yang hegemonis, maka kondisi ekonomi negara-negara dunia ketiga tak pernah aman dari ancaman bahaya kehancuran.
Oleh karena itu, sebuah gerakan tarikat Al-Murabitun yang berpusat di Maroko, mendeklarasikan dan mempraktikkan mata uang dinar dan dirham, menggantikan mata uang kertas. Kelompok tarikat ini bercita-cita mendirikan negara Islam. Upaya itu tentu mengalami kegagalan total, jika ekonomi Indonesia masih bernuansa kapitalisme yang menggunakan dollar.

Penutup
Berdasarkan fakta dan rasionalitas di atas, maka tak bisa tidak, sistem ekonomi syariah harus diwujudkan di muka bumi ini, sebab sistem ekonomi ini memiliki konsep ekonomi moneter yang adil, menghilangkan penindasan antara satu negara terhadap negara lain

Seguir leyendo...

BANK SYARIAH MENUJU STANDAR INTERNASIONAL

Oleh Agustianto

Menurut blueprint perbankan syariah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (2007) fokus pengembangan bank syariah Indonesia fase III (2010-2012) ada dua capaian, pertama “Pencapaian standar keuangan sesuai dengan standar internasional, Kedua, pencapaian standar kualitas pelayanan internasional”.
Mengapa pemenuhan standar internasional bagi pengembangan perbankan syariah ke depan menjadi penting ?. Jawabnya pertama, adalah agar bank syariah dapat berkompetisi secara internasional. Hal ini dikarenakan system pasar bebas yang tak terelakkan, seperti AFTA dan WTO. Perbankan syariah Indonesia harus memiliki daya saing yang kuat, sehingga tidak menjadi bank syariah kelas pinggiran atau penonton belaka apalagi penonton di negeri sendiri.
Pemenuhan standar internasional menjadi hal yang tak terelakkan, bahkan mulai saat saat ini hal itu harus diwujudkan. Buktinya, bank –bank syariah pasti bersinggungan dengan bank –bank internasional, misalnya dalam penyediaan jasa L/C dan transaksi devisa lainnya. Bagaimana jadinya jika bank-bank syarah tidak dipercaya di luar negeri, aneh dan gawat bila hal ini terjadi. Karena itulah standar internasioanl menjadi keniscayaan.
Pencapaian standar internasional perlu diwujudkan di masa depan berguna untuk kepentingan penguatan permodalan perbankan syariah. Perlunya penguatan permodalan dari dunia internasional dikarenakan keterbatasan sumber permodalan (investor) dari Indonesia sendiri. Oleh karena itu, bank syariah nasional perlu menarik investor asing melalui penawaran saham ataupun melalui penerbitan surat berharga syariah (e.g. sukuk, sub-debt, dll).
Urgensi mencapai standar internasional juga adalah agar perbankan syariah mendapatkan dana yang lebih murah. Bank-bank yang tidak memenuhi standar internasional akan memiliki rating yang rendah sehingga biaya perolehan modal akan lebih mahal. Harus benar-benar dicatat, bahwa bank-bank syariah yg tidak memenuhi standar internasional akan sulit untuk menjalin hubungan internasional.
Dalam mendorong masuknya modal asing ke perbankan syariah Indonesia, peranan Bank Indonesia dan pemerintah menjadi sangat penting. Jadi pengembangannya menuju standar internasional tidak hanya diserahkan kepada manajemen bank-bank syariah itu sendiri.
Dengan demikian, pencapaian standar internasional bisa menjadi dua hal . Pertama, memancing (mengundang) masuknya investor asing ke dunia perbankan syariah. Jadi, tidak salah jika pemodal asing dan bank syariah asing masuk ke dalam industri perbankan syariah nasional.
Kedua, menjadikan bank syariah Indonesia sebagai internasional player dengan melakukan penetrasi pada pasar global. Ini penting dilakukan agar perbankan syariah memiliki kesan dipercaya secara internbasional dan dapat sejajar dengan perbankan syariah internasional yang pada gilirannya dapat menciptakan laba dan mewujudkan empowement bank syariah domestik. . Perbankan syariah jangan menjadi pecundang di tengah konstelasi keuangan global yang semakin kompetitif. Kedua pengembangan di atas harus berjalan secara seiring, karena keduanya harus diwujudkan di masa depan.
Penciptaan Iklim yang kondusif
Untuk mendukung terwujudnya perbankan syariah berstandar internasional, harus diciptakan iklim yang kondusif, khususnya iklim regulasinya, termasuk menjaga stabilitas indikator ekonomi dan non-ekonomi, penciptaan insentif investasi dan infrastruktur yang lengkap dan terpercaya. Di sini peranan pemerintah ssngat penting. Tanpa political will pemerintah dalam menciptakan iklim yang kondusif tersebut, maka upaya pecapaian standarr internasional sulit diwujudkan.
Setidaknya ada lima unsur yang harus diwujudkan untuk membangun iklim yang kondusif bagi pengembangan perbankan syariah yang bertaraf dan berstandar internasional. Kempat unsur ini menjadi tantangan utama pengembangan perbakna syariah ke depan.

Pertama , keadilan kebijakan dari pemerintah, misalnya dalam memberikan proyek-proyek infra struktur pemerintah, seperti pembangunan jalan tol, jalan negara (antar propinsi), bandara, dan pengembangan (Islamic) Mortgage Sector serta pengembangan pembiayaan korporat/BUMN, misalnya sarana telekomunikasi, transportasi dan sebagainya. Malaysia telah menunjukkan kerberhasilan dalam mewujudkan ini. Kenapa kita tidak?

Kedua, adanya Undang-Undang yang jelas tentang hukum perpajakan dan insentif tax neutrality bagi seluruh kontrak keuangan syariah. Jangan sampai terjadi pajak ganda, seperti selama ini. Dirjen pajak tidak sepatutnya mebai buta memburu pajak murabahah secara ganda dengan alas an mencapai target. Seluruh regulasi di dinia internasional, seperti di Singapura, Malaysia, Inggris, Belanda, dll, hanya mengenakan pajak sekali saja, karena mereka memahami bank syariah adalah lembaga intermediasi. Di Indonesia pejabat pajak benar-benar buta dan rakus terhadap sasaran pajak. Sampai-sampai suatu transaksi murabahah dipaksa membayar dua kali pajak. Alhamdulillah, Menteri keuangan, Budiono baru-baru ini sudah berjanji akan menghapus pajak ganda tersebut pada momentum pembukaan Indonesia Syariah Expo II di JCC Jakarta beberapa waktu lalu.
Ketiga, Tersedianya sovereign sukuk (SBSN) sebagai benchmark instrumen keuangan syariah dan alternatif investasi dalam rangka manajemen likuiditas bank syariah. Implementasi sukuk di Indonesia mengalami proses yang sangat lambat, karena Indonesia belum memiliki Undang-Undangnya. Di sini lagi-lagi pemrintah lamban. Harusnya RUU SBSN sudah ada di Indonesia sejak 3 tahun lalu.

Keempat, Berkembangnya instrumen dan pasar keuangan syariah, baik untuk keperluan manajemen likuiditas, manajemen risiko dan alternatif investasi.

Kelima, Penataan sistem dan infrastruktur hukum pendukung bagi ekonomi dan keuangan syariah, seperti UU Pengadilan Agama, Arbitrase, kejelasan peran lembaga seperti DSN, otoritas fatwa, dsb.
Beberapa catatan penting
Meskipun arah pengembangan bank syariah di masa depan diarahkan pada pencapaian standar internasional dengan cara tampil sebagai pemain global, harus dicatat betul-betul, bahwa kita harus memperirotaskan pasar domestik terlebih dahulu, karena pasar domestik di dalam negeri memiliki potensi yang sangat besar dan masih terlalu banyak yang belum tergarap. Pelayanan yg lebih luas pada kebutuhan pasar domestik berarti memberikan kemaslahatan yang lebih besar dan luas bagi sistem perbankan syariah bagi perekonomian Indonesia.
Ketika perbankan syariah bermain di pasar domestik, ada usulan penting yang harus diperhatikan dunia internadsional, di mana beberapa regulasi berstandar internasdional perlu diperlonggar, karena kondisi yang berbeda antara pasar domestik di Indonesia dengan pasar global yang sudah canggih, seperti kelonggaran regulasi mengenai risk-based capital charge, PPAP, dan GWM, bahkan sampai pada ketentuan NPF. Ketentuan internadsional harus diperlonggar, dengan tetap memperhatikan risk taking capacity bank syariah di Indonesia. Artinya, bagi bank yang difokuskan untuk bermain sebagai domestic players tidak menjadi keharusan untuk memenuhi standar regulasi internasional yg cenderung lebih ketat.
Dengan demikian, achievement standar internasional perlu mempertimbangkan kemaslahatan industri perbankan di Indonesia untuk mendukung kepentingan ekonomi nasional. Karena itu, standar regulasi internasional tidak boleh mengebiri dan mengungkung bank-bank syariah di Indonesia. Jika terlalu dipaksa memenuhi criteria tersebut, maka pembiayaan sektor UMKM dan pengusaha domestik yang menjadi sasaran utama bank syariah menjadi terganggu. Ingat !, lebih dari 40 juta UMKM di Indonesia membutuhkan pembiayaan dari lembaga keuangan syariah. Karena itu, sejatinya perbankan syariah nasional mestinya lebih focus pada pemberdayaan UKM domestik terlebih dahulu, karena secara kuantitas UKM masih menggurita di bumi Indonesia ini. (Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI, tinggal di Jakarta).

Seguir leyendo...