Agenda Training

Ikutilah!!! >>>> Training dan Workshop Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Level Intermediate (Angkatan 84) 6 - 7 Februari 2014 # Workshop Nasional Notaris Syariah 24 - 25 Januari 2013 # Workshop Hybrid Contracts pada Produk Perbankan Syariah 13 - 14 Maret 2013 Hub. Sdr. Joko (082110206289). BURUAN DAFTAR

Training

Training

MENINGKATKAN SDM BANK SYARI’AH

Oleh : Agustianto

Perkembangan dan pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia sangat pesat. Jumlah kantor palayanan per Mei 2007 sebanyak 621 kantor. Perkembangan hebat ini ditopang oleh pembukaan unit-unit syariah oleh bank-bank konvensional. Perkembangan tersebut sangat mengembirakan, namun konversi (hijrah)nya bank-bak konvensional menjadi syari’ah atau maraknya pembukaan unit usaha syari’ah oleh bank konvensional, menghadapi sejumlah kendala yang tidak ringan. Salah satu masalah atau kendala yang dihadapi adalah terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) berkualifikasi perbankan syariah baik di level menengah dan atas (direksi, kepala divisi dan kepala cabang), maupun di level bawah. Bagi Bank Muamalat sebagai pelopor bank syari’ah pertama di Indonesia, hal ini tentu tidak begitu menjadi persoalan, karena sejak tahun 1992 BMI telah membina kader-kader tangguh di bidang syari’ah.. Tetapi bagi sebagian besar perbankan yang konversi ke syari’ah atau membuka unit usaha syari’ah, masalah SDM tentu menjadi persoalan penting.
Perlu diketahui bahwa keberhasilan pengembangan perbankan syariah bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan pertumbuhan yang spektakuler atau keberhasilan penyebarluasan informasi, penyusunan atau penyempurnaan perangkat ketentuan hukum, atau banyaknya pembukaan jaringan kantor, tetapi juga sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya insani para pelaku/praktisi perbankan syariah itu sendiri, sehingga bank syari’ah bisa berjalan sesuai prinsip syari’ah dan dapat dimanfaatkan masyarakat luas sebagai bagian dari sistem keuangan yang rahmatan lil alamin.
Dengan demikian, praktisi perbankan syari’ah tidak hanya terfokus pada pengejaran target yang ditetapkan demi kepentingan shareholders, tetapi juga berkomitmen pada penerapan syari’ah. Menurut UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999, untuk mewujudkan sistem dan tatanan perbankan syariah yang sehat dan istiqomah dalam penerapan prinsip syariah dibutuhkan Sumber Daya Insani (SDI) yang mampu menguasai syari’ah dan teknis perbankan.
Harus diakui bahwa SDI bank syari’ah yang mampu dan siap untuk memenuhi kebutuhan operasional bank syariah masih sangat langka. Kendala SDI dalam pengembangan perbankan syariah ini terjadi di samping karena sistem perbankan syariah di Indonesia relatif masih baru , juga masih terbatasnya lembaga akademik dan pelatihan di bidang perbankan syariah.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar SDM bank syariah, terutama pada level menengah dan atas, adalah jebolan bank konvensional dengan berbagai motif. Masih lumayan, jika bank syari’ah tersebut ”merebut” para direksi atau kepala cabang bank syari’ah yang telah lama berdiri. Tetapi, jika tidak, maka akan timbul masalah keminiman pengetahuan syari’ah dan komitmen kesyariahan.
Tingkat pemahaman hukum syari’ah yang minim disebabkan karena mereka biasanya hanya mengenyam pelatihan singkat tentang perbankan syariah (kelas eksekutif) sekitar dua-tiga hari atau 1 minggu. Short course seperti ini hanya memberikan kulit luar ekonomi syariah dan perbankan syariah secara instan dan dijamin lulus. Selanjutnya mereka langsung menjadi pemegang kendali dan menjadi decision maker semua kebijakan. Fit and proper test (Uji kelayakan dan kepatutan) yang dilakukan oleh BI untuk direksi bank syariah juga belum dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan direksi bank syariah yang benar-benar mempunyai ghirah dan kompetensi yang tinggi.
Minimnya skills dan kognisi (keilmuan) sumber daya insani (SDI) di bidang perbankan syariah ini menimbulkan dampak negatif yang serius, antara lain implementasi syariah Islam dalam perbankan menjadi tidak optimal Akibatnya lainnya ialah pengembangan produk-produk yang benar-benar memiliki landasan syariah yang kuat dan sekaligus memiliki keandalan bisnis menjadi terhambat. Padahal, idealnya pengembangan produk ini harus bisa membawa masyarakat pada fitrah alam dan fitrah usaha yang mengikuti syariah, terutama dalam pertanian, perdagangan, investasi, dan perkebunan.
Karena kurangnya pemahaman dan komitmen syari’ah, maka tidak jarang praktek bank syari’ah telah tercemar oleh budaya bunga yang bertentangan dengan fitrah alam dan fitrah usaha. Para bankir syariah yang tidak berlatar belakang ilmu perbankan syariah ini hanya berkutat pada produk-produk konvensional, diberi imbuhan syariah dan dimodifikasi di sana-sini, selanjutnya dijual dengan label syariah. Jadi, pengembangan produk perbankan syariah hanya mencari-cari padanan dengan produk perbankan konvensional. Jika kecenderungan ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan degradasi produk-produk perbankan syariah pada masa depan.
Sebenarnya, mantan praktisi bank konvensional yang menjadi praktis bank syari’ah tidak akan bermasalah jika mereka secara serius dan dengan segera mempelajari segala hal tentang bank syariah. Karena itu, pihak manajemen harus mengutamakan pelatihan syari’ah yang terus-menerus agar kemampuan syari’ah meningkat dan jiwa syari’ah menjadi tumbuh dan makin kuat. Selanjutnya para praktisi ini mempunyai confidence dan ghirah yang tinggi untuk menerapkannya, tanpa berkeluh-kesah soal kesulitan-kesulitan yang timbul ketika konsep perbankan syariah yang benar dioperasionalkan.
Setiap insan bank syariah seharusnya paham bahwa konsep perbankan syariah merupakan manifestasi dari konsep syari’ah. Memahami teknis perbankan saja tanpa memiliki kemampuan ilmu syari’ah yang memadai, akan mudah terjerumus kepada penyimpangan-penyimpangan syari’ah. Sebenarnya pada tahap-tahap awal, menimnya pengetahuan ilmu syari’ah ini bisa dimaklumi, tapi menjadi tidak wajar dan naif sekali, bila mereka kemudian malas belajar dan mengaggap persoalan tersebut secara enteng.
Mungkin karena merasa sudah pintar dan berpengalaman di bank konvensional membuat mereka, terutama yang ada di level atas, kurang serius mempelajari perbankan syariah. Akibatnya, ghirah yang dibutuhkan untuk memikul beban berat menjalankan sistem perbankan syariah tidak muncul. Maka, mengelola bank syariah, mereka sering mengeluarkan ’jurus-jurus’ konvensionalnya yang terkadang melanggar kepatuhan syariah. Memang berat menjadi seorang direktur bank syariah, sementara harus membawa organisasinya ke pencapaian visi dan misi yang idealis dan memikat umat Islam, tetapi kenyataannya target kuantitatiflah yang harus diutamakan.
Sementara itu, direktur bank syariah pun harus memuaskan pemilik yang belum tentu paham esensi, visi, dan misi perbankan syariah. Akibatnya, jangankan berpikir tentang tanggung jawab bank syariah sebagai agen perubahan ekonomi bangsa,berpikir bagaimana agar kinerja bisnis bank syariah dalam mencapai target yang digariskan oleh pemiliknya saja, sudah memusingkan kepalanya.
Beban target inilah yang akhirnya mendorong kebijakan-kebijakan bisnisnya terlalu berorientasi pada bisnis secara sempit sehingga semakin jauh dari visi dan misi bank syariah. Pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang seharusnya ditingkatkan malah semakin dijauhi oleh perbankan syariah dengan berbagai alasan yang sebenarnya mencerminkan sikap avers to risk dan avers to effort mereka. Padahal, produk mudharabah dan musyarakah adalah pembeda yang paling jelas dan sekaligus positioning yang baik bagi bank syariah ketika bersaing melawan bank konvensional.
Demi mengejar target, melanggar konsep syariah sedikit dianggap tak menjadi masalah. Padahal, dari sisi nasabah, bila dihadapkan pada preferensi (pilihan) antara bank syariah yang berkomitmen pada syari’ah dan bank yang tidak komit, maka nasabah akan cenderung memilih yang lebih baik praktek syariahnya. Padahal, kalau sudah konversi ke sistem syari’ah, has
Beberapa ekses yang sangat mungkin terjadi akibat fenomena tersebut adalah munculnya praktik-praktik haram, seperti manipulasi informasi, mau menerima hadiah dalam rangka pencairan pembiayaan, merubah akad secara sepihak, atau bahkan memberikan pelayanan yang rendah mutunya. Berbagai ekses tersebut sudah pasti akan mengancam reputasi perbankan syariah secara keseluruhan. Artinya, satu lembaga bank syari’ah yang melakukan kasalahan,maka seluruh bank syari’ah akan tercoreng.
Dari sisi inilah kiprah sesungguhnya perbankan syariah akan terkuak. Masyarakat memang tidak begitu paham apa itu bank syariah, tapi harap diingat bahwa masyarakat tidak salah bila berharap bahwa munculnya bank syariah akan memberikan berbagai solusi atas dampak negatif bank konvensional.
Pada masyarakat telah tertanam persepsi bahwa bank syariah pasti berbeda (walaupun tentu ada juga persamaannya), bahkan lebih tinggi kualitas moral, etika, dan sistem bisnisnya dibanding bank konvensional. Bila ternyata yang ditemui sama saja, bahkan lebih buruk dari bank konvensional, betapa bodohnya perbankan syariah yang telah menyia-nyiakan kepercayaan para stakeholder-nya dan tidak bersyukur atas kelapangan dan peluang besar yang telah dianugrahkan Allah SWT.

(Penulis adalah Sekjen IAEI, Dosen Pascasarjana Ekonomi Islam UI Jakarta)

0 komentar: