Agenda Training

Ikutilah!!! >>>> Training dan Workshop Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Level Intermediate (Angkatan 84) 6 - 7 Februari 2014 # Workshop Nasional Notaris Syariah 24 - 25 Januari 2013 # Workshop Hybrid Contracts pada Produk Perbankan Syariah 13 - 14 Maret 2013 Hub. Sdr. Joko (082110206289). BURUAN DAFTAR

Training

Training

Bajak SDM Bank Makin Marak

Jagad Ananda, Kontributor INILAH.COM


(Istimewa)

INILAH.COM, Jakarta – Aksi bajak membajak karyawan bank masih akan berlangsung. Hal serupa ditengarai akan terjadi di perbankan syariah. Sebuah gejala alami. Tapi, Bank Indonesia menyarankan agar perekrutan karyawan dari bank lain dilakukan dengan etis.

Melonjaknya tingkat inflasi, otomatis, telah mendorong otoritas moneter untuk melakukan aksi pengendalian. Salah satunya, dengan meningkatkan tingkat bunga acuan yang lazim disebut dengan BI rate.

Para pakar ekonomi meyakini, BI rate yang baru saja dinaikkan sebesar 25 basis poin ke 8,25%, akan terus dikerek naik hingga mendekati tingkat inflasi yang tahun ini diperkirakan akan menclok di atas 11%.

Kalau itu benar-benar terjadi, ini jelas merupakan pukulan terhadap bisnis perbankan. Sebab, peningkatan BI rate, suka atau tidak suka, mesti diikuti dengan naiknya tingkat bunga simpanan juga kredit.

Dampaknya, selain penyaluran kredit baru menjadi seret, tingkat kemacetan dari kredit yang sudah tersalurkan (NPL) pun terancam meningkat. Kondisi seperti ini, sebenarnya, sudah diantisipasi oleh para bankir.

Terutama setelah mereka melihat harga minyak dunia yang bergerak semakin liar. Untuk menghindari tingginya risiko yang mesti dihadapi, belakangan ini banyak bank yang agresif menggarap sektor konsumsi dan usaha kecil menengah (UKM).

Salah satu syarat yang mesti dipenuhi untuk bisa menggarap dua sektor ini secara serius adalah penambahan gerai dan SDM yang lebih banyak. Makanya, tak mengherankan, jika aksi bajak-membajak karyawan bank akhir-akhir ini terlihat semakin marak.

Berita yang paling hangat menyebutkan adanya sejumlah bankir dari Bank Danamon yang dibajak Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN). Menanggapi kejadian ini, otoritas moneter memang tak bisa berbuat apa-apa.

Salah satu petinggi di Bank Indonesia hanya bisa menyarankan agar perekrutan karyawan dari bank lain dilakukan dengan etis. Etisnya seperti apa? Tidak jelas benar.

Yang pasti, kasus Danamon-BTPN bukan yang pertama kali terjadi. Dulu, ketika Bank Lippo, ABN-AMRO, Bank NISP dan sejumlah bank lainnya menajamkan usahanya di UKM dan konsumen, manajemen Bank Internasional Indonesia (BII) kalang kabut lantaran banyak karyawannya yang keluar.

Parahnya, mereka tidak keluar orang per orang, tapi rombongan. “Jadi kalau ada manajer yang pindah, biasanya mereka membawa serta anak buah dari bank asalnya,” kata seorang direktur bank asing.

Aksi hengkang beramai-ramai seperti itu, memang, sulit untuk dicegah. Selain mereka sudah merasa tidak nyaman di tempat asalnya, gaji dan tunjangan yang ditawarkan di tempat baru sunguh menggiurkan. “Selain bonusnya lebih banyak, gaji yang ditawarkan pun bisa dua kali lipat lebih besar,” kata sang bankir.

Yang memprihatinkan, gejala seperti ini kelihatannya masih akan terus berlangsung. Untuk tahun ini saja, kata sang bankir, sedikitnya dibutuhkan sekitar 40 ribu tenaga baru untuk mendukung ekspansi perbankan.

Lantas dari mana SDM sebanyak itu akan dipasok? Ini yang sulit dijawab. Betul, sekarang ini ada beberapa bank yang sudah memiliki lembaga pendidikan sendiri untuk mencetak tenaga yang dibutuhkan. Tapi, itu belum bisa memenuhi kebutuhan yang ada. “Makanya bajak-membajak akan semakin ramai,” katanya.

Kondisi serupa juga dipastikan akan terjadi di lingkungan perbankan syariah. Menurut Deputi Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Mulya E Siregar, apabila target aset perbankan syariah yang tahun ini dipatok Rp 92 triliun tercapai, maka jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan mencapai 21 ribu orang.

Jika dibandingkan dengan tenaga kerja yang ada sekarang (7 ribu), berarti perbankan syariah masih membutuhkan sekitar 14 ribu karyawan baru. Coba, dari mana tenaga sebanyak itu akan diperoleh?

Seguir leyendo...

Muharram dan Festival Ekonomi Syariah

Oleh : Agustianto

Pendahuluan
Bulan Muharram merupakan awal dari tahun baru Islam. Pada setiap peralihan tahun tersebut, kaum muslimin selalu merayakan dan menyemarakkannya dengan mengangkat tema-tema kebangkitan dan perubahan ke arah yang lebih baik dan maju. Pada momentum tahun baru 1429 H ini, bulan Muharram akan dimeriahkan dengan perhelatan akbar bernama Festival Ekonomi Syariah yang dimotori oleh Bank Indonesia yang digelar di Jakarta dan beberap kota di daerah. Pada acara tersebut akan dipromosikan seluruh lembaga, produk dan gerakan ekonomi syariah, tidak saja perbankan syariah tetapi juga segala aspek yang terkait dengan ekonomi syariah, seperti lembaga keuangan syariah non bank, perusahaan yang bergerak di sector riil, lembaga pendidikan, lembaga konsultan serta lembaga yang terkait yang mendukung gerakan ekonomi Islam.
Untuk memberikan nilai dan spirit bagi pelaksanaan Festival Ekonomi Syariah tersebut, perlu dipaparkan makna filosofis hijrah, dengan harapan spirit hijrah tersebut dapat menjiwai pelaksanaan Festival Ekonomi Syariah tersebut.
Makna Filofis Hijrah
Setiap tahun baru Islam tiba, kaum muslimin diingatkan kepada peristiwa hijrah. Ismail Al-Faruqi menyebut hijrah sebagai langkah awal dan paling menentukan untuk menata masyarakat muslim yang berperadaban. Hijrah merupakan strategi besar (grand strategy) dalam membangun peradaban Islam.
Dalam konteks historis Islam, peristiwa hijrah merupakan momentum paling penting dan monumental. Hijrah telah membawa perubahan dan pembaharuan besar dalam pengembangan Islam dan masyarakatnya kepada sebuah peradaban yang maju dan berwawasan keadilan, persaudaraan, persamaan, penghargaan HAM, demokratis, inklusif, kejujuran, menjunjung supremasi hukum, yang kesemuanya dilandasi dan dibingkai dalam koridor nilai-nilai syari’ah.
Hijrah juga telah mengantarkan terwujudnya negara madani yang sangat modern, bahkan dalam konteks masyarakat pada waktu itu, terlalu modern. Demikian pendapat oleh Robert N Bellah seorang ahli sosiologi agama terkemuka dalam bukunya Beyond Bilief (1976 h 150).
Hijrah bukanlah pelarian untuk mencari suaka politik atau aksi peretasan keperihatinan karena kegagalan mengembangkan Islam di Mekkah, melainkan sebuah praktis reformasi yang penuh strategi dan taktik jitu yang terencana dan sitematis. Maka, tepatlah apa yang dikatakan Hunston Smith dalam bukunya the Religion Man, bahwa peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia.
Berdasarkan kenyataan itulah Sayyidina Umar bin Khattab menetapkannya sebagai awal tahun hijriyah. Dalam konteks ini ia menuturkan : “al hijrah farragat bainal haq wall bathil fa-arrikhuha” (Artinya : hijrah telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil, maka jadikan kamulah momentum itu sebagai awal penanggalan kalender Islam).
J.H. Kramers dalam Shorter Encycolopeadia of Islam meneybut hijrah sebagai sebagai strategi jitu dan cerdas dalam pembangunan imperium Arab (baca ; Islam). Berdasarkan pernyataan-pernyataan para pakar di atas, maka sangat relevan ungkapan Prof Dr Fazlur Rahman yang menyebut hijrah sebagai Marks of the founding of islamic community
Apabila kita cermati makna filosofis hijrah secara mendalam, hijrah sesungguhnya mengandung makna reformasi yang yang luar biasa. Semangat reformasi tersebut terlihat dari langkah-langkah strategis yang dilakukan Nabi Muhammad Saw ketika beliau menetap di Madinah, baik dalam bidang sosial keagamaan, politik, hukum maupun ekonomi.
Hijrah dan Spirit Reformasi Ekonomi
Pasca hijrah, Nabi Muhammad Saw melakukan penataan di berbagai aspek, seperti social, keagamaan, politik dan salah satunya di bidang ekonomi. Banyak upaya yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam melakukan reformasi di bidang ekonomi, baik di sector moneter, fiskal, mekanisme pasar (harga), peranan negara dalam menciptakan pasar yang adil (hisbah), membangun etos entrepreneurship, penegakan etika bisnis, pemberantasan kemiskinan, pencatatan transaksi (akuntansi), pendirian Baitul Mal, dan sebagainya. Beliau juga banyak mereformasi akad-akad bisnis dan berbagai praktek bisnis yang fasid (rusak), seperti gharar, ihtikar, talaqqi rukban, ba’i najasy, ba’i al-‘inah, bai’ munabazah, mulamasah dan berbagai bentuk bisnis maysir atau spekulasi lainnya. dsb. Dari berbagai reformasi yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, praktek riba mendapat sorotan dan tekanan cukup tajam. Banyak ayat dan hadits yang mengecam riba dan menyebutnya sebagai perbuatan terkutuk dan dosa besar yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka.
Paradigma pemikiran masyarakat yang telah terbiasa dengan system riba (bunga) digesernya menjadi paradigma syariah secara bertahap. Menurut para ahli tafsir, proses perubahan tersebut memakan waktu 22 tahunan. Pada awalnya hampir semua orang beranggapan bahwa system riba (bunga) akan menumbuhkan perekonomian, tetapi justru menurut Islam, riba malah merusak perekonomian. (lihat surah 39 : 39-41).
Selanjutnya Nabi Muhammad juga mengajarkan konsep transaksi valas (sharf) yang sesuai syariah, pertukaran secara forward atau tidak spot (kontan) dilarang, karena sangat rawan kepada praktik riba fadhl.Larangan itu menunjukkan larangan Nabi yang sangat keras kepada praktek spekulasi valas.
Spirit reformasi yang dipraktekkan Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya dalam berhijrah, harus kita tangkap dan aktualisasikan dalam konteks kekinian, suatu konteks zaman yang penuh ketidakadilan ekonomi, rawan krisis moneter, kemiskinan dan pengangguran yang masih menggurita di bawah sistem dan dominasi ekonomi kapitalisme.
Urgensi Memahami Ekonomi Islam
Faktor tingkat pemahaman sangat menentukan dalam pengamalan. Karena itu ummat Islam seharusnya memahami ekonomi Islam dengan baik agar bisa dipraktekkan dalam kehidupan riil. Ekonomi syari’ah memiliki cakupan dan ruang lingkup yang sangat luas. Semua ajaran ekonomi Islam tersebut seharusnya dapat kita aktualisasikan dan terapkan dalam kehidupan, baik dalam bidang ekonomi mikro maupun ekonomi makro, seperti dalam produksi, distribusi, konsumsi, kebijakan moneter, fiskal, manajemen, maupun akuntansi. Konsep ekonomi Islam itu kini telah terefleksi dalam lembaga-lembaga keuangan syari’ah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, leasing syariah, pasar modal syari’ah, pegadaian syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT). koperasi syariah, Multi Level Marketing (MLM) Syariah, dan tentunya termasuk lembaga lembaga zakat maupun waqaf.
Jika umat Islam memahami konsep ekonomi Islam dan siap mengamalkannya, maka kebangkitan ekonomi Islam dan peradaban ummat akan terwujud. Cuman persoalannya, masih terlalu banyak ummat Islam yang belum memahami ekonomi Islam. Minimnya pengetahuan ummat akan ekonomi Islam disebabkan karena nihilnya kajian-kajian ekonomi Islam oleh para ulama di tengah masyarakat. Selama berbada-abad materi dakwah melulu ibadah dan aspek-aspek social Islam yang non ekonomi, sementara aspek mumalah (dalam aspek ekonomi keuangan) diabaikan sama sekali. Akibatnya umat Islam buta tentang ajaran agamanya sendiri yang pada gilirannya merasa asing dengan ajaran agamanya sendiri, apalagi telah terbiasa dan mendarah daging dengan ekonomi konvensional yang telah merasuk sejak zaman penjajahan.
Karena kondisi itu, tidak mengherankan jika masih banyak ummat Islam mengagap ekonomi Islam dan ekonomi konvensioal sama saja, bank syariah dan bank konvensional sama saja, margin jual beli dan bunga sama saja. Perbedaan ekonomi syariah dan ekonomi konvensional hanya label, hakikatnya sama saja. Pokoknya keduanya tidak ada bedanya.
Pernyataan-pernyataan tersebut adalah anggapan orang yang dangkal ilmunya tentang ekonomi syariah, sekalipun mereka professor di bidang ekonomi konvensional atau professor agama Islam (misalnya guru besar pemikiran Islam, filsafat Islam, atau komunikasi dakwah), tetapi mereka belum memahami (mendalami) konsep ekonomi Islam.
Al-quran sudah mengingatkan, orang-orang yang belum memahami syariah selalu akan menolak syariah (lihat al-jatsiyah ayat 18). Sebaliknya, orang-orang yang telah memahami syariah (dan menggunakan akal sehatnya/rasionya dalam kebenaran), pasti menerima syariah. Fakta sudah membuktikan, semua ahli ekonomi Islam dunia yang terdiri dari para doctor, professor dan juga master/magister menerima dan memahami keunggulan ekonomi syariah, bahkan mereka menjadi pendekar-pendekar ekonomi syariah itu sendiri. Karena itu tidak ada seorangpun pakar ekonomi Islam yang membolehkan bunga dalam perekonomian, karena bunga telah menimbulkan kemudhratan yang besar bagi ekonomi dunia, negara dan umat.
Demikian pula yang terjadi di Indonesia, para dosen atau praktisi yang telah belajar ekonomi Islam secara mendalam di program pascasarjana, pasti melihat perbedaan besar antara ekonomi Islam dan konvensional. Mereka melihat kerusakan sisstem ekonomi ribawi dan keunggulan system ekonomi Islam.
Festival Ekonomi Syariah
Karena pemahaman dan awarness umat Islam masih sangat rendah tentang ekonomi syariah, khususnya terhadap lembaga-lembaga keuangan syariah, maka pada momentum Muharram 1429, Bank Indonesia mengelar acara akbar ekonomi syariah dengan nama ”Festival Ekonomi Syariah” pada tanggal 16 sd 20 Januari 2008 di Jakarta Convention Centre Jakarta. Kegiatan Festival ini dilaksanakan selama bulan Muharram yang tersebar kepada 4 kota, yakni Jakarta, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang.
Festival Ekonomi Syariah (FES) diharapkan menjadi ajang edukasi, sosialisasi dan promosi ekonomi syariah kepada masyarakat luas. Meskipun pengunjungnya ditargetkan terlalu kecil, yakni sekitar 50.000 orang, namun gaungnya diharapkan jahuh lebih besar.
Selain sebagai ajang sosialisasi, momentum FES diharapkan menjadi sarana perekat silaturrahmi produktif dan aliansi strategis bagi para praktisi, akademisi, ulama dan pemerintah dalam mempromosikan dan mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia.
Penutup
Kita berdo’a kepada Allah swt semoga acara Festival Ekonomi Syariah ini berjalan dengan lancar dan sukses serta membawa manfaat dan dampak positif bagi pertumbuhan dan pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, sehingga Indonesia menjadi negara yang sejahtera makmur dan penuh keadilan dalam koridor syariah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Mudahah-mudahan momentum tahun baru Hijrah 1429 H ini, dapat kita jadikan sebagai spirit pendorong untuk segera hijrah dari sistem ekonomi kapitalis ribawi kepada sistem ekonomi syariah dalam berbagai aspeknya, seperti aspek perbankan, asuransi, leasing, lembaga keuangan mikro, produk halal, dan sebagainya, sehingga dapat meningkatkan perekonomian umat dan bangsa secara adil, beradab dan maslahah.
Semangat dan spirit hijrah harus kita implementasikan secara riil dalam kehidupan kita dewasa ini. Kita harus segera hijrah dan berubah. ”Sesunggunya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang melakukan perubahan akan nasibnya”. (Ar-Ra’d : 110.
Festival Ekonomi Syariah diharapkan dapat menambah informasi, wawasan dan ilmu ekonomi syariah bagi pengunjung, sehingga mendorongnya untuk hijrah ke ekonomi syariah.

(Penulis adalah Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indoensia dan Dosen Pascasarjana PSTTI Ekonomi dan Keuangan Syariah UI, Pascasarjana Islamic Economics and Finance Univ.Trisakti, Magister Manajemen Keuangan dan Bank Islam Paramadina dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.)

Seguir leyendo...

Waqaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

Oleh : Agustianto

Sekjen IAEI dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI dan IEF Trisakti

Di zaman modern ini, salah satu bentuk dan gerakan wakaf yang banyak mendapat perhatian para cendikiawan dan ulama adalah cash waqf (wakaf tunai). Dalam sejarah Islam, cash waqf berkembang dengan baik pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani. Namun baru belakangan ini menjadi bahan diskusi yang intensif di kalangan para ulama dan pakar ekonomi Islam. Di Indonesia hasil diskusi dan kajian itu membuahkan hasil yang menggembirakan, yakni dimasukkannya dan diaturnya cash waqf (wakaf tunai) dalam perundangan-undangan Indonesia melalui UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan demikian, wakaf tunai telah diakui dalam hukum positif di Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-undang wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.
Apabila dalam perundang-undangan sebelumnya, PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, maka dalam Undang-Undang Wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, termasuk wakaf tunai yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner dan jika dapat direalisasikan akan memiliki akibat yang berlipat ganda atau multiplier effect, terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam.
Namun usaha ke arah itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. Umat Islam Indonesia selama ratusan tahun sudah terlanjur mengidentikkan wakaf dengan (dalam bentuk) tanah, dan benda bergerak yang sifatnya bendanya tahan lama. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut. Salah satu regulasi baru dalam Undang-Undang Wakaf tersebut adalah Wakaf Tunai.

Dasar Syariah Cash Waqaf
Pengembangan wakaf dalam bentuk uang yang dikenal dengan cash wakaf atau wakaf tunai sudah dilakukan sejak lama. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf tunai sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy, ”Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham”.
Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam melegitimasi wakaf tunai. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai beikut :
1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lenmbaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
Dengan diundangkannya UU No 41 Tahun 2004, kedudukan wakaf uang semakin jelas, tidak saja dari segi fiqh (hukum Islam), tetapi juga dari segi tata hukum nasional. Artinya, dengan diundangkannya UU tersebut maka wakaf tunai telah menjadi hukum positif, sehingga persoalan khilafiyah tentang wakaf tunai telah selesai.
Pemberdayaan Ekonomi Umat
Di tilik dari tujuan dan kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi wakaf uang , maka keberadaan wakaf uang di Indonesia menjadi sangat krusial. Setidaknya ada beberapa hal yang mengakibatkan pentingnya pemberdayaan wakaf di Indonesia
1. Krisis ekonomi di akhir dekade 90-an yang menyisakan banyak permasalahan: jumlah penduduk miskin yang meningkat, ketergantungan akan hutang dan bantuan luar negeri
2. Kesenjangan yang tinggi antara penduduk kaya dengan penduduk miskin
3. Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar, sehingga wakaf memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan
4. Sejumlah bencana yang terjadi, mengakibatkan terjadinya defisit APBN, sehingga diperlukan kemandirian masyarakat dalam pengadaan publicgoods.
Meski demikian, bukan sesuatu yang mudah untuk dapat menyelesaikan sejumlah masalah dalam perekonomian nasional. Butuh keseriusan, komitmen dan juga kerja keras untuk dapat menyelesaikannya. Sebagai contoh, dari hasil simulasi yang dilakukan oleh Masyita, dkk dalam study mereka yang bertemakan “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative Instruments for the Poverty Alleviation in Indonesia” dinyatakan bahwa:

Based on the study result above and various scenarios proposed, if the gathered fund through cash waqf certificate increase i.e. IDR 50 million in a day, it will take approximately 11000 days (30 years) to eliminate poverty and 21000 days (57 years) to increase quality of live for Indonesian population with the assumption the others constant.
Pengembangan wakaf tunai memiliki nilai ekonomi yang strategis. Dengan dikembangkannya wakaf tunai, maka akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf tunai akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf.
Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.

Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.
Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.
Kelima, dana waqaf tunai bisa memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini (99,9 % pengusaha di Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, dsb.
Keenam, dana waqaf tunai dapat membantu perkembangan bank-bank syariah, khususnya BPR Syariah. Keunggulan dana waqaf, selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana waqaf adalah dana termurah yang seharusnya menjadi incaran bank-bank syariah.
Dengan adanya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf tunai, maka diharapkan kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan. Apalagi sebagaimana yang telah dihitung oleh seorang ekonom, Mustafa E. Nasution, Ph.D, potensi wakaf tunai umat Islam di Indonesia saat ini bisa mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Bahkan bisa jauh bisa lebih besar.
Hal ini, dikarenakan, lingkup sasaran pemberi wakaf tunai (wakif) bisa menjadi sangat luas dibanding dengan wakaf biasa. Sertifikat Wakaf Tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang kira-kira memiliki kesadaran beramal tinggi. Misalkan Rp 10.000,-, Rp 25.000,- 50.000,-, Rp 100.000,- Rp 500.000,- Rp 1.000.000,- Rp 2.000.000.
Jika jumlah umat Islam yang berwakaf 26 juta saja, maka bisa dihimpun dana lebih dari 22 triliun lebih.
Untuk mengelola dan mengembangkan wakaf tunai dengan baik, dibutuhkan SDI yang amanah, profesional, berwawasan ekonomi, tekun dan penuh komitmen yang kuat. Oleh karena institusi wakaf tunai adalah perkara yang baru dalam gerakan wakaf di Indonesia, maka dibutuhkan sosialisasi yang terus menerus oleh para akademisi, ulama, praktisi ekonomi syariah, baik melalui seminar, training, ceramah maupun tulisan di media massa. Sekian Wallahu A’lam. (Penulis adalah Sekjen DPP IAEI dan Dosen Pascasarjana UI, Pascasarjana Universitas Paramadina dan Pascasarjana Univ. Trisakti)

Seguir leyendo...

Ekonomi Syariah Perlu Masuk Kurikulum Sekolah

2008-08-01 09:10:00

Sumber : Republika

JAKARTA — Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) menyatakan pemerintah perlu memasukkan program ekonomi syariah dalam kurikulum pendidikan tingkat SMP dan SMA. Hal ini dimaksudkan agar pengenalan ekonomi syariah bisa dilakukan sejak dini agar dapat berkembang lebih cepat.

”Kami mendorong pemerintah, dalam hal ini Dikti dan Depag agar mau mendukung perkembangan ekonomi syariah. Caranya dengan memasukkan ekonomi syariah dalam kurikulum SMP dan SMA tahun ajaran mendatang,” kata Sekjen IAEI, Agustianto kepada Republika, Kamis, (31/7).

Saat ini IAEI tengah bekerjasama dengan Program Doktor Universitas Airlangga Surabaya mengadakan seminar dan simposium ekonomi syariah internasional yang akan berlangsung 1-3 Agustus di Surabaya. Dorongan agar pemerintah mau memasukkan ekonomi syariah dalam kurikulum pendidikan sekolah akan menjadi salah satu bahasan utama dalam simposium ini.

Selain itu, lanjutnya, IAEI juga akan mendorong pemerintah untuk mengajak berbagai perguruan tinggi yang belum memiliki program ekonomi syariah untuk mau membuka program tersebut. Agustianto menyebutkan, selama ini, siswa di berbagai level di Indonesia hanya ditawarkan untuk mengetahui sistem ekonomi konvensional saja. ”Mereka tidak diajarkan sistem ekonomi alternatif seperti sistem ekonomi syariah. Padahal sistem ekonomi syariah telah diakui dan diterapkan di Indonesia sejak lama dan kini telah memiliki UU perbankan syariah sendiri,” ujarnya.

Perhelatan manifesto ekonomi syariah itu, rencananya akan dibuka oleh Gubernur Jawa Timur. Acara ini juga akan dihadiri oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Chalimah Fadjrijah. Seminar ini akan menghadirkan pembicara lokal dan internasional diantaranya, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Ekonomi Islam Universitas Al Azhar Kairo Dr Mustafa Dasuki Kasaba, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Ekonomi dan Teknologi Iran, Dr Ali Biniaz, Prof.Dr.Hamzah Ismail, INCEIF Malaysia, Prof.Dr.Sri Edi Swasono (UI Jakarta), Dr.Subarjo Joyusumarto, Mustafa Edwin nasution, Ph.D (Ketua Umu IAEI), Ketua Program Doktor Ekonomi Islam Unair Prof Dr Suroso Imam Jazuli, dewan pakar IAEI Prof Dr Faisal Rivai MBA. dan sebagainya. Selain 15 pembicara tamu, juga akan berbicara 32 narasumber lainnya, dalam forum simposium dan collokium.aru

Seguir leyendo...

“UU Perbankan Syariah Multiplier Effect Pemberantasan KKN”

Kehadiran UU Perbankan Syariah bukan hanya sekedar kepentingan dari praktisi perbankan syariah saja, akan tetapi memiliki multiplier effect pada pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebab, kata Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Agustianto, karena dalam penerapan sistem perbankan syariah akan mengurangi dana-dana yang tidak sah seperti pemberian ”fee” pada proyek-proyek dan pembangunan yang akrab diterima oleh Kepala Daerah.

Maka dari itu, kehadiran UU Perbankan Syariah harus disambut antusias oleh masyarakat baik akademisi, pemerintah dan ulama untuk mensosialisasikannya. Nah, realisasi apa yang diinginkan oleh Sekjen IAEI tersebut, Agus Yuliawan, pkesinteraktif.com, mewawancarainya berikut petikannya:

Apa komentar Anda terkait akan disahkannya UU Perbankan Syariah oleh Pemerintah dan DPR-RI besok?

Dengan kelahiran UU Perbankan Syariah yang telah dinantikan sejak 7 tahun yang lalu, telah membawa angin segar bagi tercapainya target akselerasi perbankan syariah 5% yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI). Hal ini berarti ada kepastian hukum terselenggaranya operasional perbankan syariah di Indonesia dan hal-hal yang bersifat spesifik seperti masalah perpajakan, dana-dana asing,pengadilan dan masalah produk perbankan syariah. Luar biasa lagi dalam UU ini nantinya akan diturunkan lagi menjadi peraturan pemerintah.

Apa urgensi lahirnya UU Perbankan Syariah tersebut bagi perkembangan perbankan syariah kedepan, masalahnya tanpa UU perbankan syariah, bank syariah di Indonesia bisa berjalan.

Aspek regulasi merupakan sesuatu yang sangat penting apalagi regulasi perbankan syariah di Indonesia dalam lahirnya UU Perbankan Syariah ini merupakan logika terbalik, dimana lembaga perbankannya sudah berdiri dahulu baru UU-nya menyusul. Hal ini sangat berbeda yang terjadi di negara-negara lainnya seperti Malaysia dan Bahrain dimana sebelum berdiri bank syariah dibuat dahulu UU-nya. Inilah uniknya perbankan syariah di Indonesia, jika diluar negeri lebih dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, bila di Indonesia lebih dipengaruhi oleh masyarakat. Saya yakin di Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan negara lainnya, karena dimasyarakat akar rumput terutama para akademisi dan pegiat ekonomi syariah telah terbangun dalam mengembangkan ekonomi syariah. Apakah itu menyangkut tentang regulasi yang spesial atau tidak. Perlu kita ketahui tanpa regusi perbankan syariah yang spesial, sesungguhnya bank syariah sudah berjalan meskipun dalam perjalanannya tertatih-tatih. Maka perlu dicatat munculnya UU Perbankan Syariah saya rasa belum cukup, harus ada kebijakan khususnya Pemerintah Daerah (Pemda).

Mengapa harus Pemda?

Karena disana ada penempatan dana, proyek-proyek itu harus diberikan peluang yang sama bagi perbankan syariah, kalau perlu ada keterpihakan pada perbankan syariah. Kenapa? Karena perbankan syariah menerapkan transparasi, keadilan, anti riba. Mengapa harus Pemda, terus terang hingga saat ini banyak Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) jika mendapatkan dana ingin mendapatkan ”fee” tertentu secara gelap kerekeningnya. Saya rasa itu yang tidak terjadi di syariah, karena akan mengurangi dana-dana yang tidak sah. Jadi, sekali lagi pemberlakuan UU Perbankan Syariah memiliki multi player effect terhadap pengurangan pembrantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Untuk itu UU ini perlu disosialisasikan oleh pemerintah secara luas.

Munculnya UU Perbankan Syariah apakah ”kado” buat umat Islam?

Ini bukan hanya kemenangan umat Islam saja—tapi adalah hak umat Islam yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Sesungguhnya umat Islam sudah lama seharusnya diberikan undang-undang tersebut. Jadi, jangan semacam hadiah yang menggembirakan umat Islam tapi adalah hak umat Islam.

Artinya perjuangan ini telah lama diidamkan oleh umat sebelum kemerdekaan juga kan?

Iya dan itu dilakukan secara bertahap. Perlu kita pahami ini bukan kemenangan umat Islam tapi adalah kemenangan bangsa dalam menyelamatkan ekonomi dari krisis. Masih segar ingatan kita, ketika pemerintah mengeluarkan UU no 10 tahun 1998 tentang dual banking system, alasan pemerintah adalah salah satu penyehatan perbankan syariah adalah mengeluarkan kebijakan pendirian perbankan syariah. Mengapa? Karena sumbangan dari perbankan syariah seperti obligasi dan macam-macam, karena perbankan syariah tahan terhadap krisis ekonomi.

Dalam UU Perbankan Syariah, menurut Anda dalam UU tersebut apa yang masih mengganjal?

Saya rasa sudah tertampung semua, seperti masalah pajak berganda, pengadilan dan lain-lain sudah tertampung semuanya. Maka dari itu lahirnya UU Perbankan Syariah itu perlu ditindak lanjuti dengan peraturan-peraturan yang lainya.

Dengan lahirnya, UU Perbankan Syariah apa peran IAEI?

Bagi IAEI dengan dikeluarkannya UU Perbankan Syariah ini berdampak pada pengembangan pendidikan. Ini sangat jelas dampaknya. Dengan adanya perkembangan perbankan syariah, IAEI mengamati selama dua tahun pertumbuhannya sangat signifikan. Bisa dicek di seluruh Universitas Negeri Islam (UIN) telah menyelenggarakan program pendidikan ekonomi syariah, termasuk Universitas Indonesia dan Perguruan Tinggi (PT) lainya. Saat ini kami berjuang keras dan telah menyurati seluruh perguruan tinggi baik swasta dan negeri untuk membuka program ekonomi syariah. Beberapa (PT) yang tidak agamis juga kini membuka program tersebut, seperti di Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Nasional (STIE Peruanas). Ternyata antusiasnya sangat luar biasa.

Sebagai Pakar Ekonomi Syariah, UU Perbankan Syariah ini mampukah mendorong pertumbuhan perbankan syariah?

Sebenarnya terkait dengan pertumbuhan perbankan syariah, munculnya UU ini tidak begitu signifikan karena tanpa UU Perbankan Syariah, bank syariah di Indonesia bisa berkembang. Tapi sebagai negara berlandaskan hukum semua aktivitas harus dilindungi oleh payung UU, karena tanpa UU yang spesifik bila ada permasalahan dan kegoncangan dalam mengoperasikan perbankan syariah, akan menjadi kendala bagi kamajuan bank syariah. Sekali lagi munculnya UU Perbankan Syariah sebagai pilar yang terbaik bagi pengembangan bank syariah kedepan.

Bagaimana dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dampakan dari UU tersebut, apakah akan lebih cepat menjadi Bank Umum Syariah (BUS)?

Saya rasa itu menjadi keharusan bagi UUS dengan UU tersebut mempercepat kemandiriannya dan berubah menjadi BUS. Strategi itu yang harus dilakukan oleh BUS agar ia tidak dikebiri oleh induknya.

Munculnya bank syariah ada semangat idealisme yang diemban, yaitu mengentaskan kemiskinan? Apakah lahirnya UU Perbankan Syariah ini “tanda besar” bank syariah untuk lebih agresif dalam mengentaskan program kemiskinan.

Itu tahapan saja. Yang jelas dengan adanya UU Perbankan Syariah perhatian bank syariah terhadap kelompok miskin menjadi perioritas dimasa depan. Maka dari itu volunteer sektor perlu mendapatkan perhatian seperti zakat, infaq dan shodaqoh dan pembiayaan-pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah perlu juga diperhatikan.

Apa harapan Anda dengan lahirnya UU Perbankan?

Seharusnya lahirnya UU Perbankan Syariah ini disambut oleh segenap masyarakat baik akademisi, pemerintah dan ulama untuk bagaimana merealisasikannya dan mensosialisasikannya. UU Perbankan Syariah ini memberikan spirit bagi bank-bank syariah di daerah seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). (Agus. pkesinteraktif.com)

Seguir leyendo...

2008 : Tahun Edukasi Ekonomi Syariah

Oleh : Agustianto

Data membuktikan, bahwa market share perbankan syariah saat ini masih sekitar 1,7 % (Rp 31 triliun) persen dari total asset perbankan secara nasional. Angka ini menunjukkan konstribusi perbankan syariah terhadap perekonomian Indonesia masih kecil. Bank Indonesia melalui blue print perbankan syariah telah menargetkan share bank syariah sebesar 5.2 persen pada desember 2008. Bertenggernya market share perbankan syariah sejak belasan tahun di atas satu koma, karena program sosialisasi yang dilakukan masih sangat minim (belum optimal). Artinya, sosialisasi perbankan syariah masih sangat kurang. Masyarakat luas di berbagai segmen masih terlalu banyak belum mengerti sistem, konsep, filosofi, produk, keuntungan dan keunggulan bank syariah.

Minimnya program edukasi perbankan syariah diakui oleh Bank Indonesia. Menurut buku “Outlook Perbankan Syariah 2008” yang disampaikan oleh Bank Indonesia pada acara seminar akhir tahun perbankan syariah di Bank Indonesia, bahwa kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kelembagaan maupun ragam produk dan jasa yang ditawarkan perbankan syariah dikarenakan kurang intensifnya kegiatan edukasi (sosialisasi) yang dilakukan. Selain kurangnya sosialisasi itu, metode sosialisasi yang ada belum tepat dan belum baik, sehingga hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan.

Minimnya gerakan sosialisasi tersebut terlihat dari upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Menurut laporan akhir tahun Bank Indonesia 2006, kegiatan sosialisasi oleh Bank Indonesia sepanjang tahun 2006 hanyalah 51 kali. Hal itu tidak jauh berbeda dengan tahun 2007. Sebuah upaya yang sangat minim mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia. Idealnya dalam setahun bisa dilakukan minimal 5 juta kali sosialisasi dalam setahun, bukan 51 kali. Oleh karena, program sosialisasi perlu dilaksanakan lebih ekstra di tahun 2008, baik oleh bank Indonesia, bank-bank syariah, akademisi dan masyarakat ekonomi syariah secara umum.

Bentuk sosialisasi perbankan syariah sangat beragam dan luas, seperti melalui media massa cetak atau elektronik, kegiatan pameran, buletin, majalah, buku, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Tulisan ini, ingin menyuguhkan sebuah strategi jitu dan paling ampuh dalam mencapai target market share perbankan syariah 5%, 10% bahkan 40 %.

Prof.Dr.M.A.Mannan, pakar ekonomi Islam, dalam buku Ekonomi Islam, sejak tahun 1970 telah mengingatkan pentingnya upaya edukasi masyarakat tentang keunggulan sistem syariah dan keburukan dampak sistem ribawi. Dalam hal ini keseriusan Bank Indonesia perlu dipertanyakan, karena selama ini Bank Indonesia tidak memberikan perhatian yang berarti bagi upaya sosialisasi bank syariah, karena hanya sosilisasi sebanyak 51 kali dalam setahun. Betul, Bank Indonesia telah mendorong secara signifikan dari aspek regulasi seperti office channeling dan peraturan lainnya yang mendukung berkembangnya perbankan syariah. Namun dari segi edukasi yang meluas, masih jauh panggang dari api.

Harus diakui bahwa hampir satu juta masjid dan mushalla di Indonesia, sepi dari dakwah ekonomi syariah, padahal di situ berkumpul puluhan bahkan seratusan juta umat Islam, khususnya pada momentum khutbah jumat. Kesalahan besar Bank Indonesia atau juga bank-bank syariah ialah mereka mengatakan bahwa pasar tersebut bersifat segmented dan sudah jenuh, sehingga market share masih 1.7 % (baca Outlook Perbabkan suyariah 2008, hal, 15). Justru ceruk pasar jamaah masjid itulah yang masih terbuka luas yang belum digarap bank-bank syariah dan belum diperhatikan Bank Indonesia. Pasar inilah yang harus menjadi perioritas.

Di masjid berkumpul para pengusaha, hartawan, para presiden direktur, pejabat penting, tokoh masyarakat dan sebagainya. Jangan dianggap jamaah yang shalat jumat di masjid-masjid adalah masyarakat biasa atau tukang ojek. Tidak. Sekali-kali tidak. Ceruk pasar lainnya adalah masjid ta’lim, kelompok bimbingan jamaah haji, pesantren dan sebagainya.
5 juta kali sosialisasi
Sebagaimana disebut di atas, bahwa idealnya sosialisasi perbankan syariah dilakukan sebanyak 5 juta kali dalam setahun. Asumsinya, jumlah masjid di Indonesia sekitar 600.000 buah. Jika dalam setahun hanya 1 kali sosialisasi di tiap masjid, maka dibutuhkan 600.000 kali sosialisasi. Ingat di masjid-masid tidak cukup hanya sekali sosialisasi., minal 3 atau 4 kali sosialisasi, agar pemahaman jamaah benar-benar mendalam, bukan sekedar kulit. Maka jika di setiap masjid hanya dilakukan 4 kali sosialisasi, maka dibutuhkan 2,4 juta kali sosialisasi. Belum termasuk sosialisasi terhadap 600.000 ustaz/ulamanya sebagai guru ekonomi syariah yang akan menyampaikan dakwah ekonomi Islam. Untuk mentraining para ulama minimal dibutuhkan 6.000 kali sosialisasi, dengan asumsi setiap sosialiasi dihadiri 100 peserta dan setiap sosialisasi memakan waktu 3 hari.

Sosialisasi juga mutlak dilakukan berkali-kali dalam setahun kepada majlis ta’lim ibu-ibu yang tersebar di seluruh Indonesia. Ingat, hampir di setiap desa dan kelurahan terdapat majlis ta’lim ibu-ibu, jumlahnya ratusan ribu majlis ta’lim ibu-ibu. Jika sosialisasi keada majlis ta’lim ibu dilakukan hanya 4 kali, maka paling tidak dibutuhkan 3.000.000 kali sosialisasi dengan asumsi di Indonesia ada 750 ribu kelompok majlis ta’lim.
Belum lagi sosialisasi terhadap pesantren yang jumlahnya mencapai 15.000. buah yang tersebar di Indonesia. Jika dalam setahun hanya dilakukan 1 kali kegiatan sosialisasi, maka dibutuhkan 15.000 kali sosialisasi. Sosialisasi juga harus dilakukan kepada seluruh seluruh Perguruan Tinggi, tidak saja kepada fakultas ekonomi dan fakultas syariah tetapi juga ke seluruh civitas akademika, biro rektor dan sebagainya. Jumlahnya secara keseluruhan juga tidak kurang dari 15.000.-.. Sekolah SMU juga perlu mendapat perhatian untuk sosialisasi yang jumlahnya lebih dari 70.000 sekolah. Demikian pula kepada seluruh sekolah Madrasah Aliyah (MAN/MAS), Tsnawiyah, . Jumlahnya lebih dari 40.000 sekolah. Demikian pula kepada aparat pemerintah di setiap kecamatan, kabupaten kota, para pegawai di dinas-dinas pemerintah, DPRD, instansi departemen di tingkat propinsi dan kabupaten kota. Belum lagi kelompok KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Bahkan tidak mustahil sosialisasi kepada sekolah SD dan TK, agar bank syariah lebih dkenal sejak awal.

Berdasarkan kebutuhan akan sosialisassi tersebut, maka tidak aneh jika saat ini dibutuhkan 5 juta kali sosialisasi oleh para ahli dan atau ustaz yang terlatih. Iklan di televisi, radio memang dibutuhkan, namun sosialisasinya melahirkan market yang mengambang (floating), tidak mendalam dan siginifikan mencerdaskan umat Islam yang mendengarnya. Maka di samping iklan media massa seperti itu, sangat diperlukan pula edukasi langsung kepada masyarakat dengan metode dan materi yang tepat. Perlu menjadi catatan, bahwa Bank Indonenia tidak boleh merasa bahwa sosialisasi yang dilakukannya sudah terlalu banyak. Ini kesalahan yang sangat fatal. Sosialisasi yang dilakukan Bank Indonesia bagaikan setetes air di tengah sungai yang besar, hampir tidak berpengaruh bagi masyarakat secara signifikan, maka tidak aneh jika sejak beberapa tahun terakhir market share bank shariah masih kecil. Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang luas. Penduduknya lebih dari 200 juta. Maka edukasi bank syariah mustahil dilakukan sendirian oleh Bank Indonesia dan PKES yang dibentuknya, ditambah promosi bank-bank syariah.

Upaya-upaya promosi dan sosialisasi itu masih sangat kecil dan terbatas. Ratusan juta (sebagian besar) umat Islam Indonesia belum mengerti tentang sistem perbankan syariah. Puluhan ribu ulama yang berkhutbah di mesjid belum menyampaikan materi ekonomi syariah secara rasional, ilmiah, bernash agama dan meyakinkan umat. Hal ini karena para ulama/ ustas belum mengerti ilmu perbankan syariah. Ratusan ribu mesjid masih sepi dari topik ekonomi ekonomi syariah, karena para ustaznya tidak mengerti (bahkan tidak yakin) pada keunggulan bank syariah. Malah masih terlalu banyak ulama yang berpandangan dangkal bahkan miring tentang perbankan syariah. Seandainya para ustaz/ulama telah dicerdaskan dengan ilmu muamalah yang ilmiah (’aqliyah) dalam bidang perbankan, niscaya market share perbankan syariah tidak seperti saat ini, bahkan akan tercipta customer yang rasional, bermoral dan loyal. Jika sosialisasi sudah tepat dan benar dilakukan, hampir dipastikan tak ada jamaah masjid yang mendukung bank-bank konvesional yang memakai bunga. Jamaah masjid di Indonesia lebih dari 100 juta umat. Kini nasabah bank syariah masih 2 jutaan. Itu berarti hampir seluruh jamaah masjid yang berhubungan dengan perbankan masih menggunakan bank-bank ribawi.
DPP IAEI siap dan benar-benar sanggup untuk melakukan perubahan paradigma ulama tentang perbankan serta mentraining ulama berdasarkan pendekatan integratif, ilmu-ilmu syariah dan ekonomi. Ilmu-ilmu syariah dakam hal ini bukan hanya fiqh muamalah, tetapi perangkat ilmu-ilmu alat yang sering menjadi andalan para ulama, seperti ilmu tafsir, hadits, ushul fiqh, qawaid fiqh, falsafah tasyri’, falsafah hukum Islam. Kesemuanya digabungkan dengan ilmu-ilmu modern, ilmu ekonomi moneter, perbankan dan ilmu ekonomi makro.

Pendekatan Komprehensif
Selama ini pendekatan sosialisasi belum utuh dan integratif, masih parsial dan tidak tuntas, sehingga virus keraguan para ulama dan masyarakat tentang perbankan syariah tidak hilang. Senjata sosialisasi yang ada selama ini belum ampuh menaklukkan ilmu para ulama, akademisi dan tokoh agama. Maka diperlukan modul dan materi yang telah terbukti ampuh berhasil merubah paradigma ulama dan myakinkan mereka secara rasional, ilmiah, tajam dan disertai pendekatan ilmu-ilmu syariah itu sendiri.
Jika personil Bank Indonesia atau pun bank syariah yang berasal dari pendidikan umum memberikan sosialisasi kepada para ulama pesantren, maka ulama bisa saja menolak berdasarkan ilmu ushul fiqh atau disiplin ilmu syariah lainnya. Para ulama menggangap bahwa para bankir dari Bank Indonesia dan bank syariah tidak ahli dalam tafsir ayat-ayat al-quran, hadits, ilmu ushul fiqh, tarikh tastri’ dan sebagainya. Karena itu, pendekatan kepada ulama haruslah melalui pendekatan ilmu-ilmu syariah sendiri ditambah ilmu-ilmu moneter dan perbankan secara utuh.

Sebaliknya jika ulama pesantren yang melakukan sosialisasi, juga tidak cukup karena pendekatannya sering dengan ideom halal haram, penggunaan dalil naqli an sich dan kering dari teori-teori rasional yang ilmiah atau tidak ada informasi ilmiah yang dilekatkan kepada syariah.


Sosialisasi kepada umat, bukan melulu pendekatan religius normatif (emosional) dan karena lebel syariah, tetapi lebih dari itu, sebuah materi yang berwawasan ilmiah, rasional dan obyektif. Jadi, gerakan edukasi dan pencerdasan secara rasional tentang perbankan syariah sangat dibutuhkan, bukan hanya mengandalkan kepatuhan (loyal) pada syariah. Masyarakat yang loyal syariah terbatas paling sekitar 10-15 %. Masyarakat harus dididik, bahwa menabung di bank syariah, bukan saja karena berlabel syariah, tetapi lebih dari itu, sistem ini dipastikan akan membawa rahmat dan keadilan bagi ekonomi masyarakat, negara dan dunia, tentunya juga secara individu menguntungkan. Dalam edukasi, masyarakat betul-betul dicerdaskan, masyarakat diajak agar tidak berpikir sempit, tetapi rasional, obyektif, berpikir untuk kepentingan jangka panjang.
Karena informasi keilmuan yang terbatas, masyarakat masih banyak yang menyamakan bank syariah dan bank konvensional secara mikro dan sempit. Masyarakat (publik) masih banyak yang belum mengerti betapa sistem bunga, membawa dampak yang sangat mengerikan bagi keterpurukan ekonomi dunia dan negara-negara bangsa. Karena itu sistem syariah harus dibangun secara bertahap, terprogram dan terukur dengan target-target yang realistis.

Jika masyarakat masih menganggap sama bank syariah dengan bank konvensional, itu berarti, masyarakat belum faham tentang ilmu moneter syariah, dan ekonomi makro syariah tentang interest, dampak bunga terhadap inflasi, produktitas, unemployment, juga belum faham tentang prinsip, filosofi, konsep dan operasional bank syari’ah.
Menggunakan pendekatan rasional sempit melalui iklan yang floating (mengambang) hanya menciptakan custumer yang rapuh dan mudah berpindah-pindah. Maka perlu menggunakan pendekatan rasional komprehensif, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional, moral dan spiritual.
Pendekatan rasional adalah meliputi pelayanan yang memuaskan, tingkat bagi hasil dan margin yang bersaing, kemudahan akses dan fasilitas. Pendekatan moral adalah penjelasan rasional tentang dampak sistem ribawi bagi ekonomi negara, bangsa dan masyarakat secara agregat, bahkan ekonomi dunia. Maka secara moral, tanpa memandang agama, semua orang akan terpanggil untuk meninggalkan sistem riba.
Pendekatan spiritual adalah pendekatan emosional keagaaman karena sistem dan label syariah. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang taat menjalankan agama, atau masyarakat yang loyal kepada aplikasi syariah. Upaya membangun pasar spiritual yang loyal masih perlu dilakukan, agar sharenya terus meningkat. Semakin gencar sosialisasi membangun pasar spiritual, maka semakin tumbuh dan meningkat asset bank-bank syariah.

Jika Bank Indonesia dan bank-bank syariah bekerjasama dengan IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) dan para akademisi serta ulama secara serius dalam mengedukasi masyarakat, maka akan terjadi kemajuan yang luar biasa, tidak saja loncatan hebat dalam market share bank syariah, tetapi juga terbangun kecerdasan umat dalam memilih lembaga perbankan secara ilmiah dan istiqamah.

Penutup
Mengingatnya minimnya gerakan sosialisasi bank syariah dan kecilnya market sharenya (1, 7%), maka tahun 2008 hendaknya dijadikan sebagai tahun edukasi ekonomi syariah. Jika gerakan edukasi dan sosialisasi dilakukan secara optimal dan tepat, maka market share bank syariah 5,2 persen, bisa dicapai dengan cepat dengan basis nasabah yang istiqamah, bermoral dan rasional, tidak mudah berpindah-pindah ke bank konvensional karena kenaikan suku bunga perbankan konvensional. Upaya Bank Indonesia mendesak bank-bank konvensional yang membuka office channeling agar menempelkan logo (spanduk) adanya layanan syariah di kantor bank konvensional, sangat bagus, namun masyarakat harus dicerdaskan mengapa harus memilih bank syariah. Kita tidak ingin terjadinya pemilihan ke bank syariah karena ikut-ikutan, tanpa dasar ilmu pengetahuan, atau karena emosional saja. Nasabah seperti ini mudah kecewa dan menyebarkan kekecewaaannya kepada orang lain, sehingga menimbulkan citra buruk bagi bank-bank syariah. Padahal kekecewaaanya tersebut seringkali karena salah faham atau kurang mengerti tentang perbankan syariah. Insya Allah kita sangat siap membantu pencerdasan masyarakat tentang perbankan syariah tersebut, dan di beberapa daerah telah telah dibuktikan secara faktual keberhasilannya.

(Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Islam UI, Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti, Pascasarjana Bisnis dan Keuangan Islam Universitas Paramadina dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Konsentrasi Perbankan Syariah).)

Seguir leyendo...

Regulasi REPO Bank Syariah Mendesak Dikeluarkan Bank Sentral

Oleh : Agustianto

Saat ini krisis likuiditas melanda sejumlah lembaga perbankan, termasuk bank syari’ah. Ketatnya likuiditas bank syariah lebih dipicu oleh kondisi FDRnya yang selalu jauh lebih tinggi dibanding bank konvensional. Tingginya FDR ini sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun, di sisi lain, bank syariah mengalami kesulitan likuiditas jika para nasabah ingin menarik dananya dari bank syariah. Gejala penarikan itu terlihat dari penurunan DPK dan SBI Syariah.

Pada bulan Juni 2008, simpanan DPK mencapai Rp 33,05 triliun, sedangkan Agustus 2008 hanya Rp 32,36 triliun atau turun 2%. Hal itu lalu memicu penurunan SBIS yang tinggal Rp 1,82 triliun pada posisi Agustus, padahal Juni tercatat sebesar Rp 3,08 triliun. Turunnya SBIS tersebut mengindikasikan ketatnya likuiditas di bank syariah. Untuk itu, pemberian fasilitas repo bagi bank syariah pemilik SBIS atau SBSN menjadi sebuah keniscayaan (keharusan). Dalam perspektif ushul fiqh, pemberian repo kepada bank-bank syariah adalah suatu kebutuhan (hajat) yang dipandang sebagai maslahah, bahkan bisa menjadi maslahah dharuriyah, yakni maslahah yang wajib (mutlak) dilakukan. Dalam kaedah ushul fiqh disebutkan Al-hajah qad tanzilu manzilatat dharurah. (Kebutuhan itu terkadang menempati dharurat).

Bank Indonesia selaku bank sentral seharusnya menyediakan repo bagi bank syariah yang memiliki Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jadi perbankan syariah dapat mengadaikan surat berharga syariah berupa surat berharga syariah negara (SBSN) maupun Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Kalau BI sudah akan mengeluarkan kebijakan REPO, maka kita merasa senang dan menyambut baik kebijakan tersebut. karena BI memberi kelonggaran kepada bank-bank syariah sehingga lembaga ini bisa mengatur likuiditas lebih baik,

Kembali kepada FDR banak syariah, menurut hemat saya, tingginya FDR (finance deposit ratio) bank syariah, (di atas 95%) membuat kebijakan pelonggaran likuiditas bank syariah sangat diharapkan. Sebab saat ini semua bank mengalami pengetatan likuditas Artinya. bank syariah lebih berhajat (membutuhkan) likuiditas dibandingkan bank konvensional, karena FDR bank syariah sangat tinggi, mencapai 100 %. Ini berarti dana pihak ketiga hampir semuanya dikucurkan untuk pembiayaan. Sementara bank konvensional hanya 50%, selebihnya dimainkan dalam surat berharga.

Saya mengkritik Bank Indonesia, dalam masalah likuiditas yang terlalu fokus pada bank konvensional. Padahal bank syariah lebih membutuhkan likuiditas dibandingkan bagi bank konvesnsional. Lihatlah angka loan to deposit ratio (LDR) di bank konvensional dan FDR di bank syariah. Di bank konvensional rasionya hanya 50% yang dikucurkan untuk kredit, sisanya disimpan di surat berharga, berarti 50 % lainnya dibelikan ke surat berharga. Sehingga ketika bank konvensional memerlukan likuiditas, mereka bisa menjual surat berharganya tersebut.

Harus dicatat, bahwa saat ini angka FDR di bank syariah, mencapai 113% dan sepenuhnya dikucurkan dalam bentuk pembiayaan. Jadi, jika bank syariah menerima Rp 100 milyar maka semuanya disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Ini dikarenakan memang secara prinsip, bank syariah sangat peduli pada sector riel dan memang Islam mengajarkan yang demikian. Bank syariah tidak bermain di surat berharga melainkan lebih mengutamakan bisnis riil di masyarakat. Jadi pemberian repo kepada bank syariah jauh lebih wajib dibanding bank konvensional Lihatlah faktanya, pembiayaan yang disalurkan ke umat lebih dari 100% yakni 113%. Sisanya yang 13% diambil dari modal bank. Di sinilah luar biasanya bank syariah. Bank Indonesia harus tahu akan hal itu.

Dalam kondisi FDR yang tinggi tersebut, kemungkinan sekali ada nasabah yang mau menarik depositonya di bank syariah maka pihak bank syariah akan mengalami kesulitan, karena tidak ada likuiditas. Oleh karena itu, kita mengusulkan kepada BI, agar segera mengeluarkan instrumen likuiditas untuk bank syariah dengan kebijakan repo bagi bank syariah yang tidak saja dalam bentuk menggadaikan SBIS, tetapi juga Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jika kedua surat berharga tersebut tidak dimiliki bank syariah, maka harus ada Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia. Jadi BI perlu ada kebijakan yang jelas dan maslahah.

Pokoknya sejumlah cara yang halal harus ditempuh untuk menyiasati ketatnya dana di perbankan syariah. Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS) mungkin bisa menjadi salah satu alternatif dengan rate IMA. Namun, PUAS tidak efektif untuk dilakukan dengan nilai pinjaman bank yang terlampau besar. Tenor yang sangat pendek akan sangat mengganggu. Sebab, jika sahibul mal (bank pemberi dana) nantinya menagih, maka bank mudharib bisa terganggu arus keuangannya. Hal itu bisa memperburuk kualitas likuiditas bank yang menjadi mudharib. Lagi pula kondisi riil perbankan syariah sulit untuk menerapkan PUAS, karena hampir seluruh bank syariah kekurangan likuiditas Kesimpulannya, Bank Indonesia dituntut segera mengeluarkan kebijakan repo bank syariah agar bank syariah menjadi longgar likuiditasnya..

Seguir leyendo...