Agenda Training

Ikutilah!!! >>>> Training dan Workshop Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Level Intermediate (Angkatan 84) 6 - 7 Februari 2014 # Workshop Nasional Notaris Syariah 24 - 25 Januari 2013 # Workshop Hybrid Contracts pada Produk Perbankan Syariah 13 - 14 Maret 2013 Hub. Sdr. Joko (082110206289). BURUAN DAFTAR

Training

Training

STRATEGI BARU PEMBERDAYAAN UMKM

(Upaya Strategis Mengurangi Kemiskinan dan Pengangguran)

Oleh : Agustianto
Sekjend DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (Jakarta)

Pemerintah Indonesia baru saja mengeluarkan Inpres No 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Meskipun paket kebijakan ekonomi tersebut banyak menuai kritik, karena dinilai tidak menyentuh akar masalah disebabkan isinya lebih dominan

0000000

Salah satu butir paling penting dalam paket kebijakan pemerintah melalui Inpres No 6/2007 adalah pemberdayaan UMKM. Kebijakan Pemberdayaan UMKM menurut Inpress tersebut ditengarai oleh empat hal. Pertama, peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan, Kedua, pengembangan kewirausahaan dan SDM, Ketiga, Peningkatan peluang pasar produk UMKM dan keempat, reformasi regulasi.

Dalam sejarahnya, perhatian pemerintah terhadap pemberdayaan UMKM, cukup tinggi, namun implementasinya sampai saat ini masih belum terbukti. Pada tahun 2005 Presiden SBY telah mencananmgkan Pencanangan Tahun Keuangan Mikro Indonesia (TKMI)

Pemerintah Republik Indonesia kembali
Paket kebijakan Pemberdayaan UMKM
Menurut data Departemen Koperasi tahun 2005, jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia saat ini sebanyak 42,4 juta unit usaha, menyerap 79 juta tenaga kerja, dan menyumbang hampir 57% PDB nasional (BPS 2003). Dari jumlah tersebut 99,9 % merupakan usaha mikro dan kecil. Jadi hanya 0,1 % yang merupakan usaha menengah. Ini menunjukkan betapa banyaknya pengusaha mikro dan kecil yang harus diberdayakan. Apabila setiap unit usaha mikro dan kecil mampu difasilitasi dan diberdayakan untuk menciptakan 1 (satu) orang kesempatan kerja atau kesempatan usaha tambahan baru, maka akan tercipta 40 juta kesempatan kerja baru. Ini artinya, jika kita mampu memberdayakan UMKM tersebut, berarti upaya pemberantasan kemiskinan akan berhasil secara signifikan.
Gerakan pemberdayaan UMKM tersebut harus menjadi perhatian pemerintah secara serius, tentunya bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi. Pencanangan Tahun Keuangan Mikro Indonesia (TKMI) dan Program Aksi Penanggulangan Kemiskinan yang dilakukan President SBY pada tahun 2005 ini, harus direalisasikan secara nyata dengan berbagai upaya strategis. Hal ini agar pencanangan itu tidak sebatas retorika belaka. Pada momentum pencanangan Tahun Keuangan Mikro tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan tekad pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran menjadi kurang dari 6 persen dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah akan menempuh tiga strategi yaitu menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 6,6 persen, menggerakkan sektor riil, serta melakukan revitalisasi pertanian dan perekonomian perdesaan.
Kebijakan pokok
Secara garis besar, terdapat 5 (lima) kebijakan pokok yang dibutuhkan dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yaitu pertama, menciptakan iklim usaha yang kondusif (conducive business climate) sekaligus menyediakan lingkungan yang mampu (enabling environment) mendorong pengembangan UMKM secara sistemik, mandiri, dan berkelanjutan. Kedua, menyediakan dana pembiayaan dari lembaga perbankan untuk membantu permodalan UMKM. Ketiga , menciptakan sistem penjaminan (guarantee system) secara finansial terhadap operasionalisasi kegiatan usaha ekonomi produktif yang dijalankan oleh UMKM. Keempat, menyediakan bantuan teknis dan pendampingan (technical assistance and facilitation) secara manajerial guna meningkatkan status usaha UMKM agar ”feasible” sekaligus ”bankable” dalam jangka panjang. Kelima, pengembangan wirausaha dan keunggulan kompetitif.
Program aksi pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif ini bertujuan untuk mengembangkan jiwa dan semangat kewirausahaan, serta meningkatnya daya saing UMKM. Selama ini para pelaku UMKM masih mengandalkan comparative advantage (resource-based) mamun belum competitive advantage yang berdasarkan penambahan nilai (value added). Sasaran yang akan dicapai adalah berkembangnya pengetahuan serta sikap wirausaha, meningkatnya produktivitas, tumbuhnya unit usaha baru berbasis pengetahuan dan teknologi, berkembangnya ragam produk-produk unggulan UMKM sesuai dengan potensi daerahnya dan menjadikan UMKM yang feasible menjadi bankable.



Kebijakan dan strategi pertama pada dasarnya merupakan penerjemahan dari fungsi pemerintah sebagai regulator dalam kegiatan ekonomi di masyarakat. Oleh karenanya, pemerintah harus mampu mengembangkan regulasi-regulasi ekonomis yang dapat memberikan tingkat kepastian usaha sekaligus memberikan pemihakan yang tepat kepada segenap pelaku UMKM dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya.
Kebijakan dan strategi kedua merupakan kebijakan klasik bagi UMKM, yaitu masalah permodalan. Sebenarnya modal untuk memberdayakan UMKM saat ini sangat berlimpah. Hal itu terlihat dari data Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan saat ini masih 55 persen. Dengan demikian ada 45 % dana bank yang menganggur. yaitu lebih dari Rp 200 triliun dana masyarakat di bank yang tidak produktif (mubazir) karena tidak disalurkan ke sektor riil/UMKM. Dana itu bahkan di tempatkan di Bank Indonesia dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) serta untuk membeli Surat Utang Negara (SUN) yang sangat memberatkan negara/rakyat karena beban bunga sangat besar yang harus ditanggung rakyat melalui APBN. Namun harus disadari, upaya pengentasan pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan UMKM dari aspek permodalam tidaklah satu-satunya menjadi unsur utama, karena masih banyak unsur lainnya yang menjadi syarat keberhasilan UMKM.
Strategi ketiga pada dasarnya merupakan solusi terobosan terhadap adanya ”gap” antara UMKM, dan perbankan/lembaga keuangan bukan bank, dalam hal permodalan/pembiayaan usaha. Secara empiris, selama ini UMKM terutama usaha mikro sangat sulit untuk memenuhi kriteria 5-C (character, condition of economy, capacity to repay, capital, collateral) yang merupakan aturan/mekanisme baku perbankan dalam penyaluran kredit untuk membiayai usaha dan permodalan. Oleh karenanya wajar apabila selama ini pemerintah melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan lebih cenderung menciptakan sekaligus menyediakan skema ”kredit program” yang lebih banyak bersifat ”dana hibah bergulir” kepada berbagai kelompok masyarakat (pokmas) yang bergerak dalam usaha mikro. Skema kredit program tersebut merupakan salah satu alternatif strategi untuk membiayai kegiatan UMKM dan koperasi (terutama usaha mikro) yang berkesan lebih cenderung untuk ”mengabaikan” rigiditas kriteria 5-C yang diberlakukan kalangan perbankan.
Namun demikian, strategi dalam bentuk penciptaan dan penyediaan skema kredit program tersebut dalam jangka panjang tidaklah efektif. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, pertama, dibutuhkan dana pemerintah yang sangat besar untuk menyediakan dana hibah bergulir tersebut sehingga setiap tahun akan memberatkan keuangan negara melalui APBN (baik bersumber dari dana rupiah murni maupun dana yang berasal dari hutang luar negeri). Kedua, pengalaman implementasi berbagai skema kredit program ternyata tidak terlalu berhasil terutama berkaitan dengan tingkat kemacetan kredit dan semakin menipisnya dana hibah bergulir tersebut sebagai akibat rendahnya akuntabilitas di tingkat masyarakat yang disebabkan oleh persepsi yang keliru bahwa dana tersebut adalah milik masyarakat yang tidak perlu dipertanggunggjawabkan kepada pemerintah. Ketiga, skema kredit program tersebut cenderung tidak mendorong penerapan dan pengembangan sistem dan mekanisme pembiayaan yang benar dan proporsional, yaitu melalui perbankan atau berbagai sistem dan mekanisme pembiayaan lainnya yang dikembangkan oleh lembaga keuangan bukan bank. (Gunawan Sumodiningrat, 2005).

Strategi baru
Memperhatikan permasalahan di atas, maka pemerintah perlu merubah strategi pembiayaan UMKM dari yang bersifat pemberian bantuan langsung kepada masyarakat (cash transfer) dalam bentuk hibah (grant) menjadi yang lebih bersifat penempatan dana (fund placement) di perbankan sebagai dana penjaminan (cash collateral) yang akan digunakan sebagai jaminan pengganti (substitute collateral) untuk menjamin kelangsungan operasionalisasi UMKM. Hal ini merupakan strategi baru yang harus diwujudkan. Dengan dana penjaminan ini diharapkan perbankan akan terdorong untuk lebih banyak menyalurkan kreditnya kepada UMKM sesuai dengan ”business plan” masing-masing yang telah dikalkulasi dan ditetapkan sebelumnya.
Secara finansial, kebijakan dan strategi penciptaan dan penyediaan dana penjaminan akan memberikan 2 (dua) keuntungan, yaitu pertama, pemerintah dapat lebih mengefektifkan penggunaan dana APBN yang akan dialokasikan untuk pengembangan UMKM melalui mekanisme tidak langsung yaitu dengan penempatan dana pemerintah sebagai ”pos penjaminan” di rekening perbankan untuk menjamin penyaluran kredit dan mengganti kemacetan kredit UMKM (provisioning non performing loan). Kedua, penempatan dana penjaminan tersebut akan menciptakan ”multiplier effect” yang sangat besar melalui dorongan kepada perbankan untuk menyalurkan kredit secara besar-besaran kepada UMKM. Dengan kata lain, kebijakan dan strategi tersebut akan menghasilkan ”efektivitas fiskal” sekaligus ”ekspansi moneter” yang mampu memberikan injeksi permodalan yang luar biasa besar bagi upaya pemberdayaan UMKM secara sistemik, profesional dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Kebijakan dan strategi ketiga merupakan ”tools” untuk mengefektifkan implementasi kedua kebijakan dan strategi sebelumnya sehingga secara manajerial pengembangan UMKM dapat dilakukan secara tepat dan benar sesuai kaidah-kaidah manajemen modern. Kebijakan dan strategi penyediaan bantuan teknis dan pendampingan (technical assistance and facilitation) kepada UMKM dan selama ini telah banyak dijalankan oleh berbagai kementerian/lembaga melalui berbagai program/proyek yang bersifat bina usaha ekonomi.
Selain itu, pemerintah melalui kesepakatan bersama antara Komite Penanggulangan Kemiskinan dan Bank Indonesia telah pula membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberdayaan Konsultan Keuangan/Pendamping Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Mitra Bank yang disebut KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank). Pembentukan KKMB dimaksudkan untuk lebih mendorong implementasi bantuan teknis dan pendampingan kepada UMKM dan Koperasi. Melalui Satgas KKMB diharapkan akan tercipta dan tersedia konsultan/pendamping (KKMB) yang akan memfasilitasi kemitraan usaha antara UMKM, dan bank serta yang akan membantu pengembangan UMKM secara manajerial.
Diharapkan dengan operasionalisasi KKMB maka berbagai usaha mikro yang tumbuh dan berkembang dalam jangka pendek akan dapat dibina secara manajerial agar lebih ”feasible” dan dapat dibina secara finansial agar ”bankable” serta dapat dikembangkan menjadi usaha yang lebih besar dalam jangka panjang.

0 komentar: